Rabu, 29 Juni 2011

167. Perbandingan Cawan dan Kolam

” Aduhai, kenapakah hidup aku selalu dirundung malang begini..? ” lelaki itu berkeluh-kesah. Selama hidupnya, dia tak pernah merasakan ketenangan yang sebenar. Hatinya tidak pernah sepi daripada merasakan kerisauan. Fikirnya, tuhan tidak pernah sudi meminjamkan kedamaian hati padanya. Dia sangat cemburu apabila memandang sekeliling. Mereka bebas ketawa dan mudah tersenyum. Tapi dia? Dia hanya mampu tenggelam dalam dunia sepi dan resahnya sendiri.

Hatinya tidak mampu mengisi segala masalah yang menghimpit jiwanya. Lalu, selepas lelah dan puas berfikir, suatu hari dia melangkah lunglai menuju ke ujung kampung. Niat hatinya, ingin menemui seorang lelaki tua. Setiap hari, wajah lelaki tua itu sentiasa basah dan sejuk. Damai sentiasa bertamu diwajahnya. Dia ingin sekali meminta rahasia, ” bagaimanakah boleh ku nikmati hidup begitu juga? ” . Lalu, dia terus bertanya kepada lelaki tua tersebut.

Masalah keluh kesah dan kerisauannya didengar lelaki tua itu sambil tersenyum. Lalu mengajak lelaki itu ke suatu tempat yaitu ke tepi sebuah kolam yang besar sambil membawa sebiji cawan dan dua bungkus garam. Lelaki itu mengikut, walaupun hatinya sedikit heran.

” Anak muda… ” lelaki tua itu bersuara .

” Ambillah cawan ini, isikanlah air dan masukkanlah sebungkus garam. ” ujarnya lagi. Lelaki itu yang dalam kebingungan hanya menurut. Cawan diambil…air diisi…dan garam dimasukkan. Kemudian lelaki tua itu berkata lagi.

” Sekarang kamu minumlah air tersebut “. Dalam bingung yang masih bersisa, lelaki itu mengikut kata lelaki tua itu.

” Apa rasanya? “, tanya lelaki tua itu apabila melihat kerutan di dahi lelaki tersebut.

” Asin! ” lelaki tua itu tersenyum lagi.

” Sekarang, kamu masukkan pula sebungkus garam ini ke dalam kolam itu, dan kamu hiruplah airnya. ”

Lelaki tua itu menunjukkan arah ke kolam. Sekali lagi lelaki itu hanya mengikut tanpa menyoal. Air di ambil dengan kedua belah tapak tangan dan dihirup.

” Apa rasanya, anakku? ” soal lelaki tua itu.

” Tawar, tidak asin seperti tadi “, lelaki muda itu menjawab sambil mengelap mulut.

” Anakku, adakah kamu memahami kenapa aku meminta kamu berbuat begitu tadi? ” tanya lelaki tua itu, sambil memandang tepat ke arah lelaki tersebut. Lelaki itu hanya menggeleng. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu lelaki tersebut.

” Anakku, beginilah perumpamaan kita dan masalah. Garam itu umpama masalah. Cawan dan kolam umpama hati kita. Setiap orang mempunyai masalah, ditimpa masalah, dan diuji dengan masalah. Tetapi, kalau hati kita sebesar cawan, maka kita akan merasai pahitnya masalah itu, pedihnya hati kita dan keluh kesahnya kita. Tetapi kalau hati kita sebesar kolam, masalah tidak akan mengganggu kita. Kita masih bisa tersenyum, sebab kita akan mengerti masalah bukan hadir untuk menyusahkan kita. Masalah dianugerahkan untuk kita berfikir, untuk kita muhasabah diri. Masalah dan ujian akan memberi hikmah kepada kita. Anakku, itulah rahsiaku. Aku sentiasa berlapang dada, aku sentiasa membesarkan jiwaku, supaya aku bisa berfikir tentang perkara-perkara lain dan masih bisa memberi kebahagiaan padaku. Aku tidak akan sesekali membiarkan hatiku kecil seperti cawan, sehingga aku tidak mampu menanggung diriku sendiri ” .

Sabtu, 25 Juni 2011

166. Peniti dari Kakek

Rasanya menyesal sekali mengapa di saku celana saya ternyata tinggal tiga ribu perak, padahal turun keluar kantor maksudnya mau beli tolak angin … (maklumlah mau menjadi orang pinter .. kan katanya orang pinter minum tolak angin … huahaha). Loh, sampeyan ini nanya saya kenapa kok nyesel … iya, bukan karena tolak anginnya harganya lebih dari tiga ribu, tetapi … bentar dulu ya.. ceritanya ada .. hehe.

Kita ini kadang-kadang teledor untuk hal-hal yang kecil seperti itu, misalnya lupa nggak bawa dompet, atau kunci kantor ketinggalan, atau bahkan kartu absen lupa nggak dibawa … hehe ngaku nggak ? Saya kadang-kadang juga begitu lha wong saya kan juga manusia, yang bisa lupa hehe .. sama seperti kemarin itu, mengapa nggak saya taruh uang yang cukup di kantong saku saya, padahal perasaan setiap hari sudah selalu menyiapkan uang bila mau berangkat kantor. Lha ini pas dibutuhkan malah gak siap …. Ini bukan soal uangnya itu tapi penyesalan yang terjadi….

Saya memang turun ke warung sebelah kantor, mau beli tolak angin karena lagi nggak enak body … bener-bener meriang karena sudah beberapa hari ini kerja lembur … pulang malam, malah kena hujan, jadi biasalah … badan perlu maintenance dikit hehehe … pas keluar di samping kantor ada bapak-bapak tua sekali boleh dibilang kakek-kakek… menawarkan dagangannya berupa barang-barang kecil seperti peniti, lem, pinset, potongan kuku dan sebagainya…. Bapak itu teriak-teriak menawarkan dagangannya kepada setiap orang yang lalul lalang di hadapannya… tapi lha wong dagangannya kayak gitu, mana ada yang perhatikan … semua orang lagi kelaparan mau makan siang … Apalagi cewek-cewek cantik yang berseliweran … mana mikirin peniti… hehe. Saya terhenyak melihat ekspressi wajah si kakek itu … kasihan banget gak ada yang beli satupun. Wajahnya memelas … jadi sedih melihatnya.

Saya otomatis merogoh saku, waduh … ternyata yang saya sangka uang dua puluh ribuan itu hanya uang seribuan … karena warnanya kan sama. Jadi duit cuma tinggal tiga ribu, mau beli tolak angin gak tau berapa, takut nanti kurang … akhirnya mau sedekah urung ntar dulu dapetin tolak angin dulu dong … ternyata hanya dua ribu harganya … jadi uang sisa seribu… kembali dari warung saya buru-buru kembali ke kakek penjual asongan itu dan saya beli seplastik kecil peniti harganya cuma seribu … ! Begitu si kakek menerima uang seribu dari saya, terucap dengan jelas di telinga saya rasa syukurnya ….“alhamdulillaaaahh ..!! ”.

Waduh….. degg !! Saya sampai lupa masuk angin, rasanya saya nyesel banget kenapa kok tadi nggak saya kasih saja uang itu semua…. Toh masih bisa ambil di ATM sebentar …, Kepikiran itu saya langsung ke ATM … mencoba kembali mencari kakek itu mau saya kasih uang sisa bulan ini… aduh, dimana beliau .. ? Sudah pergi ….. Ya Allah, ampunilah saya … begitu egoisnya saya hanya karena masuk angin … Tapi peniti itu masih dalam genggaman… entah untuk apa peniti itu saya nggak tau, karena niat saya membeli hanya ‘mayok-ke’ istilah jawanya … biar laku ! Tapi respon si kakek itu membuat saya belajar betul arti bersyukur …. Saya sungguh kurang bersyukur selama ini … !

Maafkan saya kakek, begitu lambatnya saya berfikir tentang berbagi rizqi…. Padahal Allah telah memperlihatkan di depan mata saya … Saya hanya sibuk dengan urusan dunia, tugas kantor, target dan segala macam kesibukan yang menyita waktu … Astaghfirullah … jangan masukkan kami dalam golongan orang yang lalai ya Allah … sholat setiap hari tapi tidak peduli orang miskin …. Dengan apa saya membayar hutang itu ?

Selasa, 21 Juni 2011

165. PELITA - Cahaya Penerang Buat Diri Sendiri & Orang Lain

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.”

Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta. Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!” Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!” Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!” Si buta tertegun.. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.” Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.” Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah pelita saya padam?” Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.” Senyap sejenak. secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?” Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).

REFLEKSI

Sibuta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk “membuta” walaupun mereka bisa melihat.

Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.

Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.

Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

-

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.

Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.

Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Pikiran yang tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.

Selasa, 14 Juni 2011

164. Nilai Sebuah Emas

Seorang pemuda mendatangi Zun-Nun dan bertanya, “Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain?”

Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?.”

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas?. Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.” “Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.” Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian.”

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain.

Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda.

Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas.

Sobat…“Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”

Minggu, 12 Juni 2011

163. Kugadaikan Diriku Demi Adikku

Keteduhan memang masih ada dikampung yang jauh dari hingar bingarnya budaya perkotaan. Polusi udara belum menyentuhnya, walaupun televisi sudah mulai mempengaruhi gaya hidup anak anak muda.

Adalah dua kakak beradik yang hidup dalam keluarga yang pas-pasan, bahkan lebih banyak kekurangannya. Tidak jarang kedua kakak-beradik ini saling mengalah. Kalau hari ini kakaknya mengalah tidak mendapat jatah, besok adiknya yang mengalah demi kakaknya. Tidak ada iri hati dan juga tidak ada kebencian. Kebahagian adik adalah kebahagian kakak.

Hari itu mereka berdua bermain bersama. Tidak sengaja, kakaknya menyenggol kacamata ayahnya yang ditaruh di atas meja, terjatuh dan...

“prak”, pecah. Keduanya saling pandang, bungkam dan berpelukan, tidak ada kata tuduhan dan tidak ada kalimat saling menyalahkan. Mereka kompak, diam dan tidak memberitahukan kepada ayahnya.

Ayahnya masuk dan mendapatkan kacamatanya sudah pecah. Ayah yakin salah satu di antara kedua anaknya yang menjatuhkannya. Keduanya hanya membisu saat ditanya.

“Ayu. Kamu yang menjatuhkan kacamata ayah?”, pertanyaan ayah kepada anak pertama. Ayu diam menunduk, mengarahkan pandangan matanya ke lantai dengan ketakutan.

“Rahma. Kamu yang menjatuhkan kacamata ayah?”, giliran pertanyaan diajukan kepada adiknya. Rahma pun diam, menunduk dan mengigit bibirnya.

“Kacamata ini tidak mungkin jatuh sendiri tanpa ada yang menjatuhkan. Kalau tidak ada yang mengaku, semua akan ayah hukum lebih berat”, ayahnya mengancam supaya ada yang mengaku. Mereka berdua sadar, meskipun mengaku tetap akan dihukum, karena sudah tahu kebiasaan ayahnya.

Mendengar ancaman ayahnya, Rahma langsung angkat bicara.

“Maafkan Rahma ayah, Rahma yang menjatuhkan”.

Rahma mengambil alih tanggung jawab kakaknya demi cinta dan kasih sayang. Dia tahu konsenkuensi apa yang akan diterima dari ayahnya.

“Buka tangannya, maju ke mari...!”, perintah ayahnya yang sudah siap memegang pecahan bambu. Dan... “Bug... bug... bug...” kayu itu mendarat bertubi tubi di kedua telapak tangan Rahma. Mata Rahma meneteskan air mata mulutnya merintih rintih menahan sakit.

Ayu tidak tahan melihat ayahnya memukuli adiknya. Dia hanya bisa menahan tangis dan lari ke kamarnya. Di dalam kamar, ia tumpahkan tangisnya. Ada rasa bersalah yang tak mungkin dimaafkan oleh adiknya. Ada sesal yang tak mungkin bisa dikembalikan. Mengapa harus adiknya menanggung, padahal dirinya yang melakukan. Dia merasa telah berbuat kesalahan dan mementingkan diri sendiri. Seharusnya, seorang kakak melindungi adiknya, tapi kenapa justru adik yang menyelamatkna kakaknya dan terpaksa mengambil alih tanggung jawab kakaknya.

Sejak saat itulah, Ayu berjanji pada dirinya sendiri akan berbuat apa saja untuk adiknya agar kelak menjadi orang yang sukses, berhasil, mengangkat harkat dan martabat orang tuanya, dibanggakan oleh seluruh keluarganya.

Waktu terus berjalan. Kedua kakak dan adik telah lulus SMP. Keduanya berhasil mendapatkan NEM yang mambanggakan sekolahnya, 48.

Seharusnya mereka berdua diterima di SMA yang menjadi idaman semua siswa. Ayah dan ibunya merasa gembira, anaknya lulus SMP. Tetapi kegembiraan itu pupus setelah menyadari betapa tingginya biaya pendidikan. Bagaimana bisa menyekolahkan kedua anaknya, sementara perekonomian keluarga lebih banyak kurangnya daripada pasnya. Lagi lagi kedua kakak beradik itu diuji kebersamaan dan rasa kasih sayangnya.

Mulanya sang adik bersihkeras mengalah demi kakaknya, agar dapat melanjutkan ke SMA. Dia memilih tidak meneruskan sekolah, membantu orang tua memperkuat perekonomian, agar kakaknya bisa sekolah. Tetapi kakaknya sudah bersumpah dan berjanji, demi adiknya apapun akan dilakukan. Rahma harus sekolah.

Kini Rahma sudah duduk di bangku SMA. Biaya pendidikan bisa ditanggungi, apalagi Ayu ikut berkerja menghidupkan keluarga ini. Masalahnya, sesudah tamat sekolah, Rahma harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Masih mampukah keluarga ini membiayai pendidikan Rahma sampai tingkat selanjutnya.

“Mbak Ayu, Rahma sekolahnya sampai SMA saja ya?”, Rahma menyampaikan keinginan itu kepada kakaknya. Dia cukup memaklumi kondisi keluarga. Tetapi Ayu tidak menanggapinya, justru memberikan motivasi dan mendorongnya untuk terus bisa melanjutkan sekolahnya.

“Rahma, kamu harus terus bisa kuliah. Mbak akan berkerja ke kota agar kamu bisa terus kuliah. Biar Mbak yang mencari biaya pendidikan kamu”. Ayu meyakinkan adiknya agar kelak menjadi orang hebat.

Ternyata mencari kerja di kota tidak mudah. Apalah arti ijazah SMP, paling paling menjadi pembantu rumah tangga, atau pelayan toko. Itu pun harus punya koneksi. Masuk penampungan Yayasan Penyedia PRT atau Baby sitter, harus nanti diberikan kepada pengelola penampungan, atau tiga bulan gaji untuk yayasan. Cukup lama Ayu mondar mandir, pindah kerja dari satu kerja ke tempat kerja lain hanya karena gajinya terlalu kecil. Sedangkan dia sudah punya komitmen membiayai kuliah adiknya.

Lelah sudah usahanya untuk mengais rezeki. Dalam kelelahan itu dia bertemu dengan seorang yang menawarkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar. Tanpa berfikir panjang, tawaran itu diterima. Dan mulailah ia berkerja.

Sungguh tak pernah terfikir dan tak pernah dibayangkan, ternyata pekerjaan yang harus dilakukannya adalah menemani laki laki hidung belang. Apa mau dikata, terlanjur basah ya sudah mandi sekalian. Cita citanya hanya satu yaitu membiayai kuliah adiknya.

Inilah sisi kehidupan kota. Wajah wajah seperti Ayu terbilang jumlahnya. Motif dan latar belakang sangat bervariasi dan berbeda beda. Ayu harus berkerja, tidak ada pilihan lain. Dia tersenyum disaat orang orang tersenyum, padahal batinnya menjerit. Dia harus tampil all out, padahal hatinya hanya untuk adiknya. Dia harus mampu mengairahkan, padahal tidak mempunyai semangat, kecuali bagaimana cara mendapatkan uang. Yang paling membuatnya “terpukul” adalah kata hatinya yang bertentangan dengan kenyataan. Dia harus berbohong kepada kedua orang tuanya. Dia harus berbohong kepada adiknya, dia harus berbohong kepada dirinya sendiri. Mereka semua tidak pernah tahu apa sebenarnya pekerjaan Ayu, selain hanya mendapat jawaban kerja di hotel.

Perjalanan Ayu cukup panjang, dari satu meja ke meja lain, dari kamar ke kamar, dari satu pelukan ke pelukan lain. Pernah ayu mencoba untuk berhenti, tetapi cita citanya mengalahkan kata hatinya. Pernah juga Ayu datang kepada seorang yang memiliki ilmu agama yang kuat, tetapi hanya mendapat nasihat supaya berhenti dari pekerjaannya tanpa memberikan solusi pekerjaan apa yang bisa mendatangkan rezeki.

Ayu sadar apa yang dia lakukan adalah dosa besar. Maka itu di sela sela kesibukannya sebagai pramusyahwat. Ayu masih melaksanakan ibadahnya dan berdoa menangis kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Tuhan adakah yang aku kerjakan ini masih mendapat bagian dari pahala? Tuhan aku mohon Engkau memberikan jawaban, siapakah yang lebih mulia di antara orang yang melacur demi mendapatkan kemuliaan-MU, ataukah orang yang merampok, korupsi dan menggarong uang negara untuk melacur? Tuhan, beri aku kesempatan untuk bertobat setelah selesai tugasku memuliakan keluarga.”

Tidak sia sia perjuangan Ayu. Rahma telah mampu menempuh pendidikannya dengan tepat waktu, berhasil mendapatkan gelar sarjana. Tidak tanggung tanggung, Rahma menjadi mahasiswi teladan, dan mendapat penghargaan.

Rahma tak kuasa menahan tangis ketika disebut namanya, disaat wisuda, di saat profesor menyerahkan gulungan kertas. Air matanya terus mengalir dan dadanya sesak menahan keharuan. Segera dia berlari meninggalkan panggung kehormatan mencari Ayu, kakaknya, di antara kerumunan orang banyak.

Semua perhatian orang tertuju kepadanya, ada keheranan, karena upacara belum selesai. Ada yang ikut berlari dibelakangnya, khawatir terjadi sesuatu. Ayu ditemukan duduk di deretan paling belakang, lalu dipeluk dan dicium bertubi tubi. Keduanya terlibat dalam keharuan, tak bisa berkata kata, selain isak tangis dan sesenggukan. Orang bertanya tanya.

Di situlah, Rahma menyatakan bahwa keberhasilannya adalah milik Ayu, kakaknya. Tidaklah sebanding pengorbanan kakaknya dengan secarik kertas sertifikat IJAZAH yang diterima. Terlalu tinggi nilai nilai kasih sayang dan persaudaraan seorang kakak kepada adiknya.

Kugadaikan diriku .... demi adikku

Ayu merasakan beban berat telah lepas dari pundaknya. Ayunan langkahnya terasa ringan. Sumpah dan janjinya telah dibuktikan. Tanggung jawabnya telah diselesaikan. Ayu kembali bersama Rahma, kembali ke rumah, kembali kepada fitrahnya meninggalkan semua kehidupan suram yang bertentangan dengan nuraninya.

Tidak ada yang terpikirkan lagi kecuali sampai di rumah lalu langsung mengelar sajadah, sujud mohon ampun kepada Tuhan.

Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Pengampun dan menerima taubat.

*Kasih sayang seorang kakak yang sungguh besarnya kepada adik yang ia cintai. Hanya karena kesalahan seorang kakak dimasa kecil yang di tanggung oleh adiknya guna melindungi kakak yang ia sayangi.

Cinta seorang kakak kepada adiknya hingga rela menyuramkan masa depannya demi adik dalam meneruskan pendidikan dengan cara menjajahkan tubuhnya memuaskan nafsu bejad laki laki hidung belang.

NN

Jumat, 10 Juni 2011

162. Kisah Si Anak Katak

Ada kegundahan tersendiri yang dirasakan seekor anak katak ketika langit tiba-tiba gelap. “Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?” ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya. Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut.

“Anakku,” ucap sang induk kemudian. “Itu bukan pertanda kebinasaan kita. Justru, itu tanda baik.” jelas induk katak sambil terus membelai. Dan anak katak itu pun mulai tenang.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. “Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu?” tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.

“Anakku. Itu cuma angin,” ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. “Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!” tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.

“Blarrr!!!” suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. “Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!” ucapnya sambil terus memejamkan mata.

“Sabar, anakku!” ucapnya sambil terus membelai. “Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah. Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang,” ungkap sang induk katak begitu tenang.

Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, “Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!”

**

Anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum.

Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. Persis seperti anak katak yang takut cuma karena langit hitam, angin yang bertiup kencang, dan kilatan petir yang menyilaukan. Padahal, itulah sebenarnya tanda-tanda hujan.

Benar apa yang diucapkan induk katak : jangan takut melangkah, jangan sembunyi dari kenyataan, sabar dan hadapi. Karena hujan yang ditunggu, insya Allah, akan datang. Bersama kesukaran ada kemudahan. Sekali lagi, bersama kesukaran ada kemudahan.

Rabu, 08 Juni 2011

161. Kisah Sebuah Jam

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. “Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?” “Ha?,” kata jam terperanjat, “Mana sanggup saya?”

“Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?” “Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jawab jam penuh keraguan.

“Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?” “Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam. “Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?” “Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias.

Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali.

Renungan :

Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa berat. Namun sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya, kita ternyata mampu. Bahkan yang semula kita anggap impossible untuk dilakukan sekalipun. Itu tergantung bagaimana kita menyiasati pekerjaan dan tugas kita, bila kita bisa bagi2 menjadi fragmen-fragmen yang kecil.

Jangan berkata “tidak” sebelum Anda pernah mencobanya.