Sabtu, 28 Mei 2011

160. Kisah Nyata - Ikatkan Sehelai Pita Kuning Bagiku

Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak ,, Georgia , Amerika.

Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya.

Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam-malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.

Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru.

Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya. Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang.

Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara. Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia merindukan istrinya.

Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya. Dia berharap dia masih boleh kembali.

Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, “Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku.”Akhirnya hari pelepasannya tiba.

Dia sangat gelisah. Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya? Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, “Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan-pelan. ..kita mesti lihat apa yang akanterjadi…” Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia tidak berani mengangkat kepalanya.

Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetes di matanya… Dia tidak melihat sehelai pita kuning… Tidak ada sehelai pita kuning….Tidak ada sehelai….. . Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning…. bergantungan di pohon beringin itu…Ooh… seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning…!!!!!!!!!!!!

Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, “Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree“, dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973.

Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree

I’m coming home I’ve done my time

And I have to know what is or isn’t mine

If you received my letter

Telling you I’d soon be free

Then you’d know just what to do

If you still want me

If you still want me

Oh tie a yellow ribbon

‘Round the old oak tree

It’s been three long years

Do you still want me

If I don’t see a yellow ribbon

‘Round the old oak tree

I’ll stay on the bus, forget about us

Put the blame on me

If I don’t see a yellow ribbon

‘Round the old oak tree

Bus driver please look for me

‘Cause I couldn’t bare to see what I might see

I’m really still in prison

And my love she holds the key

A simple yellow ribbon’s all I need to set me free

I wrote and told her please

Oh tie a yellow ribbon

‘Round the old oak tree

It’s been three long years

Do you still want me

If I don’t see a yellow ribbon

‘Round the old oak tree

I’ll stay on the bus, forget about us

Put the blame on me

If I don’t see a yellow ribbon

‘Round the old oak tree

Now the whole damn bus is cheering

And I can’t believe I see

A hundred yellow ribbons

‘Round the old, the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree

Tie a ribbon ’round the old oak tree


Source : http://www.yauhui.net/kisah-nyata-ikatkan-sehelai-pita-kuning-bagiku/

Minggu, 22 Mei 2011

159. Kisah Han dan Song - Hidup Bertetangga

Keluarga Han dan keluarga Song bertempat tinggal bersebelahan di propinsi Thai Chong beberapa abad silam. Han merupakan pedagang buah-buahan sedangkan Song pedagang tahu. Mereka bertetangga dan menjalankan usaha masing-masing di depan rumah mereka.

Suatu hari, ketika musim kemarau melanda propinsi Thai Chong mengakibatkan langkah kaki kuda yang menapak di atas tanah kering dan berlalu-lalang di depan rumah mereka menimbulkan debu-debu yang berterbangan ke segala penjuru.Debu-debu mengotori udara di sekitar tempat tinggal mereka, termasuk barang-barang dagangan mereka berdua. Song berniat baik untuk mencegah debu-debu di jalan berterbangan, menyirami jalan tanah di depan rumah mereka dan sekitarnya, termasuk jalan di depan rumah keluarga Han. Menyaksikan jalan di depan rumahnya disirami, Han bukannya berterimakasih, sebaliknya Han yang cenderung berpikiran negative dan terkenal suka mencari masalah dengan orang lain, menyalahkan Song. Han memperingati Song agar jangan menyirami jalan di depan rumahnya.

Selanjutnya Song hanya menyirami air di depan rumahnya saja. Merasa belum puas Han memberi peringatan kedua kali agar Song jangan sama sekali menyirami jalan. Song tidak menanggapi Han, sebagai akibatnya sebuah dendam tergores di hati Han. ”WAJARKAH ? MENGINGAT NIAT BAIK SONG? SERTA YANG DISIRAMINYA HANYALAH JALAN DI DEPAN RUMAHNYA SENDIRI?

Dendam yang tergores mengakibatkan Han tidak menyudahi usahanya dalam mencari kesalahan Song. Han mengalihkan permasalahan kepada pohon jeruk yang ditanam Song di halaman belakang rumahnya. Selama ini buah jeruk di dahan pohon yang tumbuh melewati pagar halaman Song dipetik dan dinikmati oleh Han. Namun Song tidak mempermasalahkannya, karena menurutnya itu adalah rejeki Han yang dapat turut menikmati buah jeruk yang ditanamnya. Malahan sebagian jeruk diberikan Song kepada Han untuk dijual tanpa meminta imbalan apapun. Kini Han mempermasalahkan daun-daun dan ranting pohon jeruk yang mengotori halaman belakangnya. Ia menuntut agar Song membersihkan halamannya. Song yang sabar membersikan halaman Han, kemudian ia memotong dahan-dahan pohon yang tumbuh melewati pagar halaman Han agar daun-daun dan ranting pohon jeruk tidak berjatuhan lagi di halaman umah Han. Sampai di sini Han merasa dirugikan karena tidak dapat menikmati buah jeruk lagi, semakin menimbun dendam pada Song.

Beberapa hari kemudian, Han terperajat ketika Song mengantarkan sekeranjang jeruk ke rumahnya. Namun kebaikan Song masih saja dicurigai oleh Han. Setelah Song pulang, Han mengupasi seluruh jeruk di keranjang untuk meyakinkan dirinya apakah jeruk-jeruk tersebut beracun atau tidak. Akhirnya sekeranjang jeruk tersebut tidak dapat dijual lagi, dan jeruk yang telah dikupas kulitnya tidak habis dimakan Han sehingga banyak terbuang. Atas ketabahan dan kebaikan Song, Han mulai menyadari kekeliruan-kekeliruannya. Namun Han belum sepenuhnya berubah. Suatu sore, saat hujan mengguyur dan mengakibatkan banjir, Han menyalahkan Song yang rumahnya terletak di dataran yang lebih tinggi sehingga air dari halaman rumah Song mengalir ke rumahnya, karena Song tidak dapat mencegah sifat air yang selalu mengalir ke tempat rendah, mengakibatkan Han murka, ia melaporkan Song ke pejabat setempat.

Han berkata pada pejabat bahwa Song menyebabkan seluruh barang di rumahnya terendam air. Pejabat menanyakan berapa kerugian yang dialami Han. Han menjawab sebesar 20 Tael emas, namun bisa dicicil 5 kali. Pejabat menanyakan dari mana dia tahu bahwa Song sanggup membayarnya. Han menjawab biasanya apapun permintaan atau tuntutan nya pada Song pasti ia akan menyanggupinya. Song berkata kepada pejabat bukan kemauannya air mengalir merendami rumah Han. Pejabat lalu berkata kepada Han, Song akan mengganti seluruh kerugianmu bila anda dapat membuktikan air mengalir dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Han tesipu malu atas kebijaksanaan sang pejabat. Han tidak sanggup melakukannya, sehingga masalah dianggap selesai.

Ditengah perjalanan pulang, Han tersandung akar pohon, sehingga jatuh terjerebab, ia mengalami patah kaki. Menyaksikan kemalangan Han, Song memapahnya ke tabib, setelah diobati Song memapahnya hingga kembali kerumahnya. Sejak saat itu Han tidak lagi mencari kesalahan / masalah kepada Song. Ia telah benar-benar menyadari kesalahan dan kekeliruannya. Akhirnya kedua keluarga tersebut hidup rukun dan harmonis.

Rabu, 18 Mei 2011

158. Kisah di Musim Dingin

Ini sebuah kisah nyata. Siu Lan, seorang janda miskin memiliki seorang putri kecil, berumur 7 tahun, Lie Mei. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup berdua.

Hidup penuh kekurangan membuat Lie Mei tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil lainnya.Suatu ketika di musim dingin, saat selesai membuat kue, Siu Lan melihat keranjang kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar Lie Mei menunggu di rumah karena ia akan membeli keranjang kue yang baru.


Pulang dari membeli keranjang kue, Siu Lan menemukan pintu rumah tidak terkunci dan Lie Mei tidak ada di rumah. Marahlah Siu Lan. Putrinya benar-benar tidak tahu diri, sudah hidup susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Lie Mei tidak menunggu rumah seperti pesannya.Siu Lan menyusun kue ke dalam keranjang, dan pergi keluar rumah untuk menjajakannya. Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya untuk menjual kue. Bagaimana lagi? Mereka harus dapat uang untuk makan.

Sebagai hukuman bagi Lie Mei, putrinya, pintu rumah dikunci Siu Lan dari luar agar Lie Mei tidak bisa pulang. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, pikirnya geram. Lie Mei sudah berani kurang ajar.

Sepulang menjajakan kue, Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang sudah membeku dan sudah tidak bernyawa. Siu Lan berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi Lie Mei tetap tidak bergerak.

Dengan segera, Siu Lan membopong Lie Mei masuk ke rumah.Siu Lan menggoncang- goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan Lie Mei. Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu lalu membukanya. Isinya sebungkus kecil biskuit yang dibungkus kertas usang. Siu Lan mengenali tulisan pada kertas usang itu adalah tulisan Lie Mei yang masih berantakan namun tetap terbaca: “Hi..hi..hi.. mama pasti lupa. Ini hari istimewa buat mama. Aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah. Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar. Hi..hi..hi.. mama selamat ulang tahun.”


Teman-teman, belajar dari kisah nyata ini, sering kali kita terlalu cepat menghakimi atau menghukum orang lain tanpa tahu fakta sebenarnya, hanya karena tidak sesuai dengan persepsi atau rencana kita. Berulang kali kita justru lebih sering menyakiti orang-orang yang kita cintai. Ingatlah jangan terlalu cepat menilai seseorang berdasarkan persepsi kita, karena persepsi kita belum tentu benar adanya.Ambillah waktu untuk berpikir. Sebab disitulah letak kekuatan. Ambillah waktu untuk membaca. Sebab disitulah dasar dari sebuah kebijaksanaan. Ambillah waktu untuk berdiam diri. Sebab disitulah kita berkesempatan untuk menemukan Tuhan. Ambillah waktu untuk berdoa. Sebab disitulah kekuatan terbesar di dunia


Selasa, 17 Mei 2011

157. Ketegaran di Balik Segala Kekurangan

Siang itu, cuaca kurang bersahabat. Angin bertiup kencang. Mendung mulai menyelimuti awan putih yang bergerak perlahan berubah menjadi kelabu… Ku percepat langkahku menuju sebuah warung kecil di dekat pusat perbelanjaan. “Mudah-mudahan jangan hujan dulu sebelum aku sampai di warung itu”, ujar bathinku sambil terus melangkah.

Dalam kondisi cuaca seperti ini, aku merasakan udara dingin masuk ke dalam rongga hidungku melalui tarikan nafas saat aku menarik dan membuang nafas. “Jangan kambuh….please…jangan kambuh, ya Allah…bantu aku”, kata bathinku terus menerus. Aku berusaha untuk tetap tenang dan stabil dalam langkah kakiku walau gerak langkah kaki ini ku percepat,

Kondisi tubuhku sangat rentan bila aku kecapaian. Aku akan kehabisan tenaga dan nafasku akan tersengal-sengal. Ya, aku memiliki penyakit sesak nafas, orang biasa menyebutnya ashma.

Kututup separuh wajah ini dengan jilbab yang kukenakan agar udara dingin tidak terlalu banyak yang kuhirup. Tiba-tiba…..byurrrr……..hujan turun dengan deras tanpa didahului dengan gerimis. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku sampai di warung kecil itu, tetapi hujan turun dengan cepatnya sehingga pakaian, sepatu basah kuyup oleh air hujan.

“ngiiiiikkkk……ngiiiikkkkk…..ngiiikkkk…,” bunyi nafasku…

Tubuhku gemetar karena dingin sementara bunyi nafasku semakin kencang…. nggggiiiikkkk…. ngggiiiikkkkk…. ngiiiikkkkk…

Aku mulai merasakan sesak yang mendalam, aku mulai kesulitan bernafas sementara tubuhkupun semakin gemetar menahan dinginnya udara.

“Sabar….sabar…sebentar lagi sampai di warung itu…”ujar bathinku….

Tak lama… aku pun tiba di sebuah warung kecil yang sejak semula akan ku tuju…

“Pak…pak….boleh saya numpang sebentar disini,”pintaku kepada pemilik warung kecil itu.

“Silahkan Nak…masuk aja,” sapa ramah Bapak tua pemilik warung.

“Terima kasih, Pak,”jawabku sambil kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam.

Aku berusaha tegar dengan kondisi yang kurasakan. Berkali-kali ku atur nafasku agar tidak bunyi…

Aku tidak mau menarik perhatian orang-orang di sekitar warung tersebut.

“uhuk…uhuk…ngiikkk….ngikkk…, tiba-tiba aku terbatuk-batuk disambung dengan bunyi nafasku. Aku semakin sesak. Batukku semakin keras dilanjut dengan bunyi nafasku.

Aku berjalan agak kepinggir menjauhi orang-orang yang sedang berteduh dalam warung itu. Kubungkukkan badanku untuk mendapatkan posisi yang nyaman untuk membantu jalannya pernafasanku.

“uhuk….uhuk…ngiiikkk…uhukk…uhukk…ngiikk….,”aku terus-terusan batuk dan menderik…ashmaku kambuh…

Aku sudah tidak kuat lagi…uhukkk…uhhuukkk..nggiikkk…, “Pak, bisa minta air panas…mendidih ya…,”pintaku kepada pemilik warung.

“Sebentar ya, Nak…,”

Tak lama kemudian…..ini, Nak….,”seraya memberikan segelas air panas mendidih dan meletakkan dimeja kecil dekat posisiku berdiri.

Dengan tangan gemetar, kucoba mengangkat gelas berisi air panas tersebut dan kuseruput airnya secara perlahan.

Terasa hangat dadaku…kuminum lagi pelan-pelan…sampai gelas itu kosong.

Aku meminta kembali air panas mendidih kepada Bapak tua sambil sesekali meminta maaf telah merepotkannya.

Hujan semakin deras. Aku harus bisa menolong diriku sendiri dan aku tidak mau menyusahkan orang lain dan membuat orang lain iba kepadaku.

“Ya…Allah….tolong angkat…sakitku, tolong sembuhkan…ya Allah..”,doaku sambil menyeruput kembali air panas yang diberikan oleh Bapak tua kepada ku.

Aku masih terbungkuk-bungkuk untuk mendapatkan posisi yang enak untuk bernafas…

Aku berjuang untuk diriku sendiri, semua orang memandangku dengan wajah iba.

Aku kesal kepada mereka yang melihatku. Aku merasa seperti tontonan yang patut ditonton dan dikasihani.

Lama aku terbungkuk-bungkuk hingga pada akhirnya akupun dapat mengendalikan emosiku pada situasi yang tidak menentu karena hujan angin.

Baju yang basah karena hujan telah kering dibadan, hujan deras yang disertai dengan angin pun sudah mulai mereda.

Perlahan aku menekukkan kakiku sambil masih terus membungkuk untuk mengambil posisi duduk.

Ku atur nafasku dan kurasakan batuk yang mendera diriku sudah mulai berkurang, dadaku sudah terasa lega..dan kulihat orang-orang yang ada disekelilingku satu persatu pergi meninggalkan warung kecil tempat kami berteduh sementara.

Sampai tinggal aku sendiri dan pemilik warung itu. Ah…akhirnya..aku bisa melewati permasalahanku… permasalahan dengan sakit yang kualami selama bertahun-tahun yaitu ashma.

Setelah hujan benar-benar reda, dan kurasakan tubuhku sudah agak ringan. Ku langkahkan kaki ini ke ruang lebih dalam lagi utuk mengembalikan gelas-gelas kosong bekas air panas yang ku minta tadi.

Saat ku buka horden, sebagai penutup dan pembatas ruang antara tempat menjual barang-barang dengan ruang tidur pemilik warung. Ku lihat Bapak tua yang telah memberiku minum berupa air panas, sedang membantu seseorang yang sedang berusaha bangkit dari posisi tidur untuk berubah menjadi posisi membungkuk.

“Pak…pak…, maaf ini gelasnya…taruh dimana ya,”ujarku kepadanya.

Bapak tua itu menoleh kepadaku dan aku semakin jelas melihat sosok yang dibantu oleh bapak itu. Seorang wanita tua, dengan raut wajah yang sangat lelah sekali… dan sesekali ku dengar nggiiikkkk… nggggiiiikkkk…. nggggiiikkkkk….

Ibu tua itu menderit seperti aku…., ini istri saya, kata Bapak tua pemilik warung memecahkan lamunanku sesaat.

“Istri saya…lumpuh separuh badan…sudah sepuluh tahun. Ia juga menderita sesak nafas…. Saya tidak tega dengan kondisi istri saya, lebih-lebih bila hujan tiba seperti tadi,”lanjutnya sambil membantu istrinya kembali.

Ku lihat wajah Ibu tua itu tersenyum…memandang ku.

“Bapak tidak bisa berbuat apa-apa, Bapak hanya bisa berserah diri pada Allah. Ini semua adalah pemberian dari Allah dan kita wajib untuk menjalani dengan penuh keikhlasan walau kadang Bapak juga merasa lelah dan capai.. Jangankan Bapak, Ibu lebih capai dibandingkan Bapak..”,lanjut Bapak tua itu kembali.

“Hanya ini yang bisa Bapak lakukan dalam menjalani hidup ini,”sambil menerima gelas-gelas kosong bekas minumku setelah mendudukan istrinya di sebuah dipan tua tempat Ibu itu tidur.

“Ya…Allah…. Tidak seberapa ujian yang kau berikan kepadaku dibandingkan dengan kondisi Ibu tua itu. Kadang mulut dan hati ini mengeluh, tidak ikhlas menghadapi dan menjalani ujian Mu, Ya Allah… maafkan aku…astagfirullah.

., tak terasa ada butiran-butiran hangat yang jatuh dari pelupuh mataku dan mengalir dipipiku..

Ku rogoh dompet dalam tas dan ku ambil beberapa lembar uang yang ada dalam dompet itu. Walau tidak banyak, aku ingin meringankan beban orang tua itu.

“Pak….maaf, ini ada sedikit rejeki…. Tolong diterima…dan terima kasih, tadi Bapak telah menolong saya dengan memberikan air minum panas, hingga saya sekarang sudah mulai lega kembali….,”ku ulurkan tanganku menggenggam tangan Bapak tua pemilik warung..

Ku dengar ucapan terima kasih dari Bapak tua itu dan ku lihat wajah Ibu yang sedang menahan rasa sakit…tersenyum padaku sambil mengangguk… dan sesekali kudengar…ngiiiikkk……ngggiiikkkkk….ngggiiikkkk….

Senyuman yang tegar dari seorang ibu dibalik segala kekurangannya.

Kulangkahkan kaki ini keluar dari warung kecil, walau masih terasa sesak di dada… kulangkahkan kaki menuju halte bis tak jauh dari warung kecil tempat ku berteduh tadi. Ku lihat jam di tanganku sudah menunjukan angka lima… hari telah senja bahkan hampir menjelang malam…

Tak lama ku menunggu di halte bis, Mikrolet 02 jurusan Pondok Gede tiba dan siap mengantarkan ku pulang. Hari ini aku telah mendapatkan suatu pelajaran yang paling berharga dari kehidupan sepasang suami istri yang saling mengasihi dan saling menyayangi satu dengan lainnya…serta kata yang disampaikan oleh Bapak tua, menjadikan hati dan pikiranku terbuka yaitu ….BERSERAH DIRI….

Allah berfirman dalam Al Qur’an surah ke 31, ayat 22:

“Dan barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah dan dia berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia berpegang kepada tali yang kukuh. Dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan”.

Medio, Selasa 9 Desember 2008.

oleh : iastrito

Kamis, 12 Mei 2011

156. Keseimbangan Hidup

Dikisahkan, suatu hari ada seorang anak muda yang tengah menanjak karirnya tapi merasa hidupnya tidak bahagia. Istrinya sering mengomel karena merasa keluarga tidak lagi mendapat waktu dan perhatian yang cukup dari si suami. Orang tua dan keluarga besar, bahkan menganggapnya sombong dan tidak lagi peduli kepada keluarga besar. Tuntutan pekerjaan membuatnya kehilangan waktu untuk keluarga, teman-teman lama, bahkan saat merenung bagi dirinya sendiri.

Hingga suatu hari, karena ada masalah, si pemuda harus mendatangi salah seorang petinggi perusahaan di rumahnya. Setibanya di sana, dia sempat terpukau saat melewati taman yang tertata rapi dan begitu indah.

"Hai anak muda. Tunggulah di dalam. Masih ada beberapa hal yang harus Bapak selesaikan," seru tuan rumah. Bukannya masuk, si pemuda menghampiri dan bertanya, "Maaf, Pak. Bagaimana Bapak bisa merawat taman yang begitu indah sambil tetap bekerja dan bisa membuat keputusan-keputusan hebat di perusahaan kita?"

Tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan, si bapak menjawab ramah, "Anak muda, mau lihat keindahan yang lain? Kamu boleh kelilingi rumah ini. Tetapi, sambil berkeliling, bawalah mangkok susu ini. Jangan tumpah ya. Setelah itu kembalilah kemari".

Dengan sedikit heran, namun senang hati, diikutinya perintah itu. Tak lama kemudian, dia kembali dengan lega karena mangkok susu tidak tumpah sedikit pun. Si bapak bertanya, "Anak muda. Kamu sudah lihat koleksi batu-batuanku? Atau bertemu dengan burung kesayanganku?"

Sambil tersipu malu, si pemuda menjawab, "Maaf Pak, saya belum melihat apa pun karena konsentrasi saya pada mangkok susu ini. Baiklah, saya akan pergi melihatnya."

Saat kembali lagi dari mengelilingi rumah, dengan nada gembira dan kagum dia berkata, "Rumah Bapak sungguh indah sekali, asri, dan nyaman." tanpa diminta, dia menceritakan apa saja yang telah dilihatnya. Si Bapak mendengar sambil tersenyum puas sambil mata tuanya melirik susu di dalam mangkok yang hampir habis.

Menyadari lirikan si bapak ke arah mangkoknya, si pemuda berkata, "Maaf Pak, keasyikan menikmati indahnya rumah Bapak, susunya tumpah semua".

"Hahaha! Anak muda. Apa yang kita pelajari hari ini? Jika susu di mangkok itu utuh, maka rumahku yang indah tidak tampak olehmu. Jika rumahku terlihat indah di matamu, maka susunya tumpah semua. Sama seperti itulah kehidupan, harus seimbang. Seimbang menjaga agar susu tidak tumpah sekaligus rumah ini juga indah di matamu. Seimbang membagi waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Semua kembali ke kita, bagaimana membagi dan memanfaatkannya. Jika kita mampu menyeimbangkan dengan bijak, maka pasti kehidupan kita akan harmonis".

Seketika itu si pemuda tersenyum gembira, "Terima kasih, Pak. Tidak diduga saya telah menemukan jawaban kegelisahan saya selama ini. Sekarang saya tahu, kenapa orang-orang menjuluki Bapak sebagai orang yang bijak dan baik hati".

Teman-teman yang luar biasa,

Dapat membuat kehidupan seimbang tentu akan mendatangkan keharmonisan dan kebahagiaan. Namun bisa membuat kehidupan menjadi seimbang, itulah yang tidak mudah.

Saya kira, kita membutuhkan proses pematangan pikiran dan mental. Butuh pengorbanan, perjuangan, dan pembelajaran terus menerus. Dan yang pasti, untuk menjaga supaya tetap bisa hidup seimbang dan harmonis, ini bukan urusan 1 atau 2 bulan, bukan masalah 5 tahun atau 10 tahun, tetapi kita butuh selama hidup. Selamat berjuang.

Salam sukses luar biasa!!

By : Andrie Wongso

Rabu, 11 Mei 2011

155. Kentang Kebencian

Kisah ini terjadi di salah satu TK di Australia. Pada suatu hari, guru TK tersebut mengadakan permainan dengan menyuruh setiap muridnya untuk membawa sebuah kantong plastik transparan dan kentang.

Masing masing kentang tersebut di beri nama berdasarkan nama orang yang dibenci. Jadi, setiap anak membawa jumlah kentang yang berbeda sesuai jumlah orang yang mereka benci. Pada hari disepakati, semua murid membawa kantong plastik berisi kentang ke sekolah. Ada yang berjumlah dua, ada yang tiga, bahkan ada yang lima buah.

Seperti perintah guru nya, tiap-tiap kentang diberi nama orang yang mereka benci. Murid-murid harus membawa kantong berisi kentang itu kemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun. Hal itu berlangsung selama satu minggu.

Hari berganti hari,kentang-kentang pun mulai membusuk, murid-murid mengeluh, apalagi yang membawa lima buah kentang. Selain berat,baunya tidak sedap.

Setelah satu minggu, murid-murid TK tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir.

''bagaimana rasanya membawa kentang selama seminggu?'' tanya sang guru

Segera keluarlah keluhan dari murid-murid TK tersebut. Pada umumnya,mereka merasa tidak nyaman harus membawa kentang-kentang busuk tersebut kemana pun mereka pergi. Guru pun menjelaskan apa arti dari 'permainan' yang mereka lakukan.

''seperti itulah rasanya apabila kita selalu membawa kebencian kita dan tidak mau memaafkan orang lain''

Senin, 09 Mei 2011

154. Kebencian Tidak Dapat Diakhiri dengan Kebencian

Seorang gadis bernama Li-li menikah dan tinggal bersama suami dan ibu mertua. Dalam waktu singkat, Li-li menyadari bahwa ia tidak dapat cocok dengan ibu mertuanya dalam segala hal. Kepribadian mereka berbeda dan Li-li sangat marah dengan banyak kebiasaan ibu mertua. Li-li juga dikritik terus-menerus. Hari demi hari, minggu demi minggu, Li-li dan ibu mertua tidak pernah berhenti konflik dan bertengkar. Keadaan jadi tambah buruk, karena berdasarkan tradisi Cina, Li-li harus taat kepada setiap permintaan sang mertua.

Semua keributan dan pertengkaran di rumah itu mengakibatkan suami yang miskin itu ada dalam stress yang besar.

Akhirnya, Li-li tidak tahan lagi dengan temperamen buruk dan dominasi ibu mertuanya, dan dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Li-li pergi menemui teman baik ayahnya, Mr Huang, yang menjual jamu. Li-li menceritakan apa yang dialaminya dan meminta kalau-kalau Mr Huang dapat memberinya sejumlah racun supaya semua kesulitannya selesai.

Mr Huang berpikir sejenak dan tersenyum dan akhirnya berkata, Li-li, saya akan menolong, tapi kamu harus mendengarkan dan melakukan semua yang saya minta.

Li-li menjawab,”Baik, saya akan melakukan apa saja yang anda minta.”

Mr Huang masuk kedalam ruangan dan kembali beberapa menit kemudian dengan sekantong jamu.

Dia memberitahu Li-Li, “Kamu tidak boleh menggunakan racun yang be-reaksi cepat untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena nanti orang-orang akan curiga. Karena itu saya memberimu sejumlah jamu yang secara perlahan akan meracuni tubuh ibu mertuamu. Setiap hari masakkan ayam dan kemudian campurkan sedikit jamu ini. Nah, untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mencurigaimu pada waktu ia meninggal, kamu harus berhati-hati dan bertindak dangan sangat baik dan bersahabat. Jangan berdebat dengannya, taati dia, dan perlakukan dia seperti seorang ratu.”

Li-Li sangat senang. Dia kembali ke rumah dan memulat rencana pembunuhan terhadap ibu mertua.

Minggu demi minggu berlalu, dan berbulan bulan berlalu, dan setiap hari, Lili melayani ibu mertua dengan masakan yang dibuat secara khusus. Li-Li ingat apa yang dikatakan Mr Huang tentang menghindari kecurigaan, jadi Li-Li mengendalikan emosinya, mentaati ibu mertua, memperlakukan ibu mertuanya seperti ibu-nya sendiri dengan sangat baik dan bersahabat.

Setelah enam bulan, seluruh rumah berubah. Li-li telah belajar mengendalikan emosi-nya begitu rupa sehingga hampir-hampir ia tidak pernah meledak dalam amarah atau kekecewaan. Dia tidak berdebat sekalipun dengan ibu mertua-nya, yang sekarang kelihatan jauh lebih baik dan mudah ditemani.

Sikap ibu mertua terhadap Li-li berubah, dan dia mulai menyayangi Li-li seperti anaknya sendiri. Dia terus memberitahu teman-teman dan kenalannya bahwa Li-li adalah menantu terbaik yang pernah ditemuinya. Li-li dan ibu mertuanya sekarang berlaku sepertu ibu dan anak sungguhan. Suami Li-li sangat senang melihat apa yang telah terjadi.

Satu hari, Li-li datang menemui Mr. Huang dan minta pertolongan lagi. Dia berkata, “Mr Huang, tolonglah saya untuk mencegah racun itu membunuh ibu mertua saya. Dia telah berubah menjadi wanita yang sangat baik dan saya mengasihinya seperti ibu saya sendiri. Saya tidak ingin dia mati karena racun yang saya berikan.”

Mr. Hunag tersenyum dan mengangkat kepalanya. “Li-li, tidak usah khawatir. Saya tidak pernah memberimu racun. Jamu yang saya berikan dulu adalah vitamin untuk meningkatkan kesehatannya. Satu-satunya racun yang pernah ada ialah didalam pikiran dan sikapmu terhadapnya, tapi semua sudah lenyap oleh kasih yang engkau berikan padanya.”

Teman, pernahkah engkau menyadari bahwa sebagaimana perlakukanmu terhadap orang lain akan sama dengan apa yang akan mereka lakukan terhadap kita ?