Di
desa saya, di dataran Liaodong Tiongkok ada sebuah kisah turun temurun yang
sangat menyentuh hati. Alkisah, pada pinggiran desa terdapat sebuah gubuk tua
dan reot, yang ditinggali oleh seorang ibu berusia paruh baya.
Penduduk
sekitar hanya tahu ibu itu bermarga Zhang dan tidak ada seorang pun yang tahu
nama sebenarnya. Ibu itu mengandalkan hidupnya dengan mengumpulkan
barang-barang bekas.
Suatu
ketika, pada masa terjadi tiga tahun bencana alam, saat ibu tua itu sedang
mengumpulkan barang-barang bekas di dekat sebuah rumah sakit, ia mendengar
suara tangisan bayi yang terbuang.
Bayi
itu lalu digendong dan dibawa pulang ke gubuk tuanya. Selama tiga tahun bencana
alam itu, ada empat bayi buangan yang ditemukannya.
Demi
menghidupi ke empat bayi tersebut, si ibu tua itu terpaksa mengais sisa-sisa
makanan di tong-tong sampah, dan mencari yang masih bisa dimakan. Setelah
menemukannya, ibu tua itu akan memamahnya sampai lembut dulu baru disuapkan
kepada bayi-bayi tersebut.
Orang
tua para bayi itu, ada yang merasa tidak sanggup untuk membesarkannya, ada pula
yang lahir di luar nikah, meskipun demikian mereka tidak seharusnya terlahir
sebagai anak yang terbuang. Sebenarnya ibu tua itu sendiri pun hidupnya sudah
sangat sengsara, akan tetapi anehnya, dengan kemukjizatan, dia telah dapat
membesarkan ke empat bayi tersebut.
Dua
puluh tahun kemudian, tiga anaknya telah lulus ujian dan masuk Universitas.
Sedangkan satunya lagi masuk sekolah angkatan dan menjadi perwira. Ke empat
anak tersebut akhirnya menetap, berkeluarga dan bekerja di kota.
Kemudian
anak-anaknya membawa ibu tua itu untuk pindah ke kota, dan mereka saling
berebut ingin merawat ibu tua itu. Setelah ibu tua itu meninggal, rumah
gubuknya yang tua dan reot itu meskipun kalau di dorong dengan satu tangan saja
sudah roboh, akan tetapi bagi penduduk sekitar sana, rumah itu memiliki arti
tertentu.
Penduduk
setempat memagari rumah tua itu dengan menggunakan bambu, dan membangun sebuah
pintu besar di mana di atas pintu itu tergantung sebuah papan bertuliskan
“Pondok Kebajikan”, sedang di halaman depan rumah itu ditanam sejumlah pohon,
orang orang menyebutnya sebagai “Pohon Kebajikan”.
Dalam
kondisi ekonomi seperti sekarang ini, Prinsip “keuntungan adalah di atas
segalanya” telah menjadi motto dari kebanyakan masyarakat. Nilai-nilai
kebajikan sedikit demi sedikit terkikis, hilang terbuang. Di dalam pergaulan
antar manusia adanya rasa kecurigaan semakin meningkat, sedang kebajikan
menjadi semakin berkurang.
Cerita
di atas telah menggambarkan seorang ibu tua yang namanya saja tidak di kenal
orang, dan dalam mengatasi kehidupannya sendiri pun sangat sulit, tetapi dari
hasil dengan mengumpulkan barang-barang bekas telah membesarkan ke empat
anaknya yang berbakat baik. Si ibu tua ini dengan penuh belas kasih telah
memelihara sifat murni manusia.
Mengenai
hal terkikisnya kebajikan, ini merupakan suatu hal yang tidak baik yang terjadi
selama proses perkembangan masyarakat. Kebajikan adalah prinsip yang tidak
membawa kepentingan apapun. Ini merupakan sifat dasar manusia, adalah
betul-betul lurus dan murni.
Ada
pepatah yang menyebutkan “Kebaikan budi bagai setetes air yang akan dibalas
dengan sumber air”. Kebajikan akan mendapat balasan kebajikan pula, ibu tua di
pedesaan itu adalah sebuah contoh yang kongkrit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar