Selasa, 28 Agustus 2012

273. Tidak Ada jalan yang Rata Menuju Sukses


Di pagi hari buta, terlihat seorang pemuda dengan bungkusan kain berisi bekal di punggungnya tengah berjalan dengan tujuan mendaki ke puncak gunung yang terkenal. Konon kabarnya, di puncak gunung itu terdapat pemandangan indah layaknya berada di surga. Sesampai di lereng gunung, terlihat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang kakek tua.

Setelah menyapa pemilik rumah, pemuda mengutarakan maksudnya "Kek, saya ingin mendaki gunung ini. Tolong kek, tunjukkan jalan yang paling mudah untuk mencapai ke puncak gunung".

Si kakek dengan enggan mengangkat tangan dan menunjukkan tiga jari ke hadapan pemuda,

"Ada 3 jalan menuju puncak, kamu bisa memilih sebelah kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Kalau saya memilih sebelah kiri?"

"Sebelah kiri melewati banyak bebatuan". setelah berpamitan dan mengucap terima kasih, si pemuda bergegas melanjutkan perjalanannya. Beberapa jam kemudian dengan peluh bercucuran, si pemuda terlihat kembali di depan pintu rumah si kakek.

"Kek, saya tidak sanggup melewati terjalnya batu-batuan". "Jalan sebelah mana lagi yang harus aku lewati kek?"

Si kakek dengan tersenyum mengangkat lagi 3 jari tangannya menjawab "Pilihlah sendiri, kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Jika aku memilih jalan sebelah kanan?"

"Sebelah kanan banyak semak berduri". Setelah beristirahat sejenak, si pemuda berangkat kembali mendaki. Selang beberapa jam kemudian, dia kembali lagi ke rumah si kakek.

Dengan kelelahan si pemuda berkata, "Kek, aku sungguh-sungguh ingin mencapai puncak gunung. Jalan sebelah kanan dan kiri telah aku tempuh, rasanya aku tetap berputar-putar di tempat yang sama sehingga aku tidak berhasil mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan harus kembali kemari tanpa hasil yang kuinginkan, tolong kek tunjukkan jalan lain yang rata dan lebih mudah agar aku berhasil mendaki hingga ke puncak gunung"

Si kakek serius mendengarkan keluhan si pemuda, sambil menatap tajam dia berkata tegas "Anak muda! Jika kamu ingin sampai ke puncak gunung, tidak ada jalan yang rata dan mudah! Rintangan berupa bebatuan dan semak berduri, harus kamu lewati, bahkan kadang jalan buntu pun harus kamu hadapi. Selama keinginanmu untuk mencapai puncak itu tetap tidak goyah, hadapi semua rintangan! Hadapi semua tantangan yang ada! Jalani langkahmu setapak demi setapak, kamu pasti akan berhasil mencapai puncak gunung itu seperti yang kamu inginkan! dan nikmatilah pemandangan yang luar biasa !!! Apakah kamu mengerti?

Dengan takjub si pemuda mendengar semua ucapan kakek, sambil tersenyum gembira dia menjawab "Saya mengerti kek, saya mengerti! Terima kasih kek! Saya siap menghadapi selangkah demi selangkah setiap rintangan dan tantangan yang ada! Tekad saya makin mantap untuk mendaki lagi sampai mencapai puncak gunung ini.

Dengan senyum puas si kakek berkata, "Anak muda, Aku percaya kamu pasti bisa mencapai puncak gunung itu!" selamat berjuang!!!

Tidak ada jalan yang rata untuk sukses!

Sama seperti analogi Proses pencapaian mendaki gunung tadi. Untuk meraih sukses seperti yang kita inginkan, Tidak ada jalan rata! tidak ada jalan pintas! Sewaktu-waktu, rintangan, kesulitan dan kegagalan selalu datang menghadang. Kalau mental kita lemah, takut tantangan, tidak yakin pada diri sendiri, maka apa yang kita inginkan pasti akan kandas ditengah jalan.

Hanya dengan mental dan tekad yang kuat, mempunyai komitmen untuk tetap berjuang, barulah kita bisa menapak di puncak kesuksesan.

Minggu, 12 Agustus 2012

272. Kisah Si Penjual Pecel


Tanyakanlah ini kepada Mak Paenah yang tiap hari berjualan pecel di depan Gedung DPRD Sumatera Utara (Sumut) di Medan. Dalam usianya yang menurut pengakuannya-86 tahun, Mak Paenah masih setia mendorong-dorong kereta pecelnya demi mengumpulkan rupiah selembar demi selembar dari    Rp. 1.500 per pincuk (piring dari daun pisang) pecel jualannya itu.

Gerobaknya cukup berat dengan dua roda becak yang sering kempis anginnya. Sebuah topi bambu lebar menemani tubuh ringkihnya menempuh jarak sekitar lima kilometer dari rumah cucunya di kawasan Glugur ke Gedung DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol melewati jalanan aspal yang terik dan ramai. Pernah suatu hari Mak Paenah tidak kunjung muncul pada jam makan siang, dan baru datang berjualan saat matahari sudah sangat condong ke barat. "Aku diserempet mobil. Iki lho awakku babak bundas (lihat tubuhku babak belur)," katanya dalam ujaran yang selalu tercampur dengan bahasa Jawa kasar. Setiap hari, biasanya sekitar pukul 11.00, ia sudah tiba menggelar dagangannya. Dan, beberapa jam kemudian, ia pulang lagi dengan kereta dorongnya yang sudah kosong dan segepok uang di dalam tas pinggang yang terbuat dari kain batik lusuh.

Soal berapa banyak uang dalam tas pinggangnya itu, Mak Paenah sering tidak tahu. Ia memang tidak peduli dapat uang berapa hari itu. Bahkan, sering ada beberapa lembar ribuan tercecer di bawah kakinya, yang lalu diambilkan orang lain. Yang ia tahu pasti, ia tidaklah pernah rugi. "Bathi kuwi ora usah okeh-okeh. Serakah jenenge... (kalau untung itu jangan besar-besar. Serakah namanya...)," katanya pelan. Tidak serakah ini pula yang membuat Mak Paenah cenderung royal dalam memberi nasi pecel saat dagangannya hampir habis. Kata orang, kalau beli di Mak Paenah, sebaiknya menjelang ia mau pulang. Pasti dapat pecel lebih banyak. Dengan keyakinan pasti tidak rugi itu pula, sering Mak Paenah membelikan rokok untuk orang lain yang tampak memerlukannya. Andi Lubis, fotografer harian Analisa, Medan, yang perokok berat, beberapa kali diberi rokok oleh Mak Paenah kalau tampak sedang bengong dan tidak merokok. "Nyoh rokok. Kowe lagi ra duwe duwit tho? (Ini rokok. Kamu sedang tidak punya uang kan?)" kata Mak Paenah tanpa basa-basi. Bagi Mak Paenah, apa salahnya menyisihkan uang untuk menyenangkan orang lain. Tidak jarang ia memberikan pecelnya secara gratis kalau ada yang lapar, tapi tak punya uang.

***

JADI, untuk apa Mak Paenah berjualan pecel dalam usianya yang sudah sangat senja itu? Di kota-kota besar, orang-orang yang jauh lebih muda darinya sudah santai-santai di rumah menikmati uang pensiun bersama cucu-cucu. "Aku bekerja karena memang manusia itu harus bekerja. Aku sakit kalau nganggur. Menganggur adalah bersahabat dengan setan. Kerja selalu ada kalau kita mau mencarinya. Jangan mau menganggur, sampai kita mati," katanya seakan ahli filsafat. Banyak yang meragukan apakah benar Mak Paenah benar telah berusia 86 tahun. Tapi, mendengar beberapa cerita yang sering diungkapkannya sambil meracik pecel, apalagi mengamati wajahnya yang selalu teduh itu, kita yakin bahwa setidaknya ia sudah berusia di atas 80 tahun. Ia pernah bercerita bagaimana suaminya yang tentara terbunuh dalam perang kemerdekaan, sementara saat itu anak sulungnya kira-kira berusia belasan tahun. Begitu suaminya meninggal, rasa tanggung jawab untuk menghidupi ketiga anaknya memaksa Mak Paenah yang lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur, ini berjualan pecel. Baginya, tidak ada cerita untuk meminta belas kasihan dari orang lain.

"Aku hanya bisa bikin pecel. Jadi, aku mencari makan dengan pecel ini. Sudah puluhan tahun tanganku bikin sambel pecel. Sampai kapalan mengulek... he-he-he...," kata Mak Paenah sambil memamerkan mulutnya yang sudah ompong. Mengapa tidak menikah lagi setelah menjanda waktu itu ? "Sopo sing gelem karo rondo bakul pecel...lethek...he-he-he... (siapa yang mau dengan janda penjual pecel yang lusuh dan bau)," katanya terkekeh. Tapi, setelah anak-anaknya bisa mandiri, untuk apa uangnya ? "Keuntungan penjualan, tiap hari saya simpan di bawah bantal. Uang itu saya pakai untuk menolong orang kalau ada yang membutuhkannya. Siapa tahu, kan?" katanya dengan arif.

Mak Paenah menceritakan, ia pernah menolong tetangganya yang mendadak membutuhkan uang. Tetangganya itu tidak menyangka ketika tiba-tiba Mak Paenah yang hanya berjualan pecel itu mampu meminjaminya uang dalam jumlah cukup besar, tanpa bunga pula. Setiap pagi, Mak Paenah mengambil Rp 150.000 dari simpanannya untuk berbelanja di Pasar Glugur. Pukul 04.00, ia sudah bangun dan pada pukul 06.00 ia sudah mulai memasak bumbu-bumbu pecel dan juga sayurannya. "Bangun pagi membuat saya sehat. Tiap hari berbelanja dan menawar juga membuat saya tidak pikun," paparnya. Dalam usianya itu, Mak Paenah sering membuat kagum orang dengan kemampuannya menghitung dengan cepat. "Meja ini habis sembilan pincuk. Jadi, tiga belas ribu lima ratus," katanya suatu kali saat menagih kepada para wartawan yang makan.

***

PADA bulan Juni dan Juli 2002 , para wartawan Medan yang biasa mangkal di depan Gedung DPRD kehilangan Mak Paenah. Dua bulan lebih wanita tua itu menghilang. Banyak yang kuatir kalau-kalau Mak Paenah sakit, atau bahkan sudah meninggal dunia. Dan, Mak Paenah baru muncul lagi pada akhir Juli. Ternyata, Mak Paenah pulang ke Blitar menengok sanak saudaranya. Menurut dia, semua yang dikenalnya sudah meninggal. "Uangku habis Rp 3,5 juta untuk beli oleh-oleh. Tapi, aku senang bisa melihat Blitar lagi. Sudah sangat berubah. Aku sama sekali tidak bisa mengenali tempat mana pun di sana," katanya dengan mata berbinar-binar saat membicarakan kota yang ditinggalkannya pada awal tahun 1940-an ini.

Ketika diingatkan bahwa para wartawan kuatir dengan kepergiannya selama dua bulan itu, Mak Paenah justru marah. "Kamu yang muda-muda kok tidak punya perasaan. Kan, semua tahu di mana rumahku. Kalau kuatir, ya mbok menengok ke rumah. Coba, bagaimana kalau saya sakit betulan? Ya, kan? " kata Mak Paenah. Namun, sejak awal Agustus ini, Mak Paenah menghilang kembali. Setelah ditengok ke rumahnya, ternyata ia tidak kurang suatu apa. "Aku pindah tempat jualan. Aku ngalah pada yang muda yang lebih perlu uang," katanya yang kemudian menimbulkan tanda tanya. Ternyata, Mak Paenah kini memilih berjualan di Lapangan Merdeka.

Menurut dia, di depan Gedung DPRD itu sudah muncul seorang saingan. Seorang penjual pecel yang masih muda dilihatnya selalu berusaha menyainginya dalam merebut hati pembeli. "Aku tidak ingin bersaing. Rezeki sudah ada yang mengatur. Biarlah aku yang sudah tua ini pindah," katanya tanpa emosi.

Minggu, 05 Agustus 2012

271. Pengemis Buta dan Rasulullah SAW


Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?

Aisyah RA menjawab, Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja. Apakah Itu?, tanya Abubakar RA. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, Siapakah kamu? Abubakar RA menjawab, Aku orang yang biasa (mendatangi engkau). Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku, bantah si pengemis buta itu.

Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia….

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

Nah, wahai saudaraku, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW? Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlaq.

Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya.

Sebarkanlah riwayat ini ke sebanyak orang apabila kamu mencintai Rasulullahmu. ..

Sadaqah Jariah salah satu dari nya mudah dilakukan, pahalanya?

MasyaAllah…. seperti argo taxi… jalan terus...

Sadaqah Jariah - Kebajikan yang tak berakhir.

1. Berikan al-Quran pada seseorang, dan setiap dibaca, Anda mendapatkan hasanah.
2. Sumbangkan kursi roda ke RS dan setiap orang sakit menggunakannya, Anda dapat hasanah.
3. Bantu pendidikan seorang anak.
4. Ajarkan seseorang sebuah do’a. Pada setiap bacaan do’a itu, Anda dapat hasanah.
5. Bagi CD Quran atau Do’a.
6. Terlibat dalam pembangunan sebuah mesjid.
7. Tempatkan pendingin air di tempat umum.
8. Tanam sebuah pohon. Setiap seseorang atau binatang berlindung dibawahnya, Anda dapat hasanah.
9. Bagikan artikel ini dengan orang lain. Jika seseorang menjalankan salah satu dari hal diatas, Anda dapat hasanah sampai hari Qiamat.

Aminnnnnn…

Sabtu, 04 Agustus 2012

270. Belajar dari Gadis Penjaga Toilet


Mengeluh, dan mengeluh. Selalu ku lakukan atas pekerjaan yang sering menumpuk dan tak kunjung usai. Penat memandang layar monitor dan tak jarang melepas letih dengan bercengkrama dengan kawan by YM. Facebook? Sudah lama ku tanggalkan sejak fasilitas dari Ping.Fm memudahkanku untuk share status ke beberapa jar-sos sekaligus dalam satu langkah. Terlebih sejak AOL.com memudahkanku membalas komen teman-teman melalui email. Segalanya serba instan memang.

Bahkan di tengah segala fasilitas pekerjaan yang memudahkanku berinteraksi dengan setiap orang di penjuru dunia aku masih saja tetap tak puas, sampai suatu ketika di sore hari rasa lelahku mengantarkan ku pada langkah kaki menuju langgar di lantai dasar basement kantor. Malas rasanya harus menunggu tarikan lift yang terkesan lambat di jam pulang kantor. Dasar manusia, sudah enak ada lift, tetap saja ada alasan malas untuk menaikinya. Entah setan sedang asik menggelayuti tubuh dan pikiranku, atau aku memang sedang di dera penyakit malas shalat? Naudzu billah..

Dan disaat itu, Allah ternyata sedang menegurku dan membuka mata bathinku dari rasa malas dan sikap tak bersyukur. Di selasar antara pintu belakang menuju lobi, ada sebuah toilet. Dan di sanalah ku masuki ruang kecil dengan beberapa sekat dan kaca besar yang memamerkan sepasang westafel di dalamnya seusai shalat ashar. Dan di dalam sana, ku temukan seorang gadis. Sering aku mendapatinya di lobi gedung. Mengelap kaca lobi sampai mengelap bagian dalam lift. Ia ramah dan mudah tersenyum pada siapapun yang ia temui di lobi. Dari penampilannya, mungkin usianya sebaya denganku. Dua puluh tahunan. Wajahnya manis, anggun. Kalimat itu yang mungkin bisa melukiskan bagaimana wajahnya. Rambutnya berponi ke samping, dan digulung dalam pita harnet. Seragamnya, warna orange seragam khas office boy and girl pengelola gedung di kawasan Sudirman.

Sekilas, ia tersenyum dan menyapaku. Lucu melihat kekagetanku menatapnya yang sedang jongkok di dalam toilet. Sering memang ku temui ia di toilet itu. Membersihkan westafel atau mengepel serta menyemprotkan pewangi dalam toilet. Namun baru kutemui pekerjaannya kali ini. D
isapunya ruang sekat kecil bernama toilet, kemudian ia berhadapan dengan kloset dalam toilet itu, dilap bersih dengan air sabun setiap bagian-bagian kloset, dan tak lupa diberinya kapur barus di sisi belakangnya. Dibuangnya tissue yang menggunung dalam tempat sampah ke dalam kantong sampah dan diisi lagi tempat tissue yang kosong. Sedikitpun ia tak merasa malu, tak merasa canggung atas pekerjaan yang ia lakukan. Tak ada raut-raut kecewa dan kata-kata umpatan dalam wajahnya. Ia ikhlas menjalani pekerjaannya. Pekerjaan yang dipandang sebagaian orang sebagai pekerjaan yang memalukan. Merendahkan martabat. Dan entah apa lagi sebutannya bagi orang-orang para penggila harta dan tahta. Ia hanya berinteraksi dengan para OB dan para security gedung. Ia juga jarang berbincang dengan para pendatang toilet. Ia hanya bergumul dengan teman-temannya sesama pegawai gedung. Sedang aku? Aaah..

Lama ku terpaku di hadapan cermin besar dalam toilet itu, menyadarkanku.. Bahwa pekerjaan yang ada adalah untuk dijalani sebaik mungkin dan disyukuri. Allah memberikan rezeki untuk kita, bukan untuk disumpah serapahi. Dan saat itu pula, aku tahu.. Allah sedang menegurku secara halus, agar mampu belajar dari pekerjaan seorang Gadis Penjaga Toilet.. Terima Kasih Ya Allah.. Memberiku segala sesuatu yang layak untuk ku jalani dalam kehidupan. Jadi, sudahkah Anda bersyukur untuk segala yang Anda nikmati hari ini?

Rabu, 01 Agustus 2012

269. Kisah Buntut Singkong


Alkisah, ada seorang anak kecil yang baru saja ditinggal mati oleh ayahnya. Karena tidak ada lagi yang suka memberi dia jajan, iapun diacuhkan oleh teman-temannya. Anak kecil itu berusaha untuk meminta belas kasihan kepada warung-warung tetangganya, bukannya belas kasihan yang ia dapatkan, melainkan hardikan dan usiran.

Suatu hari, bertemulah ia dengan tukang gorengan. Agar menarik perhatian, anak kecil itu bergaya. Sambil berdiri di hadapan tukang gorengan, ia angkat kaki sebelah kirinya lalu ditempelkan ke kaki kanannya, sambil menggigit jari tangan kanannya. Si tukang gorengan hanya memandang sekilas dan membiarkan saja.

Hari pertama, iapun dicuekin saja. Demikian pula hari kedua dan ketiga. Namun, anak kecil itu tidak putus asa, tetap dengan gaya yang sama. Akhirnya pada hari keempat, karena merasa iba dan kasihan, si tukang gorengan itu pun memberikan buntut singkong, sisa-sisa potongan gorengan singkong, yang rasanya pun pahit.

Betapa senangnya anak kecil itu. Dengan mata berbinar penuh bahagia, ia pun memegang buntut singkong itu dengan kedua tangannya, seolah-olah terlihat seperti satu singkong goreng penuh. Ia berlari mengejar teman-temannya, sambil mengacung-ngacungkan buntut singkong, menunjukkan bahwa ia kini punya jajanan.


24 tahun kemudian

Suatu hari, ketika sedang asyik ngaduk-ngaduk gorengannya, tiba-tiba si tukang gorengan itu didatangi oleh seorang pemuda.

“Emm... ternyata tidak ada yang berubah. Pikulan dan gerobak gorengannya, masih seperti dulu,” gumam pemuda itu.

“Mang, masih kenal sama Saya ga?!” tanya pemuda itu.

Si tukang gorengan hanya menggeleng bengong dan bingung.

“Coba ingat-ingat Mang. Masih ingat Saya ga?!” kata pemuda itu penasaran. “Aduh, siapa ya Den! Amang mah, gak tahu.” Jawab tukang gorengan itu polos.

Akhirnya, pemuda itupun bergaya persis seperti saat dia meminta dikasihani tukang gorengan.

“Oh. Iya...ya... Amang ingat sekarang. Aden yang waktu itu, masih kecil, bergaya seperti itu di depan Amang, selama empat hari berturut-turut. Awalnya Amang cuekin. Karena Amang kasihan, akhirnya Amang kasih buntut singkong.” Jawab tukang gorengan itu.
“Ya betul, Mang. Waktu itu, Saya sungguh senang dan bahagia sekali. Dengan buntut singkong itu, akhirnya Saya diterima lagi oleh teman-teman Saya.” Jawab pemuda itu. “Karena hanya yang punya jajanan saja yang boleh bergabung dan bermain dengan teman-teman Saya.” Lanjutnya.

“Wah, Den. Gak usah disebut-sebut. Amang jadi malu. Karena hanya memberi Aden buntut singkong.” Jawab tukang gorengan itu tersipu.

“Sebagai rasa terima kasih Saya atas kebaikan Amang. Bagaimana kalau Amang Saya ajak umroh!”.

“Hah... yang bener Den. Jangan main-main?!” Ujar tukang gorengan itu kaget.

“Iya Mang. Saya serius. Saya ajak Amang untuk umroh ke tanah suci.” Jawab pemuda itu meyakinkan.

Tak kuasa menahan haru, sambil berlinang air mata, dipeluknya erat-erat pemuda itu. Sambil berkata, “terima kasih Den! ...terima kasih ...”

“Berterima kasihlah kepada Allah, Mang…. Allah menakdirkan Saya, untuk membalas kebaikan yang telah Amang lakukan 24 tahun yang lalu.” Jawab pemuda itu, sambil memeluk erat tukang gorengan itu penuh haru.


Janji Allah Pasti

Subhanallah … Allahu Akbar ... There’s not impossible in the world. Sungguh kisah kemanusiaan yang sangat menyentuh. Ternyata Allah SWT tidak akan membiarkan berlalu begitu saja, kebaikan yang telah dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, siapapun dan di manapun, sekecil dan sesederhana apapun. Melainkan Ia akan membalasnya dengan yang setimpal, bahkan berlipat, berganda dan tak terduga. Benarlah Firman Allah SWT dalam Qs. Al Zalzalah: 7-8


* Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat balasannya.

* Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat balasannya pula.

(Kisah nyata, disadur dari Buku Miracle Giving, karya Ustadz Yusuf Mansyur)