Rabu, 22 Desember 2010

129. Senyum di Senja Hari

Mei 1984

Ujian Akhir, 03.00 Pagi


Suara lantunan ayat-ayat suci membangunkanku dari lelap. Ibu! Begitu biasanya beliau membangunkan kami untuk shalat lail. Segera kutepuk Tini untuk menyusul Ibu. Mata adikku masih memerah menahan kantuk. Tapi kusemangati dia, “Ayo, katanya ingin berdoa, Tini ingin minta apa?” Malam begini dingin menyambut kami di kamar mandi. Air terasa seperti butiran es. Kuusap mataku dan mata Tini sambil tersenyum, sekejap kemudian kesegaran mengaliri seluruh tubuh. Lenyap sudah kantuk yang memberati mata. Ibu menyambut kami dengan senyum, tapi…. Matanya begitu sembab, pasti Ibu habis menangis. “Mana adik-adikmu yang lain, Nduk?” kami saling berpandangan, lalu menggeleng dan tersenyum malu. Habis, sulit sekali membangunkan Lastri dan Tinah, bisa ditendang aku nanti, maklum, mereka masih kecil. Usai tahajud, aku terus mengambil buku dan belajar. Ibu menemani sambil meneruskan tadarus Qur’an-nya. Ibu…. Bagaimana orang sealim Ibu bisa mendapatkan orang seperti Bapak. Ah, ngelantur aku ini, kalau tidak ada Bapak, berarti aku juga tidak ada.



Akhir Mei 1984


Akhirnya, selesai sudah ujian akhirku. Alhamdulillah leganya. Setidaknya aku mulai bisa memikirkan yang lain untuk membantu mengurangi beban Ibu. Yah, mau bagaimana lagi, Ibu memutuskan menjual sebagian tanah warisannya untuk menebus Bapak dari penjara. “Bagaimana pun dia bapakmu, Wuk, sejahat dan sebejat apa pun kelakuannya, darahnyalah yang mengalir di tubuhmu.” Aku juga tak tahu musti harus bagaimana. Rasanya kaget tiba-tiba ikut terlibat dalam permasalahan rumit ini. Tapi Ibu butuh teman bicara. Dan aku, anak sulungnyalah yang bisa melakukan itu. Ya, mesti cuman sebatas mendengarkan. Menanti Bapak pulang seperti menunggu datangnya makhluk asing dari planet lain. Ada rindu, ada benci, ada juga rasa asing yang tak bisa kumengerti. Entahlah, dari dulu kami memang tak bisa dekat. Bapak menginginkan anak laki-laki, sementara kelima anaknya perempuan. Barangkali itulah yang membuat sulit sekali diajak bermanja. Suatu sore, saat matahari senja merah saga memenuhi langit, Bapak benar-benar pulang. Sosoknya yang tinggi besar memenuhi pintu rumah. Dan Ibu menyambutnya seperti biasa, dengan mencium tangan Bapak, dan menyuruh kami melakukan hal yang sama. Tanpa beban, seolah tak terjadi apa pun yang pernah mengguncang keluarga kami. Kucari dendam di mata Ibu, tapi ya Rabbi, mata itu begitu ikhlas dan tabah. Sementara hatiku sudah mulai tertorehi luka.



Agustus 1984


Perekonomian keluarga kami benar-benar terpuruk. Aku tak bisa melanjutkan kuliah. Jangankan untuk mendaftar SMA, untuk makan sehari-hari pun mulai kesulitan. Bapak berpamitan untuk mencari kerja di Bogor. Memang di kota kecil seperti Kediri, mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah, apalagi untuk orang yang namanya sudah cacat seperti Bapak. Ibu mengambil alih perekonomian dengan membuka warung pecel di depan rumah. Pagi buta sampai siang, Ibu mengurus warung pecelnya. Sore hingga malam membuat krecek, makanan ringan dari irisan singkong kering yang digoreng dan dibumbuhi gula merah serta cabai. Aku membantu Ibu sekuatnya. Aku punya kewajiban moral untuk membantunya, kalau bukan aku, siapa lagi? Bangun pukul empat pagi kini tak terasa dingin lagi. Sepagi itu aku dan Ibu mulai ke pasar. Tiba di rumah, kami berbagi tugas. Aku mencuci baju, Tini membersihkan rumah. Setelah beres, kami membantu Ibu menyaingi sayuran. Ketika adik-adikku berangkat sekolah aku mulai menyiapkan potongan-potongan singkong untuk digoreng. Bila malam tiba, sambil mengajari mereka, aku dan Ibu membungkus krecek ke dalam plastik agar esok pagi bisa kuedarkan ke warung-warung dan pasar Kandat. Ya Allah, Pengatur nasib umat, aku sangat bangga pada Ibu. Di tengah himpitan ini beliau masih terus berkhusnudzan kepada-Mu, terus mengajari kami bersabar, dan terus membimbing kami dengan cintanya. Ya Allah, berikanlah segala kebaikan-Mu untuk Ibu dan kami sekeluarga. Dan berilah kesadaran untuk Bapak, ya Allah, bahwa kami adalah putri-putri yang juga mengharap cintanya. Amin.


Agustus 1986


Bapak datang. Datang! Setelah sekian lama tanpa kabar dan kiriman apa pun. Datang dengan sederet tuntutan dan lecehan pada Ibu. Tuntutan atas kehadiran anak laki-laki yang tak mampu dilahirkan Ibu. Dan satu pelecehan lagi yang membuat darahku berpacu ke ubun-ubun, beliau mengaku sudah menikah di Bogor dan mempunyai seorang anak laki-laki. Tuntutan untuk menjual sisa tanah, dengan alasan anak laki-laki lebih berhak memperoleh daripada kami. Semua dikatakan Bapak saat kami kesulitan untuk sekedar mengisi perut. Entah keberanian apa yang membuatku lancang kepada Bapak. Kupukul dan kucakar lelaki yang kusebut bapak itu sehingga sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Ibu yang tersimpuh di atas tubuhku dengan isak pelan, dan umpatan kasar Bapak, “Perempuan sialan, perempuan pincang! Seperti ini kau didik anakmu? Huh, dari dulu aku memang malu punya istri seperti kamu, dasar pincang!” Kali ini giliran Ibu yang mendapat tamparan Bapak. Sakit…. Sakit hatiku mendengar Ibu diumpat seperti itu.


Kaki Ibu memang tidak normal, terserang polio sedari kecil. Tapi bukan berarti ia tidak sempurna mendidik kami. Sungguh ia satu-satunya wanita yang membetot habis rasa cinta dan hormatku lebih dari apa pun. Satu lagi luka tertoreh. Kupandang Bapak dengan mata menyala. Biar….. biarlah Bu, Bapak mengambil tanah itu. Kita buktikan bahwa kita bisa hidup tanpa bantuannya bila itu yang Bapak mau. Aku berjanji, aku bertekad, akan kulakukan apa pun untuk Ibu dan adik-adikku.



Januari 1990


Rumah Makan Padang “Siang Malam”, Gringsing, Kendal


Aku membawa truk bermuatan kelapa memasuki pelataran rumah makan. Sisa setengah perjalanan lagi menuju Jakarta. Ahmad dan Pak Gono membuka mata. Dengan sopan aku menyilahkan mereka untuk beristirahat. Sementara aku harus berburu waktu mencari musholla, shalat Isya’. Celana hitam, jaket gombrang coklat, dan jilbab kaos hitam telah menyulapku menjadi sosok yang cukup dikenal di rumah makan ini. Pemiliknya Pak Haji Yassin juga kenal denganku. Karena itu aku memilih tempat ini sebagai tempat istrirahat bila nyopir ke arah barat. Selain lingkungannya apik, baik, juga ada musholla yang nyaman tempat aku istirahat sejenak. Sesekali bahkan Bu Haji menyuruhku istirahat di ruang belakang mereka. Sementara aku istirahat, Ahmad biasa mencuci kaca depan truk, mengisi air radiator, mengecek mesin, dan ban, serta tak lupa menyiapkan sebotol kecil kopi hangat di samping jok untuk persiapan nanti.


Truk ini milik Pak Jono, teman Bapak. Aku yang dipercaya mengelolanya dengan sistem sewa. Dulu, hampir tiap hari aku keluar masuk desa untuk menawarkan jasa transportasi ini. Kini tinggal memetik hasilnya. Para petani dan pedaganglah yang datang apabila membutuhkan truk sekaligus sopirnya. Aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang sopir. Tidak, tidak karena itu dunia laki-laki yang keras dan penuh bahaya. Tapi aku tak punya pilihan lain. Hanya pekerjaan ini yang bisa menghasilkan uang paling banyak. Sekali nyopir aku bisa mengantongi uang lima puluh ribu sampai seratus ribu. Bahkan bila musim panen, aku bisa memegang hingga satu juta rupiah sebulan. Alhamdulillah. Karena selain menyopir, aku juga memasok beberapa komoditi pasar seperti kelapa, pisang, semangka ke beberapa kota sekeliling Kediri. Tentu, dengan bagi hasil dengan Pak Jono.


Ibu terus berjualan pecel dan membuat krecek. Kini hanya dibantu Sundari karena Sutini dan Sulastri sudah kuliah di Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Sedang Partinah memilih ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bahagia rasanya melihat mereka terus sekolah, lebih bahagia karena mereka tak pernah mengecewakan lelehan keringatku. Mereka belajar keras, bahkan sangat keras untuk membahagiakan Ibu dan kakaknya yang sopir truk ini. Sekali waktu, Tini pernah marah padaku, ia minta diijinkan bekerja untuk ikut membantu ekonomi keluarga. Tapi adikku itu mengkeret begitu melihatku memandang tajam ke arahnya. Adikku…. Maafkan Mbak Tiwuk. Biar Mbak Tiwuk saja yang berkorban, satu saja! Kalian semua jadilah manusia yang berhasil. Dengan lulus UMPTN, dengan kuliah yang benar, dengan cepat lulus, itu sudah cukup membantu Mbak Tiwuk. Sudah membuat Mbak bahagia. Jangan pikirkan yang lain. Doa Mbak untuk kalian semua.



Juli 1993


Rumah Makan “Ayem Tentrem”, Pelabuhan Ketapang


Sudah larut malam ketika aku beristirahat, menunggu kapal yang akan berangkat ke Pulau Bali. Ini rute pertamaku. Agak gamang juga. Tapi Ahmad, kenekku meyakinkan bahwa ia pernah ke Denpasar sebelumnya, jadi aku tak perlu khawatir tersesat. Deretan truk terparkir dalam keremangan pelabuhan. Aku turun, mencari musholla dan tempat nyaman untuk menyantap rantang makanan bekal dari Ibu. Menjelang pukul dua, kudengar keributan di sekitar trukku. Ahmad berteriak-teriak, aku tertegun. Segerombolan preman tengah merubungnya. Tukang palak rupanya. Sementara Pak Sabar, pemilik kayu gelondongan yang kuangkut tergigil pucat pasi di sisi truk. Pemalakan tidak tanggung-tanggung karena kami orang baru, diharuskan membayar biaya keamanan sebesar seratus ribu. Sejenak mereka melongo begitu tahu sopirnya wanita. Tapi tak pernah kugunakan sebutan itu untuk bersikap lemah, terlebih ini menyangkut hak untuk mencari penghidupan halal, hak asasi setiap umat untuk meneruskan hidupnya.


Setelah gertakan untuk melapor polisi tak ditanggapi, terpaksa kuladeni tantangannya. Ahmad satu tingkat di bawahku di perguruan Perisai Diri. Jadi aku bisa mengandalkannya. Seratus ribu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi Sulastri membutuhkan biaya untuk praktikumnya. Perkelahian berjalan tak seimbang, dua lawan tujuh. Kami bertarung sengit, tiga orang berhasil kami buat jatuh, seorang yang bertindak sebagai pemimpinnya berbuat nekad, saat tendangan kaki kiriku kuarahkan ke si brewok, ia menohok dari samping. Cras… kaki berbalut sepatu kets-ku berlumuran darah. Perih, darah keluar dengan deras. Aku masih bisa menangkis dua, tiga serangan, setelah itu gelap. Saat sadar aku telah berada dalam salah satu bangsal di RSU Banyuwangi. Menurut dokter, setelah sembuh nanti kemungkinan aku akan mengalami sedikit pincang. Sejumlah memar juga menghiasi leher dan punggung. Rupanya saat aku sudah jatuh mereka masih menendangiku. Untunglah Pak Sabar datang tepat pada waktunya dengan dua orang polisi pelabuhan. Aku bersyukur karena Ahmad dan Pak Sabar tak terluka. Ah, peristiwa pahit. Tapi tak akan melemahkan semangatku untuk terus mencari nafkah, karena lima bulan lagi Sundari lulus SMA.



Februari 1995


Kutuntun Ibu ke dalam ruangan penuh spanduk dan karangan bunga. Subhanallah, matahari pagi pucuk-pucuk pinisium ikut tersenyum memandang kami. Hari ini Sutini disumpah menjadi seorang dokter. Map hitam berlogo almamater diserahkan kepada Ibu dan aku sambil menahan tangis. “Ini…. Untuk Ibu dan Mbak Tiwuk.”


Kupeluk adikku, kuusap keningnya.


“Seandainya setiap kakak di dunia ini seperti Mbak Tiwuk…..,” ujarnya dengan mata basah.
“Seandainya semua adik di dunia seperti kalian, tidak akan ragu seorang kakak melakukan apa pun,” kami berpelukan, kurengkuh bahu adikku, Tini yang bulan depan akan mengakhiri masa lajangnya, disunting oleh teman seangkatan, pemuda soleh yang bulan kemarin bersama keluarganya mengkhitbah Tini di rumah kecil kami. Jemputlah masa depanmu Adikku…. Mbak Tiwuk ikhlas kau langkahi.



Mei 1997


Rumah Makan “Baranangsiang”, Bogor


Menyebut kota ini menimbulkan luka lagi yang menganga, Bapak….. pelan kueja namanya. Nama laki-laki yang seharusnya menanggung beban di atas pundakku. Pernikahan Tini kemarin beliau hadir, juga saat Tinah diakadkan. Semanis apa pun wajah kupasangkan, tak bisa membangun jembatan kemesraan anak beranak di antara kami. Hati ini terlanjur sakit. Pada saat kupandang wajah Ibu, masih dengan tulus yang sama menyambut kepulangan Bapak. Alangkah luas telaga maafmu, Ibu. Sementara hanya setitik hormat yang masih kupunya. Menurut berita yang kudengar, usaha Bapak di Bogor maju pesat, dengan seorang istri dan dua anak laki-laki yang diidamkannya. Syukurlah jika Bapak bahagia. Semoga waktu akan mengurai kebekuan hati ini hingga terbentuk maaf yang tulus untuknya. Karena aku tak mau selamanya jadi anak durhaka. Bukankah Allah telah begitu adil dengan apa yang telah kami terima selama ini? Sungguh aku bersyukur…….



Mei 2000


Rumah berdinding setengah bata setengah bambu kami terasa bertambah tua, atap dapur bahkan nyaris dorong. Seperti juga kerut pada Ibu, juga wajahnya yang makin mengental. Jika ada kesempatan untuk bernafas, inilah saatnya. Keempat adikku sudah mentas semua. Tinggal Sundari, itu pun sudah hampir mandiri, karena selain menyelesaikan S2, ia juga mengajar di sebuah yayasan. Kini perhatianku beralih ke Ibu. Ibu yang membesarkan kami dengan kedua tangannya, dengan kakinya yang terseok, yang selalu membentengi kami melalui doa yang rutin dipanjatkan di setiap malam, melalui puasa Senin-Kamis, dengan keprihatinannya, juga dengan sabar dan cintanya.


“Wuk, bisa nggak ya niat Ibu kesampaian. Ibu ingin sekali melihat Baitullah.” Satu kata itulah yang menjadi perhatianku kini. Maka, ketika Tini, Tinah, dan Lastri menawarkan diri untuk merenovasi rumah, kalimat itu kuulang pada ketiga adikku. Dengan sisa tabungan dan sumbangan mereka, aku berharap bisa memenuhi permintaan Ibu.



Juli 2000


“Dunia begitu indah karena kami memiliki kakak seperti engkau. Terima kasih, Mbak….” Kueja kalimat itu berulang. Sebuah cincin permata berlian menyertai kertas itu. Ah, aku lupa, hari ini aku berulang tahun. Aku memang selalu lupa dan tak pernah memikirkannya. Setitik air membasahi pipi, sudah berapa lama aku tidak menangis? Kucium kertas itu. Adik-adikku, dunia pun sangat indah karena aku memiliki kalian, juga Ibu. Terima kasih ya Alah.

Februari 2001


Garuda Indonesia, Boeing 737, Jamaah Haji Kloter 12


Pada Allah semua tujuan hidup bermuara. Tak pernah kubenci dan kusesali hidupku. Karena aku telah memandang semuanya dengan syukur dan karenanya sepahit apa pun kenyataan akan tetap terasa indah. Inna ma’al ‘usri yusro, sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Allah akan memberi kemudahan itu pada setiap hambanya yang sabar. Sering aku tak percaya bisa melakukan semua ini, karena tugas itu nyaris usai. Allah Yang Maha Pemurah, telah memberiku kesempatan hidup lebih panjang dari yang divonis dokter. Gadis dengan cacat jantung bawaan seperti aku…… rasanya tak percaya. Allah, jika Engkau ijinkan, berilah hamba waktu lagi minimal untuk bisa berjumpa dengan Bapak, agar kebekuan ini mencair. Untuk sebuah kata maaf yang belum pernah bisa kukeluarkan, karena aku, Tiwuk Hartati, pernah mempunyai doa yang sangat jelek untuknya. Biarlah maaf itu tumbuh seperti sejuta telaga kasih milik Ibu.


Awan putih menyembul di balik kaca, bararak meniupkan simponi syahdu. Seolah aku sedang duduk di antaranya, membaca tanpa gerak bibir, bahasa yang santun dan dewasa, mengantarku dalam kedalaman rasa tiada tara. Ibu memejamkan mata di seat sebelah, tenang dan damai. Oh Ibu, akhirnya penantianmu usai sudah. Lihatlah Bu, lihat awan itu. Ia akan mengantar kita ke suatu tempat yang paling Ibu dambakan. Kuusap lembut jemari kisut dan kasar itu. Ibu…. Lelah guratan hidupmu, membayang pada raut wajah itu, tapi tak bisa mengurangi keagungan cinta milikmu. Kukecup lembut dan kubawa tangan itu ke atas dada. Di bandara tadi, harta-hartamu mengantar kepergian kita dengan haru: Dokter Sutini, Dokter Sulastri, Insinyur Partinah, dan calon guru kita Sundari, juga suami-suami mereka dan keponakanku yang lucu-lucu: Hanif, Asfa, dan Abdus. Tawamu jernih dan tulus ketika mencium mereka satu per satu, mutiara hidupmu. Wajah damaimu Ibu, adalah bentuk kepasrahan seorang hamba dalam menjalani garis hidup Sang Pencipta, tanpa keluh dan putus asa. Kepasrahan dalam ketegaran yang senantiasa yakin akan pertolongan Khaliknya. Kurasakan burung besi ini semakin meninggi, memecah udara, diiringi senyum hangat pramugari-pramugari anggun berbaju muslimah yang menawarkan makanan. Kuambilkan satu untukmu, Ibu….


Garuda pun membelah angkasa menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Semakin jauh meninggalkan Jakarta, meninggalkan Kediri. Dan satu harapan lagi, dengan izin-Mu akan terwujudkan. Allah Maha Besar!

Selasa, 21 Desember 2010

128. Semenit Saja

Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000 apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan!

Betapa lamanya melayani Allah SWT selama lima belas menit namun betapa singkatnya kalau kita melihat film.

betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan) namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.

Betapa asyiknya apabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra namun kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa.

Betapa sulitnya untuk membaca satu lembar Al-qur'an tapi betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.

Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun lebih senang berada di shaf paling belakang ketika berada di Masjid

Betapa mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 30 hari ketika berpuasa.

Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk sholat 5 waktu; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saat terakhir untuk event yang menyenangkan.

Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam al qur'an; namun betapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran namun betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci AlQuran.

Betapa Takutnya kita apabila dipanggil Boss dan cepat-cepat menghadapnya namun betapa kita berani dan lamanya untuk menghadapNya saat kumandang azan menggema.

Betapa setiap orang ingin masuk sorga seandainya tidak perlu untuk percaya atau berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau berbuat apa-apa.

Betapa kita dapat menyebarkan seribu lelucon melalui e-mail, dan menyebarluaskannya dengan FORWARD seperti api; namun kalau ada mail yang isinya tentang Keagungan Allah SWT betapa seringnya kita ragu-ragu, enggan membukanya dan mensharingkannya, serta langsung klik pada icon DELETE.

ANDA TERTAWA ...? atau ANDA BERPIKIR-PIKIR. .?

Sebar luaskanlah Sabda-Nya, bersyukurlah kepada ALLAH SWT, YANG MAHA MENGETAHUI, MENDENGAR, PENGASIH DAN PENYAYANG.

Apakah tidak lucu apabila anda tidak memFORWARD pesan ini. Betapa banyak orang tidak akan menerima pesan ini, karena anda tidak yakin bahwa mereka masih percaya akan sesuatu

Source : http://groups.yahoo.com/group/sains/message/3065

Senin, 20 Desember 2010

127. Manfaat Sedekah

Kematian memang di tangan Allah. Maka ada satu hal yang bisa membuat kematian menjadi sesuatu yang bisa ditunda, yaitu kemauan bersedekah, kemauan berbagi dan peduli.

SUATU hari, Malaikat Kematian mendatangi Nabiyallah Ibrahim, dan bertanya,

"Siapa anak muda yang tadi mendatangimu wahai Ibrahim?"

"Yang anak muda tadi maksudnya?" tanya Ibrahim. "Itu sahabat sekaligus muridku."

"Ada apa dia datang menemuimu?"

"Dia menyampaikan bahwa dia akan melangsungkan pernikahannya besok pagi."

"Wahai Ibrahim, sayang sekali, umur anak itu tidak akan sampai besok pagi."

Habis berkata seperti itu, Malaikat Kematian pergi meninggalkan Nabiyallah Ibrahim. Hampir saja Nabiyallah Ibrahim tergerak untuk rriemberitahu anak muda tersebut, untuk menyegerakan pernikahannya malam ini, dan memberitahu tentang kematian anak muda itu besok. Tapi langkahnya terhenti. Nabiyallah Ibrahim memilih kematian tetap menjadi rahasia Allah.

Esok paginya, Nabiyallah Ibrahim ternyata melihat dan menyaksikan bahwa anak muda tersebut tetap bisa melangsungkan pernikahannya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, Nabiyallah Ibrahim malah melihat anak muda ini panjang umurnya.

Hingga usia anak muda ini 70 tahun, Nabiyallah Ibrahim bertanya kepada Malaikat Kematian, apakah dia berbohong tempo hari sewaktu menyampaikan bahwa anak muda itu umurnya tidak akan sampai besok pagi? Malaikat Kematian menjawab bahwa dirinya memang akan mencabut nyawa anak muda tersebut, tapi Allah menahannya.

"Apa gerangan yang membuat Allah menahan tanganmu untuk tidak mencabut nyawa anak muda tersebut, dulu?"

"Wahai Ibrahim, di malam menjelang pernikahannya, anak muda tersebut menyedekahkan separuh dari kekayaannya. Dan ini yang membuat Allah memutuskan untuk memanjangkan umur anak muda tersebut, hingga engkau masih melihatnya hidup."

Kematian memang di tangan Allah. justru itu, memajukan dan memundurkan kematian adalah hak Allah. Dan Allah memberitahu lewat kalam Rasul-Nya, Muhammad shalla `alaih bahwa sedekah itu bisa memanjangkan umur. jadi, bila disebut bahwa ada sesuatu yang bisa menunda kematian, itu adalah…sedekah.

Maka, tengoklah kanan-kiri Anda, lihat-lihatlah sekeliling Anda. Bila Anda menemukan ada satu-dua kesusahan tergelar. maka sesungguhnya Andalah yang butuh pertolongan. Karena siapa tahu kesusahan itu digelar Allah untuk memperpanjang umur Anda. Tinggal apakah Anda bersedia menolongnya atau tidak. Bila bersedia, maka kemungkinan besar memang Allah akan memanjangkan umur Anda.

Saudara-saudaraku sekalian, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan ajalnya akan sampai. Dan, tidak seseorangpun yang mengetahui dalam kondisi apa ajalnya tiba. Maka mengeluarkan sedekah bukan saja akan memperpanjang umur, melainkan juga memungkinkan kita meninggal dalam keadaan baik. Bukankah sedekah akan mengundang cintanya Allah? Sedangkan kalau seseorang sudah dicintai oleh Allah, maka tidak ada masalahnya yang tidak diselesaikan, tidak ada keinginannya yang tidak dikabulkan, tidak ada dosanya yang tidak diampunkan, dan tidak ada nyawa yang dicabut dalam keadaan husnul khatimah.

Mudah-mudahan Allah berkenan memperpanjang umur, sehingga kita semua berkesempatan untuk mengejar ampunan Allah dan mengubah segala kelakuan kita, sambil mempersiapkan kematian datang.

Source : http://blognyayogi.wordpress.com/2010/09/24/kematian-bisa-diundur/

Sabtu, 18 Desember 2010

126. Rokok Tidak Berbahaya

Banyak orang menghawatirkan bahaya rokok dan menakutinya, tapi setelah diselidiki oleh beberapa pakar dalam bidangnya ternyata rokok itu sama sekali tidak berbahaya. Kemudian para pakar sepakat untuk membuktikannya dengan mengambil dari beberapa hikayat pada zaman dahulu kala di mana pada waktu itu nenek moyang kitapun telah membuktikannya melalui beberapa percobaan.

Untuk lebih jelasnya dapat dibuktikan lewat penemuan oleh beberapa dari ahli di bawah ini :

Pada zaman dahulu kala, ada 3 orang dokter yang selalu bersama2 ke mana saja mereka pergi. Tapi ketiganya memiliki kegemaran berlainan.

Dr Jon Poni (suka main perempuan)

Dr Jon Joni (suka minum minuman keras)

Dr Jon Doni (suka segala jenis rokok)

Suatu hari ketiga sahabat ini berjalan2 tanpa tujuan. Tiba-tiba mereka bertemu dengan sebuah ketel/kendi (seperti cerita Aladin). Lalu salah seorang mengambil lalu meng-gosok2kan ketel tersebut. Sejurus kemudian asap keluar dari corong ketel tersebut dan secara perlahan berganti menjadi satu makhluk yang menyeramkan yakni sesosok jin yang ganas. Lalu jin tersebut tertawa: "Hua ha ha ha..." dan berkata "Akulah Jin Ifrit! Karena kamu telah membebaskan aku dari ketel itu maka aku akan tunaikan apa saja permintaan kamu sekalian."

Ketiga sahabat yang pada mulanya panik dan takut menjadi gembira lalu termenung dan berpikir tentang peluang dan kemauan masing2 yang mungkin hanya sekali mereka jumpai dalam hidup mereka. Lalu mereka memilih kemauan mengikuti kegemaran masing-masing.

Berkatalah si A,"Aku mau perempuan-perempuan muda dari berbagai bangsa di seluruh dunia dan letakkan dalam sebuah gua tertutup dan jangan ganggu aku selama 10 tahun."

Pufff...!!! Dengan sekejap mata jin itu menyempurnakan permintaan si A.

Permintaan si B, "Aku mau semua jenis arak dari seluruh dunia untuk bekal selama 10 tahun dan letakkan dalam sebuah gua tertutup dan jangan ganggu aku selama 10 tahun."

Pufff...!!! Dengan sekejap mata jin itu menyempurnakan permintaan si B.

Berkata pula si C,"Aku mau semua jenis rokok dari seluruh dunia untuk bekal selama 10 tahun dan letakkan dalam sebuah gua tertutup dan jangan ganggu aku selama 10 tahun."

Pufff...!!! Dengan sekejap mata jin itu menyempurnakan permintaan si C.

Setelah genap 10 tahun, maka jin tersebut muncul kembali untuk membuka pintu gua masing2 sebagaimana yang dijanjikan.

Ketika membuka pintu gua si A, keluarlah si A dengan keadaan kurus kering, berdiri pun tidak bisa karena tidak sanggup untuk menggerakkan lutut sebab hari2 hanya memuaskan nafsu dengan perempuan. Tiba-tiba si A pun jatuh ke tanah lalu mati!!

Setelah itu jin tersebut pergi ke gua si B, ketika pintu dibuka, maka keluarlah si B dengan perut yang sangat buncit karena hari2 mabuk2an. Jalan pun terhuyung-huyung. Tiba-tiba si B pun jatuh ke tanah lalu mati !!

Setelah itu jin pergi ke gua si C dan membuka pintu gua. Tiba2 si C keluar dalam keadaan sehat walafiat dan terus MENAMPAR si jin. Sambil memaki si jin ia berkata: JIN GOBLOOOKK ....!!!! KOREKNYA MANA ...???!!!

Safety Lesson-nya :

"Rokok Tak Berbahaya sepanjang tidak ada koreknya"

Source : http://dqiebullinz.wordpress.com/2008/09/17/ternyata-rokok-tidak-berbahaya-ini-buktinya-banyak-orang-menghawatirkan-bahaya-rokok-dan/

Kamis, 16 Desember 2010

125. Sebuah Cerita Nyata Tentang Sebagian Banyak Orang Disekitar Kita

Suatu sore, seorang pemuda datang ke sebuah restoran yang menjual ayam goreng dan membeli 9 potong ayam. Ia membawa ayam gorengnya ke taman, untuk dinikmati bersama kekasihnya di bawah sinar rembulan yang romantis. Ketika membuka bungkusan ayam goreng itu, pemuda itu terkejut. Bukan ayam yang didapatinya, melainkan uang hasil penjualan restoran itu sebanyak 9 Jt rupiah. Pemuda itu kemudian mengembalikan uang itu dan meminta ayam goreng sebagai gantinya.


Pemilik restoran, merasa kagum atas kejujuran si pemuda, menanyakan namanya dan mengatakan hendak menelpon wartawan surat kabar dan stasiun televisi agar membuat cerita tentang si pemuda. Ia akan menjadi pahlawan, sebuah contoh nilai kejujuran dan moral yang akan mengilhami yang lain!


Namun pemuda yang sedang lapar itu menolaknya. "Kekasihku sedang menunggu. Aku hanya ingin ayam gorengku." Pemilik restoran menjadi semakin kagum atas sikap si pemuda yang begitu rendah hati. Ia memohon agar diijinkan menceritakan kejadian itu kepada wartawan. Pada saat itulah si pemuda jujur menjadi marah dan meminta ayam gorengnya.


"Aku tidak mengerti" kata pemilik restoran. "Anda adalah satu-satunya pemuda jujur di tengah dunia yang tidak jujur! Ini merupakan suatu kesempatan yang baik untuk mengatakan kepada dunia bahwa masih ada orang-orang jujur yang mau bertindak benar. Saya mohon, beritahukan nama Anda dan juga nama wanita itu. Apakah ia istrimu?"


"Itulah masalahnya," kata si pemuda. "Istriku ada di rumah. Wanita di dalam mobil itu adalah kekasihku. Sekarang berikan ayamku agar aku dapat pergi dari sini."


Moral of the story:............................


Mudah untuk terlihat baik di depan orang-orang yang tidak mengenalmu. Banyak di antara kita yang melakukan perbuatan baik di sana sini, pergi ke tempat ibadah, berkata benar, dan semua orang mengira kita adalah sosok ideal yang sebenarnya tidak demikian.


Yang terpenting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Tidaklah penting berapa banyak hal yang kau perbuat atau apa yang orang lain kira tentang dirimu.


Yang terpenting adalah mengeluarkan hal-hal terbaik yang ada dalam dirimu. Jangan lakukan sesuatu supaya orang lain menyukaimu atau supaya seseorang kagum padamu - lakukan sesuatu untuk menghargai dirimu sendiri, jadikan dirimu seseorang yang lebih baik.


Source : http://groups.yahoo.com/group/otomotif-l/message/288792


124. Rezeki = Amal

REZEKI YANG ALLAH BERIKAN KEPADA KITA BERBANDING LURUS DENGAN AMAL PERBUATAN KITA.....


“Ci, Gue lihat status lu di Facebook, elu lagi Di Jakarta ya, Gue Boleh ketemuan nggak?, Gue Darto ‘98, masih inget kan lu, ada yang pingin gue bicarain”. Begitulah pesan FB di Hp saya setelah saya ganti status “at Jakarta”. Saat di Kampus memang saya sering dipanggil Oci, Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di salah satu Fried Chicken di bilangan Pasar Rebo pk. 10.00 Pagi


“Ok, Pak Darto mau bicara apa?” Ujarku penasaran. “Enggak Ci, Gue Cuma pingin curhat aja, soalnya gue Cuma bisa ngomong ini sama elu. Elu percaya kan ci kalau Rezeki itu datangnya dari Allah!” Kata Darto. “Iya Percaya, Emang kenape?” ujarku.


“Gue Dapet Duit Ci dari Allah 5 M” Kata Si Darto. “Alhamdulillah, bagus dong, trus kenapa ente mau bicara same ane?, emang ente mau sedekah?” Ujarku berseloroh.


“Bukan Ci, begini ceritanya: Gue kenal sama Orang di FB, Namanya Abdul, Dia Orang Dubai, Ayahnya pengusaha Minyak, saat ayahnya menang tender ayahnya tersebut di Bunuh oleh rekan bisnisnya. Setelah itu Pengacaranya datang ke Abdul dan mengatakan bahwa Ayahnya punya dana diperusahaan yang nilainya 5 M, dana tersebut tidak bisa diserahkan ke ahli warisnya langsung, Dana tersebut harus ditransfer dulu ke orang lain, baru bisa ditransfer ke Rekening Abdul. Singkat cerita dana tersebut sudah berada di Bank of Canada di rekening gue. Saat Gue ingin mencairkan dana tersebut, Gue harus membayar pajak senilai 160 jt. Wah gimana ci? Gue kelihatan seperti orang gila ya? Abdul sekarang berada di Ghana, dan Ibunya sedang sakit keras di Rumah Sakit sehingga membutuhkan dana itu segera. Gue nggak enak ci, uang itu sekarang berada di rekening gue, dan gue punya tanggung jawab untuk mengembalikannya, tapi gue nggak punya uang untuk bayar pajaknya, gue udah bilang ci, kalau pajaknya dipotong langsung aja dari uang itu, tapi mereka bilang nggak bisa ci, gue harus bayar pajaknya dulu, baru uangnya dapat diambil, cerita ini nggak bohong ci, gue berani sumpah demi Allah” Ujar Darto.


“Cerita ente kayak disinetron ya….” Ujar ku.

Sebenarnya saya mau bilang hati-hati penipuan, tapi pasti sudah banyak yang bilang demikian ke dia, makanya dia datang ke saya dengan harapan tidak mendapatkan jawaban yang sama.


Mari kita bahas kasus diatas…


Rezeki itu emang datang dari Tuhan, tapi apakah kita tau berapa rezeki yang akan diberikan ke kita?. Tuhan itu Maha Adil. Rezeki yang diberikan ke kita Berbanding Lurus dengan Amal perbuatan kita di Dunia. Berapa Banyak yang kita lakukan ke orang lain, berapa banyak amal perbuatan kita ke orang lain, sebesar itulah Rezeki yang kita dapatkan.


Bagaimana jika Rezeki yang kita dapatkan lebih banyak dari amalan yang kita berikan ke orang lain? Gampang aja, Pasti Tuhan akan mengambillnya, Tuhan itu gampang sekali jika mau mengambil rezeki dari hamba-Nya.


Trus bagaimana kalau kita udah berbuat banyak ke orang lain, tapi Rezeki itu nggak dateng-dateng?


Sahabat pernah bertanya kepada salah seorang nabi, Ya Rosul kenapa pengikut kita banyak yang miskin?


Lalu sang Nabi berkata : “Pada suatu hari nanti akan terjadi, dimana umat kita merupakan mayoritas, tapi kualitasnya kalah dengan yang lain”, lalu sahabat bertanya kembali “Apa sebabnya ya Rosul?”


“Mereka Mempunyai penyakit yang namanya Wa’an” jawab sang nabi. “Penyakit apa itu ya Rosul?”


Tanya sahabat Penasaran.


“Penyakit tersebut adalah yang pertama mereka terlalu cinta dengan Dunia, dan yang kedua, mereka takut akan kematian” jawab sang Nabi. Lalu sahabat bertanya lagi “Apakah kita tidak boleh kaya ya Rosul”. Sang Nabi menjawab “Umatku boleh Kaya, tapi tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan tersebut, Tuhan akan membukakan pintu Rezeki bagi orang-orang yang amal perbuatannya baik”.


Dari kisah nabi diatas saya jadi teringat pesan Mas Jaya, “Jangan Berharap”.


Saya juga jadi teringat ketika seorang Mentri dilantik, ketika seorang musisi diberikan award, kebanyakan dari mereka berkata “Saya tidak pernah menyangka akan berdiri disini”.


Begitu juga dengan Seorang Millioner yang berkata pada anaknya “ Nak dulu kakekmu seorang guru, ayahmu ini kalau berangkat sekolah harus berjalan kaki selama 5 km. Makan saja 1 telur dibagi menjadi 5 bagian, untuk ayah, eyang ti, Akung, Pak de, dan Bu de. Sekarang kamu Alhamdulillah nak, sekolah pakai supir, makan sushi tiap hari.


Jadi siapa yang berani bilang Tuhan itu tidak adil. Jadi siapa yang berani meng-klaim itu adalah hak saya, itu adalah kekayaan saya, itu adalah rezeki saya?????


Trus Gimana pak caranya kaya?


Rajin Berbuat baik, Lakukan amal perbuatan yang baik, Sering menolong orang, Ikhlaskan dirimu menjadi orang baik.


Itu saja Pak?


Ya memang itu saja…..


Nggak perlu sekolah pak?


Sekolah itu bagian dari mencari ilmu, bukan mencari rezeki, mencari ilmu itu bagian dari ibadah, tapi bukannya kalau tidak sekolah itu Dosa, Sekolah bagus, Tidak Sekolah Tidak Dosa……


Ilmu sama rezeki itu beda….., tidak berbanding lurus…….


Makanya Pak Purdi bilang kalau mau sukses kuncinya bukan ilmu yang banyak tapi 7A


Nanti kalau nggak sekolah bagaimana kita bisa kaya pak???


Lho...Memangnya kamu fikir artis yg lagi ngetop sekarang si Tukul itu Sekolah? Atau Emangnya Mandra juga sekolah???? buktinya mereka tetap kaya raya kan??


Dan Emangnya kamu fikir pengangguran yg ada disekitar lingkungan kita pada nggak Sekolah????? mereka sekolah kan? ada yg S-1, S-2 bahkan gelar dokterpun banyak yang masih nganggur kan??


Udah deeeeh....., Rezeki itu Allah SWT yang ngatur, Tuhan sudah lebih tau betul mana yang pantas diberi rezeki dan mana yang nggak pantas diberi rezeki…., makanya pinter-pinter ambil hati-Nya……berkata yang baik, bersikap yang baik & berbuat lah yg baik kepada SEMUA MAHLUK ciptaan-Nya...


Trus misalnya saya udah berbuat baik, contohnya saya udah nganterin temen saya pulang ke rumahnya, trus dia lupa gitu aja, pas saya minta anterin balik dia nggak mau nganterin pak?. Trus Untungnya saya dimana pak?


Makanya jadilah orang yang ikhlas, Orang bisa lupa dengan kebaikan kita, tapi Tuhan nggak pernah lupa dengan kebaikan kita, begitu juga dengan kejahatan kita.


Nah Kembali kita lihat kisah Darto Diatas bagaimana Jawabannya?


Rezeki itu Allah yang ngatur, kalau kita nggak punya uang untuk bayar pajaknya ya nggak usah rela-relain pinjem duit untuk bayar pajak tersebut.


Kita Dosa dong pak, uangnya udah direkening kita?


Apanya yang dosa, lha wong belum dipakai apa-apa kok dosa.


Tapikan orang tersebut butuh dana untuk ibunya di Rumah Sakit?


Kalau Tuhan mengijinkan uang itu cair, pasti cair, kalau Tuhan tidak mengijinkan cair, sebagaimana pun usaha kita, tetep aja uang itu tidak cair,


Karena tidak selamanya yang kita anggap baik, baik juga menurut Tuhan, Mungkin ada Rahasia Tuhan dibalik ini semua, mungkin tuhan mau menyelamatkan kita.


Jadi dari pada kita sibuk mikirin uang tersebut. Lebih baik Kita lakukan aktivitas kita sehari-hari seperti biasa, perbanyak berbuat baik ke orang lain, kalau tuhan mengiijinkan Pak Darto menolong Abdul, Pak Darto bisa saja sukses di bisnisnya dan mendapatkan uang lebih dari 5 M tadi, dan Pak Darto bisa sumbangkan hasil keuntungan usaha Pak Darto tersebut untuk ibu yang berada di rumah sakit tersebut, kalau nunggu bayar pajaknya nya mah, sampai kakek-kakek terjebak dimasalah itu saja, bagaikan lalat yang ingin keluar dari dalam gelas terbalik.