Karena telah tiga kali kecelakaan kerja,
Mang Ujang pun menjalani pemeriksaan kesehatan, ternyata ia sudah mengalami
kemerosotan indera pendengaran. Pantas saja, kita harus berteriak kalau ngomong
dengannya, harus kencang dan kadang diulang-ulang, beliau lebih mengerti
gerakan mulut lawan bicara, suara kita tak terdengar jelas di telinganya. Maka
ia berhenti bekerja namun tetap “orbit edarnya” di wilayah kompleks perumahan
kami, menjadi seorang pengayuh becak.
Dalam kesehariannya saat tak mengayuh
becak, beliau sering dimintai tolong oleh kami atau para penghuni kompleks
lainnya, misalnya mengecat rumah, memperbaiki pagar, menata kebun/halaman,
memotong rumput, menguras kolam ikan atau bak mandi besar, membetulkan atap
rumah, ikut kerja bakti lingkungan RW atau menemani mudik ke desa. Sesekali
beliau membantuku di halaman rumah, memunguti jambu, alias saya yang memanjat
pohonnya, lalu dia yang memunguti buah jambu ketika keranjang yang kusodorkan
dari atas telah penuh, sekaligus dialah yang menyapu dedaunan jambu tersebut.
Mang Ujang hanya menerima dengan ikhlas,
berapa pun honor yang diberikan orang-orang atas pekerjaan ‘serba-bisa’-nya itu.
Kalau ada yang bertanya blak-blakan, “Berapa yah yang harus saya bayar, Mang?”
Beliau ini tetap hanya menjawab, “Seikhlasnya aja bu…”. Demikianlah akhirnya
para tetangga sering saling tanya terlebih dahulu mengenai honor buat Mang
Ujang agar ‘sama-sama enak’, maklumlah, tak sedikit pula yang kurang puas akan
hasil pekerjaannya karena permasalahan pendengaran beliau, contohnya kalau
disebutkan harus begini-begitu, bagian ‘ini-itu’, mungkin yang ia kerjakan
hanya begini, trus tersisa pekerjaan bagian lainnya itu.
Di setiap akhir bulan masa gajian, tak cuma
pundi-pundi rupiah Mang Ujang yang mengalir deras, (padahal jumlah nominal
tidaklah seberapa, namun kalau terkumpul ‘tip’ dari pelanggan dadakan atau
orang-orang yang sering ditolongnya, maka penghasilan beliau memang lumayan,
berkah Allah mengiringi rezekinya), ada yang ikut membelanjakan beras buat
keluarganya, susu, gandum, sirup, atau ada pula yang membelikan pakaian baru
buat anak-anaknya.
Rezeki-Nya Maha Luas, dari sejak tidur
nyenyak dengan nyaman, bangun tidur menghirup kesegaran oksigen dan air wudhu,
bisa mendengar adzan, melihat mentari, membaca qur’an, rezeki sarapan,
memperoleh teman-teman, punya sahabat yang amanah, dan seterusnya berlimpah
ruah, selain rezeki keteguhan iman serta nikmat kesehatan nan teramat mahal,
hingga memang tiada seorang pun yang bisa menghitung rezeki-Nya dalam kehidupan
kita.
Beliau pernah bangkit dari keterpurukan,
pernah menunjukkan bukti bahwa orang yang hebat adalah orang yang selalu
bersyukur, meskipun apa yang dijalani ternyata tak sesuai keinginan diri.
Ayat indah-Nya, “…Boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 216)
Mungkin saja sekarang kita bertanya
‘mengapa begini…mengapa begitu…’, kenapa jalan hidup terasa lebih terjal dan
lebih berliku, ataukah diluar pemikiran dan perencanaan kita, dan sebagainya.
Lalu suatu hari nanti kita akan berucap dalam nurani, “Subhanalloh… ternyata
jalannya begini… ternyata yang dialami harus begitu. Ternyata Allah ta’ala
memang menghendaki skenario terbaik buat kita semua…”, insya Allah selalu ada
solusi buat orang-orang yang optimis di jalan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar