Banyak yang mau berubah, tapi memilih jalan mundur. Andakah
orangnya?
Satu hari saya jalan melintas di satu daerah..
Tetidur di dalam mobil. Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya:
“Nanti di depan ke kiri ya”.
“Masih banyak, Pak Ustadz”.
Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli
bensin. Padahal bukan. Saya pengen pipis.
Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada
seorang sekuriti.
“Pak Ustadz!” . Dari jauh ia melambai dan mendekati saya. Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau. “Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya melihat di TV
saja…”. Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he he he. “Saya ke toilet dulu ya”.
“Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?”
“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz”. Sejurus kemudian saya
sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya. Lagi enak-enak tidur di
perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu pom bensin. Akhirnya ketemu
sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu bicara dengan dia. Sekuriti ini
barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan jadwal setelah ini. Begitu
pikir saya.
Saya katakan pada sekuriti yang mulia ini, “Ok,
ntar habis dari toilet ya”.
*******
“Jadi, pegimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?”,
tanya saya membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara
dengan beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya
yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?”
“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang
udah begitu. Distel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya”
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.
Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama
ada perkataan saya yang salah. Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau
banyak, tapi sama Allah ga mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari
dulu ya begitu-begitu saja..
“Udah shalat ashar?”
“Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan
ibadah, iya ga? Ya saya pikir sama saja”.
“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ
adalah juga ibadah?” Sekuriti itu senyum aja.
Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya,
sekuriti itu bisa benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga.
Cuma sebatas omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita
ibadah, apa yang kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan
sebagai ibadah.
Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah
wajibnya, tetap nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut
bohong dah tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita
sebagai ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita
menerima tamu sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu
shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka yang
demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi kalau
kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit ketimbang
buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh
sebutan-sebutan ibadah.
“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya
kan baru jam 5 nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.
“Ya, kurang lebih dah”.
Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang
faqih, seorang ‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut perhatian sama Yang
Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu. Aqimish shalaata lidzikrii,
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita bersantai-santai dalam
mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama saja dengan
mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan sekuriti yang
entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan mengubahnya
dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya Kang.. Kalo situ shalatnya jam setengah lima ,
memang untuk mengejar ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan
satu setengah jam andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila
dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil
baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak
ketertinggalan kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam
sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita
telat. Itu baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang
lebih bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja
mestinya kita dari senang”.
Saudara-saudaraku, percakapan ini kurang lebih
begitu. Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut
mukanya, nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He
he he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga
sama lawan bicara?
Saya katakan pada dia. Jika dia alumni SMU, yang selama ini telat shalatnya,
maka kawan-kawan selitingnya mah udah di mana, dia masih seperti diam di
tempat. Bila seseorang membuka usaha, lalu ada lagi yang buka usaha, sementara
yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit usahanya, bisa jadi sebab
ibadah yang satu itu bagus sedang yang lain tidak.
Dan saya mengingatkan untuk tidak menggunakan mata telanjang
untuk mengukur kenapa si Fulan tidak shalat, dan cenderung jahat lalu hidupnya
seperti penuh berkah? Sedang si Fulan yang satu yang rajin shalat dan banyak
kebaikannya, lalu hidupnya susah. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanya an
seperti ini cukup kompleks.
Tapi bisa diurai satu satu dengan bahasa-bahasa kita,
bahasa-bahasa kehidupan yang cair dan dekat dengan fakta. Insya Allah ada
waktunya pembahasan yang demikian.
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”
“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih,
kalo ga serius?”
“Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya”.
“Ngebut gimana?”
“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima
-an lagi shalat asharnya. Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah.
Jangan sampe keduluan Allah”. Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya,
sebelum azan udah standby di atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi
ga kenal sama Yang Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air
ini.. Kan aneh. Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi
giliran Allah memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang bekerja, malah
kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin klien, rapih, wangi, dan
persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit pakaiannya, ga
ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan fisik lelahnya. Ini
namanya ga kenal sama Allah.
“Yang kedua,” saya teruskan. “Yang kedua, keluarin
sedekahnya”.
Saya inget betul. Sekuriti itu tertawa. “Pak Ustadz, pegimana mau sedekah, hari gini aja nih,
udah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa dibuka lagi,. Alias
udah mulai ngambil dulu bayar belakangan”.
“Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya
berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.
“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti,
yang orang sering sebut orang kecil, itu udah gede”.
“Yah, pan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak,
bayar ini bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.
“Itu kerja bisa gede, emang udah lama
kerjanya?”
“Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama kerjanya.
Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz”.
“Koq bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos
pegimana gitu sampe ketemu angka 1,7jt”.
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak”.
“Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor.
Ngapain juga ente kredit motor? Kan ga perlu?”
“Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz”.
“Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang,
motornya. Bukan ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.
Sekuriti ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya
900 ribu. Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia
nutupin kebutuhan dia yang lain.
Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik. Kalo
ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya..
“Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau
diubah?”
“Mau Ustadz. Saya benahin dah”.
“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat
sendal, lakukan berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin.. Ikutan semuanya
ngebenahin shalat”.
“Siap ustadz”.
“Tapi sedekahnya tetap kudu loh”.
“Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada”.
“Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa keq”.
“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi
belinya. Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya”.
Sekuriti
ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan cari terus.
Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi sedekahnya tetap ga
keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya menurut ilmu yang saya
dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain soal itu mah.
Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, “Kang, kalo
saya tunjukin bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau
percaya?”.
Si sekuriti mengangguk. “Ok, kalo sudah saya
tunjukkan, mau ngejalanin?” .
Sekuriti ini ngangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan jalanin,” katanya,
manteb.
“Gajian bulan depan masih ada ga?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa. Dicoba dulu”.
“Entar bulan depan saya hidup pegimana?”
“Yakin ga sama Allah?”
“Yakin”.
“Ya kalo yakin, titik.. Jangan koma. Jangan pake kalau”.
Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk
sedekah. Sedapetnya. Tapi usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga perubahannya berasa. Dia janji akan
ngebenahin mati-matian shalatnya. Trmasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha dan tahajjudnya. Dia juga janji
akan rajinin di waktu senggang untuk baca al Qur’an. Perasaan udah lama banget
dia emang ga lari kepada Allah. Shalat Jum’at aja nunggu komat, sebab dia sekuriti. Wah, susah dah. Dan itu dia aminin. Itulah barangkali yang sudah
membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi sekuriti sekian tahun,
padahal dia Sarjana Akuntansi!
Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga
betah dengan posisinya sebagai sekuriti. Ga kena di hati. Ga sesuai sama
rencana. Tapi ya begitu dah hidup.. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Yang
penting kerja dan ada gajinya.
Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal
keinginan itu keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan
ga apa-apa juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal apa?
Asal kita barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin
aja harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau menambah
ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup kemakan dengan
tingginya harga,. Ga kebagian.
*******
Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau
kasbon. Ketika ditanya buat apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya
berapa? Dia jawab, Pol. Satu koma tujuh. Semuanya.
“Mana bisa?” kata komandannya. .
“Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru
ini saya berani”.
Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau
sekuriti ini jawab dengan menceritakan pertemuannya dengan saya.
Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk ketemu
langsung sama ownernya ini pom bensin.. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet
kasbonan 30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya
menyetujui. Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya Pak”,
begitu kata komandannya.
Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini.
Sebab cerita si sekuriti ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya
dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya. Termasuk dinanti
oleh bos nya.
“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”,
begitu lah pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa si sekuriti ini ingin
berubah bersama Allah melalui jalan shalat dan sedekah.
Hari demi hari, sekuriti ini dilihat sama kawan-kawannya
rajin betul shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah
sunnahnya. Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya jadi
barokah dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi
kenyataannya si sekuriti ga mengurangi kedisiplinan kerjaannya..
Malah tambah cerah muka nya.
Sekuriti
ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan dia tahu janji
Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan kawan-kawannya yang
pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal dengan catatan dia berhasil dulu.
Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan
apa-apa, saya demen ama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan
tinggal diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si
sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang belum
punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah pasti tidak
akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah tidak akan mempermalukan si
sekuriti.
Suatu hari bos nya pernah berkata, “Kita lihatin nih dia.
Kalo dia ga kasbon saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka
kelihatannya dia gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan yang
diambil di muka, kalau kemudian kas bon. Percuma”.
Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti
ini ga kasbon.
Berhasil kah?
Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya
lagi. Jadi, tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab
jual motor. Bukan dari keajaiban mendekati Allah.
Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini
sesuatu urusan yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
“Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh.
Yang lain bakalan gajian.
Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren”.
Sekuriti ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau
kasbon kalo ampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita
si sekuriti ini benar-benar bikin bengong orang pada.
Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pasca dia
benahin shalatnya, dan dia sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni
hidupnya di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di kampung, ada
transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga trlibat secara fisik. Sekedar
memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya, dari transaksi ini,
Allah persis mengganti 10x lipat. Bahkan lebih. Dia sedekah 1,7jt gajinya. Tapi
Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu
trjadi begitu cepat. Sampe-sampe bulan kemaren juga belum selesai. Masih
tanggalan bulan kemaren, belum berganti bulan.
Kata si sekuriti, sadar kekuatannya ampe kayak gitu, akhirnya
dia malu sama Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual!
Uangnya melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin
satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan ? Itu jual motor,
kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi dia
tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya punya 25
juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri.
Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan
uang 5 juta lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang
ini, ia aman. Ga perlu kasbon.
Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua
karyawannya, dan menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang
dilaluinya selama 1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si
sekuriti?
Engga. Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom
bensin tersebut sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan
si owner yang lain, dan dijadikan staff keuangan di sana . Masya Allah, masya
Allah, masya Allah. Berubah, berubah, berubah.
Saudara-saudaraku sekalian.. Cerita ini bukan
sekedar cerita tentang Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid.
soal keyakinan dan iman seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan
imannya ini bekerja menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan! Begitu saya
mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah. Dan dia baru sedikit mengenal
Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipake sama dia, dan diyakini.
Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya, buat perubahan hidupnya.
Subhaanallaah, masya Allah.
Dan
lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar sebagai
pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya kawan-kawan sepom
bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak suksesnya si sekuriti ini.
Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai sebuah cerita manis saja.
Setelah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia. Yah, barangkali tidak semua
ditakdirkan menjadi manusia-manusia pembelajar. Pertanyaan ini juga layak juga
diajukan kepada saudara? Apa yang ada di benak Saudara? Biasa sajakah?
Atau mau bertanya, siapa sekuriti ini yang dimaksud? Di mana pom bensinnya? Bisa kah
kita bertemu dengan orang aslinya? Berdoa saja. Sebab kenyataannya juga buat
saya tidak gampang menghadirkan testimoni aslinya.
Semua orang punya prinsip hidup yang berbeda. Di antara semua saja ada yang
insya Allah
saya yakin mengalami keajaiban-keajaiban dalam hidup ini. Sebagiannya memilih
diam saja, dan sebagiannya lagi memilih menceritakan ini kepada satu dua orang
saja, dan hanya orang-orang tertentu saja yang memilih untuk benar-benar
terbuka untuk dicontoh. Dan memang bukan apa-apa, ketika sudah dipublish,
memang tidak gampang buat seseorang menempatkan dirinya untuk menjadi contoh.
Yang lebih penting buat kita sekarang ini, bagaimana kemudian
kisah ini mengisnpirasikan kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh saja
kisah ini. Kita ngebut sengebut2nya menuju Allah. Yang merasa dosanya banyak,
sudah, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan Allah dengan
memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan amal saleh. Persis
seeperti yang kemaren-kemaren juga dijadikan statement esai penutup.
Kepada Allah semua kebenaran dan niat
dikembalikan. Salam saya buat keluarga dan kawan-kawan di sekeliling saudara
semua. Saya merapihkan tulisan ini di halaman parkir rumah sakit Harapan Kita..
Masih di dalam mobil. Sambil menunggu dunia terang. Insya Allah hari ini bayi saya, Muhammad Yusuf al Haafidz akan
pulang ke rumah untuk yang pertama kalinya. Terima kasih banyak atas doa-doanya
dan perhatiannya. Mudah-mudahan allah membalas amal baik saudara semua.
Dari semalam saya tulis esai ini. Tapi rampungnya sedikit
sedikit. Ini juga tadinya bukan esai sekuriti ini yang mau saya jadikan
tulisan. Tapi ya Allah jugalah yang menggerakkan tangan ini menulis.
Semalam, file yang dibuka adalah tentang langkah konkrit
untuk berubah. Lalu saya lampirkan kalimat pendahuluan. Siapa sangka, kalimat
pendahuluan ini saja sudah 10 halaman, hampipr 11 halaman. Saya pikir, esai ini
saja sudah kepanjangan. Jadi, ya sampe ketemu dah di esai berikutnya. Saya
berhutang banyak kepada saudara semua.. Di antaranya, saya jadi ikut belajar.
Ok, kelihatannya matahari sudah mulai
kelihatan. Saya baru pulang juga langsung dari TPI. Siaran langsung jam 5 ba’da
shubuh tadi. Istri saya meluncurnya dari rumah. Doakan keluarga kami ya. Saya
juga tiada henti mendoakan saudara dan
jamaah semua… (Ust. YUSUF MANSUR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar