Selama ini, Budi selalu menyediakan beberapa uang recehan
untuk berjaga–jaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri.
Satu lewat, kuberi, kemudian lewat satu pengemis lagi, kuberi. Hingga
persediaan receh di kantong habis, barulah aku berhenti dan menggantinya dengan
kata “maaf” kepada pengemis yang kesekian. Tidak setiap hari Budi melakukan itu
karena memang pertemuan dengan pengemis juga tidak setiap hari.
Sahabat Budi, Metta, punya cara lain. Awalnya Budi merasa bahwa dia pelit
karena Budi tidak pernah melihatnya memberikan uang recehan kepada pengemis.
Padahal kalau ditaksir, gajinya lebih besar dari gaji Budi.
Bahkan mungkin gaji Budi itu, besarnya hanya setengah dari gaji Metta. Tetapi
setelah apa yang Budi lihat sewaktu bersama–sama berteduh dari kehujanan,
anggapan itu ternyata salah.
Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri Budi dan Metta
seraya menengadahkan tangan. Tangan Budi yang sudah berancang–ancang
mengeluarkan uang recehan, ditahan Metta.
Kemudian Metta mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu
rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga,
entah apa yang ada di pikirannya, sambil memperhatikan dua lembar uang itu.
“Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang
seribu rupiah atau yang seratus ribu…?” tanya Metta.
Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih
yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus
ribu. “Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tetapi
kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma – cuma.
Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana…?” terang
Metta.
Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu, untuk
menjawabnya. Terlihat dia masih nampak bingung dengan maksud Metta. Dan,
“Maksudnya… yang seratus ribu itu hanya pinjaman…?”
“Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau
saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah
habis. Tetapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok
hari dan seterusnya ibu tidak perlu meminta–minta lagi” katanya.
Selanjutnya Metta menjelaskan bahwa dia lebih baik memberikan
pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya
meminta–minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado–gado.
Di rumahnya, dia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado–gado,
seperti cobek, piring, gelas, meja dan lain – lain.
Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama–sama
ke rumah ibu tadi, yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan
sudah reda dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok
untuk berdagang gado–gado, pikirku.
Metta sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual
gado–gado itu. Selain untuk mengisi perutnya dengan tetap membayar, dia juga
berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado–gado
itu.
Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk
mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Metta kembali mengunjungi
penjual gado–gado. Dengan air mata yang tidak bisa lagi tertahan, ibu penjual
gado–gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Metta. “Terima kasih, Nak.
Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat.”
Metta mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati
orang yang dibantunya sukses. Meski tidak jarang, dia harus kehilangan uang itu
karena orang yang dibantunya gagal atau tidak bertanggung jawab. Menurutnya,
itu sudah resiko. Tetapi setidaknya, setelah ibu penjual gado–gado itu
mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa dia
bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta–minta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar