Beberapa
minggu yang lalu aku mengunjungi rumah mama. Sejak menikah aku tidak lagi
tinggal serumah dengan keluargaku dengan alasan ingin membina rumah tangga
yang mandiri. Kunjunganku itu sekedar ingin tahu kabar keluargaku.
Sampai
di rumah aku melihat adik perempuanku sedang menonton tv. Tidak biasanya adikku
ini ada di rumah di hari sabtu. Biasanya dia masuk kerja. Aku langsung teringat
sesuatu, jangan-jangan masa kontrak kerjanya sudah habis. Aku lalu mencoba
bertanya pada Neng – panggilanku kepadanya. “Neng, tumben ada di rumah, gak
kerja?”
“Gak.”
Jawabnya singkat.
“Sudah
habis kontraknya.” Tiba-tiba mama berkata dari kamarnya.
Aku
hanya manggut-manggut saja mendengar berita itu. Ada rasa iba terhadap adik
perempuan yang paling dekat denganku itu.
Ba’da
dzuhur aku pamit pulang karena istriku tinggal sendirian di rumah ditambah lagi
sudah waktunya makan siang dan aku janji untuk membelikannya makan siang.
Sengaja aku tidak menyuruhnya memasak mengingat begitu banyak pekerjaan rumah
yang dia kerjakan dari pagi hari.
Sampai
malam aku masih memikirkan keadaan Neng. Aku harus memberikan semangat
kepadanya agar dia tidak berputus asa menghadapi ujian ini. Lalu aku ambil
HP-ku dan mengirimkan SMS kepada Neng.
Yang
semangat ya Neng.
Rezeki
Allah itu luas. Insya Allah, Neng akan diberikan pengganti Yang lebih baik. AA
selalu mendoakan Neng di setiap sujud AA. I love u, Sister.
Tidak
beberapa lama SMS-ku itu dibalas olehnya.
Terima
kasih A. Sebenarnya kontrak kerja Neng diperpanjang. Namun karena sebuah alasan
Neng tidak mau melanjutkan pekerjaan itu. Sebenarnya Neng merasa kehilanagan AA
setelah Neng hidup bareng AA selama 25 tahun. Tapi Neng ikut bahagia Jika
sekarang AA hidup bahagia sama istri AA. I love u too, Bro.
Terharu
aku membaca SMS Neng. Ada kalimat yang menjadi bahan pikiran aku. Sebuah alasan
mengapa Neng tidak mau melanjutkan kontrak kerjanya di salah satu bank
konvensional itu. Padahal penghasilan bulanannya lumayan besar.
Kemudian
aku teringat curhatan Neng mengenai pekerjaannya itu. Neng pernah cerita bahwa
dia setengah hati menjalankan pekerjaannya. Sebagai salah seorang telemarketing
untuk kartu kredit di bank tersebut Neng merasa berdosa. Setiap hari dia harus
mencari nasabah dan menawarkan kartu kredit kepada mereka, dan itu ditarget.
Dia
mengerti bahwa pekerjaannya itu berbau riba dan itu yang menjadi ganjalan di
hatinya. Dia pernah bercerita bahwa gaji bulanannya itu sering habis tidak
karuan. Mungkin karena gaji yang diterimanya ini dari hasil praktik riba yang
dia kerjakan pada bank tersebut. Dia merasa berdosa karena setiap hari mengajak
orang untuk melakukan praktik riba.
Dugaannku
ternyata benar. Neng tidak mau memperpanjang kontrak karena tidak mau lagi
terlibat dalam praktek riba apapun alasannya. Dia sengaja memutuskan kontrak
kerja dan mencari pekerjaan lain yang jauh lebih halal tentunya. Terharu dan
sekaligus kagum aku dibuatnya dengan keputusannya itu.
Subhanallah,
sungguh Allah akan membalas dan mengganti dengan yang labih baik untuk setiap
perbuatan yang ditujukan karena-Nya. Engkau meninggalkan pekerjaan yang berbau
riba itu karena takut kepada Allah dimana Dia mengharamkan segala macam praktik
riba meski dikemas dengan keindahan rupiah.
Aku
pun berkeyakinan bahwa Allah mempunyai banyak jalan untuk melapangkan rezeki
kepada setiap hamba yang dikehendaki-Nya. Secara logika dengan putusnya kontrak
kerja tersebut maka terhentilah penghasilanmu. Tetapi logika tersebut tidak
berlaku dengan kekuasaan Allah. Allah adalah Ar Razaq, dan semoga Allah membalas
keputusanmu itu dengan limpahan rezeki yang berlimpah dan yang paling penting
adalah berkah.
Hukum
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya :
“Hai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
(QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah:
275).
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).
Dari
Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang
membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau,
“(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh
jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba,
(kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan
dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu
menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul
Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan
Nasa’i VI: 257).
Dari
Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan
riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.”
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim
III: 1219 no: 1598).
Dari
Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga
pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
Dari
Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan
seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam
pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV:
69 no: 230).
Dari
Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta
kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar