Jumat, 22 Agustus 2014

468. Belajar dari Matahari



Lihatlah matahari itu Ia tidak pernah berhenti memberikan cahaya. Sekalipun orang-orang tidak mau memujinya. Tidak pernah memberikan penghargaan kepadanya. Ia tetap memberikan pencahayaan

Bayangkan, apa yang akan dialami bumi bila matahari tidak mau bercahaya

Janganlah kau putus asa, karena besok pagi matahari itu akan terbit kembali. Songsonglah masa depan dengan semangat membara. Tanpa kenal lelah dan pudar. Karena dengannya kau akan menjadi mulia

kau lihat matahari itu sangat tinggi. Tetapi ia masih mau membantu bumi. Karenanya, bila engkau kelak sedang di atas. Janganlah lupa kepada yang di bawah. Sebab kau akan semakin tinggi ketika kau selalu merendah

matahari itu tidak lupa diri. Sekalipun ia sibuk memberikan cahaya kepada semesta. Ia juga memberikan cahaya pada dirinya. Karenanya janganlah kau menjadi seperti lilin. Yang rela membakar dirinya untuk pencahayaan

Tetapi jadilah seperti matahari. Yang memberikan cahaya bagi orang lain. Juga memberikan cahaya bagi dirinya sendiri.


Rabu, 20 Agustus 2014

467. Permohonan Gadis Penderita Cerebral Palsy



Ketika Amy Hagadorn berjalan melewati sebuah sudut di lorong dekat kelasnya, ia berpapasan dengan seorang anak laki-laki jangkung siswa kelas lima yang berlari dari arah berlawanan.

“Pakai matamu, Bodoh,” maki anak laki-laki itu, setelah berhasil berkelit dari murid kelas tiga bertubuh kecil yang hampir ditabraknya.

Kemudian, dengan mimik mengejek, anak laki-laki itu memegang kaki kanannya dan berjalan menirukan cara berjalan Amy yang pincang.

Amy memejamkan matanya beberapa saat.

Abaikan saja dia, katanya dalam hati sambil berjalan lagi menuju ke kelasnya.

Akan tetapi, sampai jam pelajaran terakhir hari itu Amy masih memikirkan ejekan anak laki-laki jangkung itu.

Dan, ia bukan satu-satunya orang yang mengganggunya.

Sejak Amy mulai duduk di kelas tiga, ada saja anak yang mengganggunya setiap hari, mengejek cara bicaranya atau cara berjalannya.

Kadang-kadang walaupun di dalam kelas yang penuh dengan anak-anak, ejekan-ejekan itu membuatnya merasa sendirian.
Di meja makan malam itu, Amy tidak bicara. Karena tahu ada yang tidak beres di sekolah, Patti Hagadorn dengan senang hati berbagi kabar menggembirakan dengan putrinya.

“Di sebuah stasiun radio ada lomba membuat permohonan Natal” kata sang Ibu.

“Coba tulis surat kepada Santa Klaus, siapa tahu kau memenangkan hadiahnya.

Kupikir setiap anak yang mempunyai rambut pirang bergelombang di meja makan ini harus ikut.” Amy tertawa, lalu ia mengambil pensil dan kertas.

”Dear Santa Klaus,” tulisnya sebagai pembuka.

Ketika Amy sedang asyik membuat suratnya yang paling baik, semua anggota keluarga mencoba menebak permohonannya kepada Santa Klaus.

Adik Amy, Jamie, dan ibunya sama-sama menebak bahwa yang paling mungkin diminta oleh Amy adalah boneka Barbie setinggi satu meter.

Ayah Amy menebak bahwa putrinya meminta sebuah buku bergambar.

Akan tetapi, Amy tidak bersedia mengungkapkan permohonan Natal-nya yang rahasia.
Di stasiun radio WJLT di Fort Wayne, Indiana, surat-surat yang datang mngikuti lomba Permohonan Natal tumpah seperti air bah.

Para karyawan stasiun radio dengan senang hati membaca bermacam-macam hadiah yang diinginkan oleh anak laki-laki dan perempuan dari seluruh kota untuk perayaan Natal.

Ketika surat Amy tiba di stasiun radio itu, manajer Lee Tobin membacanya dengan cermat.

“Santa Klaus Yang Baik,
Nama saya Amy. Saya berusia sembilan tahun. Saya mempunyai masalah di sekolah. Dapatkah Anda menolong saya, Santa? Anak-anak menertawakan saya karena cara berjalan saya, cara berlari saya, dan cara bicara saya. Saya menderita cerebral palsy. Saya hanya meminta satu hari saja yang dapat saya lewati tanpa ada orang yang menertawai atau mengejek saya.
Sayang selalu,
Amy”

Hati Lee terasa nyeri ketika membaca surat itu: Ia tahu cerebral palsy adalah kelainan otot yang tampak aneh bagi teman-teman sekolah Amy.

Menurutnya ada baiknya bila semua orang di Fort Wayne mendengar tentang gadis cilik dengan permohonan Natalnya yang tidak lazim. Pak Tobin menelpon sebuah koran setempat.
Keesokan harinya, foto Amy dan suratnya kepada Santa Klaus mengisi halaman depan The News Sentinel.

Kisah itu menyebar dengan cepat. Surat kabar, stasiun radio, dan televisi di seluruh negeri memberitakan kisah gadis cilik di Fort Wayne, Indiana, yang hanya mengajukan sebuah permohonan sederhana, namun baginya merupakan hadiah Natal paling istimewa – satu hari tanpa ejekan.
Tiba-tiba, tukang pos menjadi langganan di rumah keluarga Hagadorn.

Amplop berbagai ukuran yang dialamatkan kepada Amy datang setiap hari dari anak-anak dan orang dewasa seluruh negeri, berisi kartu-kartu ucapan selamat berlibur dan kata-kata penghiburan.

Selama masa Natal yang sibuk itu, lebih dari dua ribu orang dari seluruh dunia mengirimkan surat persahabatan dan dukungan kepada Amy.

Sebagian penulis surat itu cacat; sebagian pernah menjadi sasaran ejekan ketika anak-anak, tetapi tiap penulis mempunyai pesan khusus bagi Amy.

Lewat kartu-kartu dan surat-surat dari orang-orang asing itu, Amy merasakan sebuah dunia penuh dengan orang-orang yang betul-betul saling peduli.

Ia sadar tidak ada ejekan dalam bentuk apapun yang akan pernah membuatnya merasa kesepian.
Banyak orang berterima kasih kepada Amy atas keberaniannya mengungkapkan isi hati.

Yang lain mendorongnya bertahan terhadap ejekan-ejekan dan tetap tampil dengan tengadah.

Lynn, seorang siswi kelas enam dari Texas, mengirim pesan sebagai berikut;

“Aku senang menjadi temanmu, dan bila kau mau mengunjungi aku, kita dapat bersenang-senang. Tidak seorangpun akan mengejek kita, karena kalau mereka demikian, kita tidak usah mendengarkannya”

Permohonan Amy untuk menikmati satu hari khusus tanpa ada yang mengganggu terpenuhi di sekolahnya, South Wayne Elementary School. Selain itu, setiap orang di sekolah memberikan sebuah bonus tambahan.

Guru dan murid berdiskusi tentang bagaimana perasaan orang yang diejek.

Tahun itu, walikota Fort Wayne secara resmi menyatakan 21 Desember sebagai Hari Amy Jo Hagadorn untuk seluruh kota.

Walikota menerangkan bahwa dengan keberanian mengajukan permohonan seperti itu, Amy mengajarkan sebuah pelajaran universal.

“Siapa pun,” kata Walikota, “ingin dan berhak diperlakukan dengan hormat, bermartabat, dan hangat.”

Alan D. Shultz


Senin, 18 Agustus 2014

466. Never Give Up



Dikisahkan, di tepian tebing yang terjal, tumbuhlah setangkai tunas bunga lily. Saat tunas bunga lily mulai bertumbuh, dia tampak seperti sebatang rumput biasa. Tetapi, dia mempunyai keyakinan yang kuat, bahwa kelak dia pasti akan tumbuh menjadi sekuntum bunga lily yang indah.

Rumput-rumput liar di sekitarnya mengejek dan menertawakannya. Burung-burung dan serangga pun menasihatinya agar tunas lily jangan bermimpi menjadi bunga. Mereka pun berkata, "Hai tunas muda, sekalipun kamu bisa mekar menjadi kuntum bunga lily yang cantik, tetapi lihatlah sekitarmu. Di tebing yang terpencil ini, biarpun secantik apa pun dirimu kelak, tidak ada orang yang akan datang melihat dan menikmati keindahanmu."

Diejek seperti itu, tunas bunga lily tetap diam dan semakin rajin menyerap air dan sinar matahari agar akar dan batangnya bertumbuh kuat. Akhirnya, suatu pagi di musim semi, saatnya kuncup pertama pun mulai bertumbuh. Bunga lily merasa senang sekali. Usaha dan kerja kerasnya tidak sia-sia. Hal itu menambah keyakinan dan kepercayaan dirinya.

Dia berkata kepada dirinya sendiri, "Aku akan mekar menjadi sekuntum bunga lily yang indah. Kewajibanku sebagai bunga adalah mekar dan berbunga. Tidak peduli apakah ada orang yang akan melihat atau menikmati keberadaanku. Aku tetap harus mekar dan berbunga sesuai dengan identitasku sebagai bunga lily."

Hari demi hari, waktu terus berjalan. Akhirnya, kuncup bunga lily pun mekar berkembang-tampak indah dan putih warnanya. Saat itulah, rumput liar, burung-burung, dan serangga tidak berani lagi mengejek dan menertawakan si bunga lily.

Bunga lily pun tetap rajin memperkuat akar dan tumbuh terus. Dari satu kuntum menjadi dua kuntum, berkembang lagi, terus dan terus berkembang, semakin banyak. Sehingga jika dilihat dari kejauhan, tebing pun seolah diselimuti oleh hamparan putih bunga-bunga lily yang indah. Orang-orang dari kota maupun desa, mulai berdatangan untuk menikmati keindahan permadani putih bunga lily. Dan tempat itu pun kemudian terkenal dengan sebutan "Tebing Bunga Lily."

Cerita semangat bunga lily ini menginspirasi kita saat mempunyai impian, ide, keinginan, atau apapun yang menjadi keyakinan kita untuk diwujudkan, jangan peduli ejekan orang lain! Jangan takut diremehkan oleh orang lain! Tidak perlu menanggapi semua itu dengan emosi, apalagi membenci. Justru sebaliknya, tetaplah yakin dan berjuang dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Buktikan semua mimpi bisa menjadi nyata.


Sabtu, 16 Agustus 2014

465. Apa Arti Kebahagiaan Sesungguhnya ?



Alkisah, ada seorang pemuda dari keluarga yang miskin yang rumah tinggalnya sering berpindah-pindah, karena ia hanya bisa mengontrak. Dalam hidup, keinginan terbesarnya adalah memiliki rumah sendiri. Karena itu, saat menikah, dia memaksa dirinya membeli rumah dengan cicilan selama 20 tahun. Akibatnya, dengan gajinya yang relatif kecil, ia harus mengatur pengeluarannya sedemikian rupa, sehemat mungkin, agar kebutuhan hidup bersama keluarganya tetap bisa tercukupi.

Maka, sejak saat itu, kehidupan keluarga pemuda itu terpola dengan sangat hemat, irit, dan tanpa keleluasaan sedikit pun untuk bersantai. Si pemuda, sebagai kepala keluarga, sangat ketat mengatur segala sesuatu agar cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari keluarga itu dilingkupi suasana tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam pengeluaran uang.

Waktu pun terus berjalan. Pada suatu ketika, ibu pemuda tadi menyatakan keinginan kepada anaknya, “Anakku, keinginan ibu sebelum meninggal adalah kita bisa pergi berjalan-jalan ke daerah yang ibu sukai. Ibu mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk menambahkan kekurangannya?”

”Sabar Bu, jangan sekarang. Bukankah kita harus berhemat, irit, mengatur sedetail mungkin pengeluaran kita agar bisa tetap membayar cicilan rumah?” jawab si pemuda setiap kali ditanyai ibunya.

Begitulah, saking ketatnya mengatur pengeluaran, saat sang istri mengajak pergi keluar untuk sekadar bersantai pun, pemuda itu tidak menggubrisnya. Bahkan hanya sekadar makan keluar ke restoran bersama keluarga pun, selalu dijawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja, yakni ’harus berhemat untuk membayar cicilan rumah’. Alasan ini juga berlaku untuk anaknya. Saat si anak merengek minta uang jajan atau dibelikan mainan, dengan tegas si pemuda menolak semua keinginan anaknya.

Istri dan keluarganya akhirnya mulai tertekan dan jenuh dengan keadaan seperti itu. Hari-hari pun berlalu dengan monoton dan penuh dengan stres. Tak ada lagi nuansa kebahagiaan yang menyelimuti keluarga itu.

Tanpa terasa, 20 tahun kemudian, cicilan rumah telah selesai. Rumah itu telah sepenuhnya menjadi milik pemuda tadi. Namun, ketika rumah itu benar-benar telah menjadi miliknya, ternyata ia tidak bahagia. Ia bahkan merasa telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga. Saat itu, rumah yang ditempati hanyalah sebentuk bangunan, tanpa ada apa-apa lagi di dalamnya, tanpa kehangatan dan tanpa kebahagiaan. Si pemuda tinggal seorang diri di situ. Istri dan anaknya telah pergi, meninggalkan dia. Ibu pemuda itu pun sudah meninggal dunia beberapa tahun silam, tanpa pernah terkabul permintaan terakhirnya.

Kini, hidup terasa hampa, dingin, dan kosong baginya. Laki-laki itu tidak mengerti, kenapa saat tujuan hidup yang diagungkan tercapai, saat sertifikat kepemilikan rumah ada di tangannya, justru cinta, kehangatan, dan kebahagiaan pergi meninggalkannya begitu saja!

Apa artinya semua materi yang kita dapatkan, jika kita harus kehilangan kebahagiaan dari orang-orang yang kita cintai. Maka, jangan paksakan sesuatu yang bisa mendatangkan penyesalan dan penderitaan di kemudian hari.

Kekayaan materi sering kali dipandang sebagai standar kesuksesan. Namun kenyataannya, tidak sedikit orang yang kaya materi tidak bahagia kehidupannya. Tidak ada cinta dan kehangatan di dalam rumah mewah yang dimilikinya. Sebaliknya, banyak pula orang yang tidak berkelimpahan harta tetapi bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia bersama dengan seluruh keluarganya.

Jika kita punya cita-cita menghasilkan kekayaan yang berlimpah, sah sah saja kok. Namun, apa artinya semua materi yang kita dapatkan, jika kita harus kehilangan kebahagiaan dari orang-orang yang kita cintai seperti cerita di atas? Apalagi alasan untuk mengejar semua keinginan itu lahir dari perasaan iri atau tidak mau kalah dengan orang lain, sehingga akan memunculkan pemaksaan di luar kemampuan kita, yang pada akhirnya membuat kita menderita.

Maka, jangan paksakan sesuatu yang tidak pantas dipaksakan kalau hanya penyesalan dan penderitaan yang akan kita alami.

Mari teman-teman, tetaplah berjuang dan bekerja keras mewujudkan impian kita! Namun gunakan cara positif dan pola pikir yang benar dan seimbang, agar hidup bisa lebih bermakna bersama dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai.