Sabtu, 28 Juli 2012

268. Kisah Nyata Tragedi Pesawat Challenger


Semoga Kisah ini dapat menjadi sumber motivasi bagi anda semua yang mungkin saat ini belum mencapai apa yang anda inginkan atau sedang mengalami sesuatu yang mungkin tidak anda inginkan. Anda pun sebetulnya mempunyai cerita kehidupan anda sendiri, tuliskanlah dalam buku kehidupan anda sebagai cerita motivasi bagi anda, anak-anak anda nantinya, atau teman-teman anda.

Kesaksian Hidup dibalik Meledaknya Pesawat Luar Angkasa Challenger, USA.

Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah.

Gedung putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan! Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.

Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center. Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir.

Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara.
Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini?
Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa.

Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku? Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam? Aku berpaling pada ayahku. Katanya, “Semua terjadi karena suatu alasan.”

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang. Aku teringat kata-kata ayahku,

“Semua terjadi karena suatu alasan.”

Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini.
Aku memiliki misi lain dalam hidup.

Aku tidak kalah; aku seorang pemenang.

Aku menang karena aku telah kalah.

Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan

Source : http://sihinjiko.wordpress.com/2009/08/20/kisah-nyata-tragedi-pesawat-challenger/

Minggu, 22 Juli 2012

267. Sebuah Pelajaran dari Pohon


Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.

“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.

“Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.

“Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.

“Bagus,” jawab spontan sang ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.

“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya,” jelas sang ayah.

“Anakku,” ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.
**

Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.

Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.

“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.”

HIkmah :
“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” Siapapun Anda, bagaimanapun Anda, dan Dimanapun anda... tatap dan ikutilah cahaya lurus kebenaran... karena bila tidak anda akan tersesat dalam kegelapan. Dan Bila terperangkap dalam gelap, jangan mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lah cahaya walaupun dengan Lilin...

Source : http://eramuslim.com/hikmah/tafakur/pohon.htm

Sabtu, 21 Juli 2012

266. Polos


Lembaran kertas putih merasa tak nyaman ketika baru saja keluar dari pabrik. Ia merasa bingung dengan kenyataan dirinya. Tidak ada garis, tulisan, atau warna apa pun kecuali putih. Tapi, wujudnya berbentuk buku seperti yang lain.

“Kok aku beda?” tanya si buku polos ke lembaran buku tulis yang lain. “Beda?” sergah salah satu buku tulis bergaris. “Iya. Coba perhatikan, kamu tercetak dengan garis-garis teratur. Ada yang kotak-kotak. Yang lainnya lagi bahkan ada yang tertulis dengan huruf berwarna disertai kartun lucu,” ucap buku polos bersemangat. “Sementara aku? Boro-boro kartun lucu, satu garis pun tak ada yang hinggap!” tambah si buku polos menggugat.

“Jadi, kamu tak terima?” tanya buku bergaris teratur, lembut. “Tentu saja! Ini tidak adil!” sergah si buku polos begitu spontan.

Semua terdiam. Semua jenis buku tulis mulai ambil jarak dengan buku polos. Mereka khawatir kalau ketidakpuasan bukan sekadar gugatan, tapi berubah jadi tindakan. Hingga...

Seorang anak manusia mengambil buku polos dengan tangan kecilnya. Lembaran buku tak bergaris dan berwarna itu pun dipandangi sang anak begitu tajam. Entah apa yang dilakukan, beberapa menit kemudian, buku polos itu tak lagi putih sepi. Ia sudah berubah menjadi halaman penuh warna. Ada goresan merah, hijau, biru, kuning, dan berbagai perpaduan warna lain.

Ketika buku itu ditinggalkan sang anak, beberapa buku lain datang menghampiri. Semua terperanjat. Karena lembaran yang semula polos, kini berubah menjadi bentuk lukisan penuh warna. “Aih indahnya!” gumam semua buku tulis begitu kagum.

Saat itulah, sang buku polos sadar. Selama ini, ia salah. Kepolosannya tanpa garis bukan bentuk penghinaan terhadap dirinya. Bukan juga ketidakadilan. Tapi, karena ia akan menjadi wadah berbagai goresan warna seni yang akan membentuk karya indah. “Ah, aku ternyata buku gambar!” ucap si buku polos akhirnya. **

Hidup ini penuh warna. Hampir tak ada yang sama pada ciptaan Allah. Walaupun, masih sama-sama manusia. Ada yang kaya, cukup, dan kurang. Ada yang cantik, tampan; ada pula yang biasa saja. Ada yang berhasil dan sukses, tidak sedikit yang merasa gagal.

Tidak jarang, seorang anak manusia mengambil pandangan dari sudut yang sempit. Bahwa, kegagalan adalah sebuah ketidakberdayaan. Bahwa, belum tampaknya peluang-peluang berkarya adalah ketidakadilan. Hingga, jauhnya jodoh buat para lajang merupakan sebuah hukuman.

Cermati dan pelajari. Karena boleh jadi, di balik kegagalan ada rahasia kesuksesan. Di balik sempitnya peluang, ada ujian kemampuan. Di balik lajang yang berkepanjangan, ada pendidikan kemandirian. Dan di balik kertas polos, ada peluang warna-warni keindahan goresan kehidupan.

Source : (muhammadnuh@eramuslim.com) 
http://eramuslim.com/hikmah/tafakur/polos.htm

Jumat, 20 Juli 2012

265. Kerbau, Kelelawar dan Cacing


Suatu ketika Allah SWT, memerintahkan malaikat Jibbril untuk pergi menemui seekor kerbau. Tugas malaikat tersebut adalah bertanya pada kerbau tersebut.

Hari itu sedang terik. Si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat jibril mendatangi kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, "Wahai wakhluk Allah, apakah kamu senang telah diciptakan oleh Allah SWT dalam wujud seekor kerbau?"

Kerbau pun menjawab, "Maha Suci Allah. Aku selalu bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau."

"Kenapa begitu?" malaikat Jibril penasaran.

"Biarpun aku senang mandi lumpur, tapi itu lebih baik ketimbang aku jadi kelelawar yang mandi dengan kencingnya sendiri," jawab si kerbau.

Jawaban si kerbau rupanya menarik hati malaikat Jibril. Segera saja malaikat Jibril menemui seekor kelelawar yang sedang menggantung di sebuah pohon. Kelelawar itu terbangun melihat kedatangan malaikat Jibril.

"Malaikat Jibril ada apa kamu kemari?" tanya kelelawar.

"Aku ke sini hanya ingin bertanya apakah kamu senang diciptakan Allah SWT sebagai seekor kelelawar?" jawab malaikat Jibril.

Seperti si kerbau, kelelawar itu juga mengeluarkan suara seperti orang yang sedang bahagia. Lalu ia berkata, " Maha Suci Allah. Aku tak henti bersyukur kepada Allah SWT karena aku kelelawar bukan cacing."

"Kenapa dengan cacing?" tanya Jibril.

"Tubuhnya kecil berlendir, tinggal di dalam tanah, berjalanya saja menggunakan perut. Bandingkan yang bisa terbang dengan cepat."

Jawaban kelelawar membuat malaikat Jibril pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah. Malaikat Jibril bertanya kepada si cacing, "Wahai cacing kecil apakah kamu senang telah dijadikan Allah SWT sebagai cacing?"

Si cacing menjawab sambil menggeliat-geliat seperti sedang menari, "Maha Suci Allah. Aku sangat bersyukur kepada Allah SWT. Biarpun aku cuma cacing tapi bagiku lebih baik daripada aku diciptakan sebagai manusia."

"Bukankah manusia makhluk yang paling sempurna?"

"Apalah arti kesempurnaan jika tidak memiliki iman dan amal saleh. Mereka akan menyesal dan menderita di dunia dan akhirat . Selamanya,"jawab cacing.

Jibril pun melesat pergi sambil merenungkan kebenaran kata-kata seekor cacing***

Subhanallah...
Kerbau, kelelawar, dan cacing pun mensyukuri mereka di ciptakan seperti itu. Bagaimana dengan kita selaku manusia yang diciptakan sempurna?

Selasa, 10 Juli 2012

264. Sandal Jepit Istriku


Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau tak keasinan... kemanisan, kalau tak keaseman... ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.

"Sabar bi..., rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? " ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!" Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput? jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu.

"Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...," batinku berkata dalam hati. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis.

"Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

"Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.

"Lho, kok bilang gitu...?" "Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak? Desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi. "Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.

Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh.

"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" Tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka.

Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.

Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!" bisiknya pelan dan girang.

Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...?

Minggu, 08 Juli 2012

263. Hidup Untuk Memberi


Disuatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan disebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta.

Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari Tukang koran, Penyapu jalan, Tuna wisma sampai Pak polisi.


Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai disebrang jalan, setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang. De, “boleh kakak bertanya” ? silahkan kak, kalau boleh tahu yang barusan adik bagikan ke tukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?, oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak, memang kenapa kak!, dengan sedikit heran, sambil ia balik bertanya. Oh.. tidak!, kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?


Lalu, Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu ! aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma”, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan, apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat-sangat sedih, namun setelah ibu ku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik.


Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu, jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.


Yang ibu ku selalu katakan “ hidup harus berarti buat banyak orang “, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan baik kita, kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, kenapa kita harus tunda.


Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat, hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta,” Apa yang kita bawa”?. Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hati ku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya, dibandingkan adik kecil ini.


Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Yah.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu

Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyak ku.


"Hidup akan berarti jika kita mau membagikan sesuatu untuk orang lain dan tidak hanya fokus untuk menyenangkan diri kita sendiri "

Sabtu, 07 Juli 2012

262. Pesan Ibu


Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!"


"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.


Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.


Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."


Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."


Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."


Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.


Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"


"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."


Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.


Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."


Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."

Jumat, 06 Juli 2012

261. Tergesa-gesa


Ririn sudah delapan bulan belum mendapatkan pekerjaan lagi. Delapan bulan yang lalu dia berhenti bekerja karena kantor pusat tempatnya bekerja dipindahkan ke lokasi pabrik di luar kota. Membayangkan jarak pabrik dengan rumahnya yang sangat jauh, Ririn memilih mengundurkan diri. Sebenarnya bisa saja dia mencari tempat kost dekat kantor, tapi Ririn agak malas tinggal di tempat kost yang jauh dari orang tuanya.


Selama delapan bulan ini Ririn tak henti-hentinya mencari pekerjaan. Tapi ternyata tidak semudah yang dikiranya. Ternyata setelah delapan bulan dia belum juga berhasil. Ririn sangat tertekan. Rasanya sudah tidak betah tinggal di rumah terus. Rasanya Ririn mau digaji berapa pun asalkan bisa bekerja.


Sampai suatu hari, ketika Ririn melamar sebagai sekretaris di sebuah perusahaan, usahanya tampaknya membuahkan hasil. Ririn langsung datang ke kantor tersebut dengan membawa berkas lamarannya. Pada saat itu semangatnya untuk bekerja menggebu-gebu. Seandainya dia bisa mulai bekerja hari itu juga, Ririn pun bersedia.


Semangat dan motivasinya terekspresi sehingga menimbulkan kesan positif dari Sumi, pimpinan perusahaan itu. Sumi menjelaskan bahwa perusahaan itu sedang mencari telemarketer dan menanyakan apakah Ririn bersedia. Saat itu perusahaan tidak membutuhkan sekretaris. Ririn pun dengan semangat menyatakan kesediaannya.


Beberapa hari kemudian Ririn dipanggil lagi untuk mengikuti psikotes. Pada kesempatan itu Ririn merasa semakin semangat untuk segera mulai bekerja. Ririn belum tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sumi sudah menentukan pilihan terhadap Ririn. Setelah selesai tes, Sumi pun semakin yakin bahwa Ririn akan bekerja dengan rajin dan baik.


Akhirnya pada panggilan berikutnya, Sumi mengungkapkan bahwa Ririn diterima bekerja. Tapi perusahaan hanya mmpu memberikan gaji lebih kecil dari harapan Ririn. Meskipun mulanya agak ragu, Ririn menerima tawaran tersebut karena dia ingin cepat-cepat bisa bekerja.


Namun ketika Sumi memberikan penjelasan mengenai tugas-tugas yang harus dilakukannya, Ririn mulai ragu. Selain harus menghubungi pelanggan dia juga harus memberikan presentasi ke pelanggan. Ririn kuatir karena dia belum pernah melakukannya. Dia meragukan kemampuannya sendiri.


Sumi menjelaskan bahwa Ririn tidak akan langsung dilepas sendiri pada saat memberikan presentasi, tapi pada awalnya akan didampingi sampai dia benar-benar mampu. Ririn pun semangat kembali dan ingin segera mulai. Bahkan dia ingin mulai bekerja hari itu juga. Tapi Sumi meminta dia mulai hari Senin saja.


Ririn senang sekali. Dia pulang dengan hati penuh kegembiraan karena kini dia bisa bekerja kembali. Tapi sesampainya di rumah ketika dia menceritakan hal itu kepada saudara-saudaranya, semua orang mencelanya. Semua saudaranya menyalahkannya mengapa dia mau menerima gaji yang lebih rendah itu.


Mereka menyuruhnya mencari pekerjaan lain saja yang menghasilkan gaji lebih besar. Mula-mula Ririn berusaha menjelaskan bahwa dia akan menerima komisi yang cukup besar, sehingga total gaji yang diterima akan lebih besar dari gaji yang dimintanya sejak awal. Tapi kemudian Ririn kalah suara. Dia dikeroyok oleh semua anggota keluarganya. Lama kelamaan Ririn mulai percaya bahwa dia telah salah mengambil keputusan.


Bertindak pasif Ririn bingung. Mau membatalkan ke Sumi, dia malu. Tapi untuk meneruskan bekerja, dia juga berat karena semua orang tidak mendukungnya. Akhirnya, daripada pusing, Ririn memilih bertindak pasif. Pada hari Senin di mana dia seharusnya mulai bekerja, Ririn memilih tidak datang. Dia mengundurkan diri secara diam-diam. Tanpa pamit, tahu-tahu tidak datang.


Sumi agak kecewa karena Ririn tidak muncul, tapi karena kebutuhan karyawan sangat mendesak, maka Sumi langsung memanggil kandidat kedua untuk mengisi jabatan tersebut. Bagi Sumi dan perusahaannya, masalah sudah terselesaikan.


Tapi bagi Ririn, masalahnya belum selesai. Ririn kini merasa bersalah karena telah mengundurkan diri tanpa pamit. Sudah dua hari ini dia tidak enak makan dan tidak enak tidur. Ririn merasa bahwa dia sebenarnya terlalu cepat mengambil keputusan.


Seandainya dia berpikir positif, bukankah perbedaan gaji itu tidak terlalu besar? Bukankah dia masih bisa mendapat komisi yang jauh lebih besar? Bukankah dia seharusnya bersyukur karena mendapatkan pekerjaan? Bukankah Sumi, calon atasannya, sudah berjanji untuk mendampinginya dalam presentasi? Apa lagi yang ditakutinya?


Ririn menyesal. Mengapa waktu itu dia mengambil tindakan mengundurkan diri dengan diam-diam? Bukankah dia bisa belajar meningkatkan kemampuannya? Lagipula, tiga bulan lagi gajinya pasti naik. Seandainya dia mau berpikir terlebih dahulu, dia tidak akan salah langkah. Seandainya dia tidak tergesa-gesa, dia bisa bertindak lebih bijaksana.


Ririn hanya bisa menganggap pengalaman ini sebagai pelajaran yang berharga. Dia tidak mau lagi tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Dia ingin terus belajar, tidak takut pada tugas dan tantangan baru.

Learn! You will succeed!

Source : Tergesa-gesa oleh Lisa Nuryanti, Director Expands Consulting & Training Specialist

Rabu, 04 Juli 2012

260. Teriak


Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi disana. Setiap anak mendapat peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung, semua orang tua murid ikut hadir dan menyemarakkan acara itu.


Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orang tua dan guru kerap terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.


Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka, dan mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.


Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha... ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. "Aku menang...", begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orang tua menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin. Mereka bangga.


Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya kepada sang "jagoan, "Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik.." tanya Pak Guru, "Coba kamu ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini..".


Sang anak menjawab, "Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada Ayah saya di rumah. Karena, dari Ayah lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru perilaku ini. Ayah sering berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah seperti Ayah." Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai melanjutkan, "..Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini, jadi peran ini, adalah peran yang mudah buat saya..."


Senyap. Usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap. Begitu pun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.


***

Teman, setiap anak, adalah duplikat dari orang di sekitarnya. Setiap anak adalah peniru, dan mereka belajar untuk menjadi salah satu dari kita. Mereka akan belajar untuk menjadikan kita sebagai contoh, sebagai panutan dalam bertindak dan berperilaku. Mereka juga akan hadir sebagai sosok-sosok cermin bagi kita, tempat kita bisa berkaca pada semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air telaga yang merefleksikan bayangan kita saat kita menatap dalam hamparan perilaku yang mereka perbuat.


Namun sayang, cermin itu meniru pada semua hal. Baik, buruk, terpuji ataupun tercela, di munculkan dengan sangat nyata bagi kita yang berkaca. Cermin itu juga menjadi bayangan apapun yang ada di depannya. Telaga itu adalah juga pancaran sejati terhadap setiap benda di depannya. Kita tentu tak bisa, memecahkan cermin atau mengoyak ketenangan telaga itu, saat melihat gambaran yang buruk. Sebab, bukankah itu sama artinya dengan menuding diri kita sendiri?

Teman, saya ingin berpesan kepada kita semua, "berteriaklah kepada anak-anak kita saat kita marah, maka, kita akan membesarkan seorang pemarah. Bermuka ketuslah kepada mereka saat kita marah, maka kita akan membesarkan seorang pembenci, dan biarkanlah mulut dan tangan kita yang bekerja saat kita marah, maka kita akan belajar menciptakan seorang yang penuh dengki..."


Peran apakah yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita saat ini? Contoh apakah yang sedang kita berikan kali ini? Dan panutan apakah yang sedang kita tampilkan? Teman, percayalah, mereka akan selalu belajar dari kita, dari orang yang terdekatnya, dari orang yang mencintainya. Merekalah lingkaran terdekat kita, tempat mereka belajar, menerima kasih sayang, dan juga tempat mereka meniru dalam berperilaku.


Saya berharap, bisa menjadi orang yang sabar saat melihat seorang anak menumpahkan air di gelas yang mereka pegang. Saya berharap menjadi orang yang ikhlas, saat melihat mereka memecahkan piring makan mereka sendiri. Sebab, bukankah mereka baru "belajar" memegang gelas dan piring itu selama 5 tahun, sedangkan kita telah mengenalnya sejak lebih 20 tahun? Tentu mereka akan butuh waktu untuk bisa seperti kita..

Hope you are well and please do take care.

Source : http://forum.um.ac.id/index.php?topic=2417.0

Selasa, 03 Juli 2012

259. Raja, Mentri dan Penjara


Syahdan seorang Raja memberikan perintah kepada ketiga Mentrinya untuk mengambil langsung buah-buahan di sebuah taman.


Mentri pertama melakukannya dengan hati sangat terpaksa dan kesal, ia berfikir untuk apa menjadi Mentri jika cuma harus mengambil buah-buahan; maka ia memungut buah-buahan yang busuk dan jelek untuk sang Raja dengan begitu ia berfikir maka Raja akan mengerti maksud dan tujuannya bahwa seorang Mentri tidak pantas diperlakukan seperti layaknya babu.


Mentri Kedua melakukannya dengan setengah hati, akan tetapi ia takut akan perintah Raja tersebut maka ia memetik buah-buahan tersebut secara acak; ia memetik buah-buahan tersebut tanpa memilih mana yang rasanya manis dan mana yang rasanya asam.


Mentri ketiga melakukannya dengan sepenuh hati, ia sangat mencintai Rajanya melebihi dirinya sendiri dan akan melakukan yang terbaik untuk sang Raja; maka ia memilih dengan baik buah mana yang paling baik dan paling manis untuk dipetik dan diberikan kepada sang Raja.


Setelah mereka melakukan perintah tersebut, alih-alih diberi pujian malah sang Raja menjebloskan mereka bertiga ke dalam penjara yang gelap dan sempit beserta buah-buahan yang mereka petik tadi tanpa dikasih makan.


Akibatnya setelah 10 hari;

Mentri Pertama dalam keadaan sangat kritis karena ia hanya mengkonsumsi buah-buahan yang buruk dan busuk untuk makanannya di penjara.


Mentri Kedua dalam keadaan menyedihkan karena ia hanya mengkonsumsi buah-buahan yang tidak baik (ada yang rasanya asam dan ada juga yang rasanya manis)


Mentri Ketiga dalam keadaan segar bugar karena ia mengkonsumsi buah-buahan yang segar dan manis yang telah ia petik untuk sang raja selama kurun waktu selama 10 hari tersebut.

..............
..............

Asumsikan:
Kita adalah MENTRI

Penjara adalah KUBURAN

raja adalah TUHAN.


maka menjadi mentri manakah yang kalian pilih???



Minggu, 01 Juli 2012

258. Tatapan Penuh Cinta


Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia sedang tidur?


Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang.


Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.


Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya. Orang inilah, rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.


Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm…kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai-belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena tempaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata- mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.

Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu… Ayah, Ibu, Suami, Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya…


Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya. Rasakanlah energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu.


Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda.


Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalahpahaman kecil yang entah kenapa selalu saja nampak besar.


Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur.


Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya.


Tanpa kata, tanpa suara dia berkata… “betapa lelahnya aku hari ini”. Dan penyebab lelah itu? Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah kita.


Suami yang bekerja keras mencari nafkah, istri yang bekerja keras mengurus dan mendidik anak, juga rumah. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.


Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka. Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua.


Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka “orang-orang terkasih itu” tak lagi membuka matanya, selamanya …