.…Tersentak hati Bu Dina mendengar permintaan anaknya. Anak
laki-lakinya ingin ditiduri, ingin diberi kehangatan darinya….kehangatan
seorang wanita. Kehangatan…hmm……
—oooOooo—
Sebagai seorang wanita yang cantik, Dina memiliki hampir
segala yang diimpikan kaum wanita. Parasnya ayu, manies dan selalu enak
dipandang. Bentuk hidung, mata, alis, bulu mata hingga ke garis pipi yang
tertata indah bak bulu perindu diatas bintang timur diwaktu senja. Posturnya
tubuhnya sangat ideal untuk seorang wanita. Kulitnya yang putih dan jenis
rambutnya yang panjang hitam bergelombang menambah nilai keaggunannya.
Kemolekan lekuk tubuhnya menyebabkan ia sering disebut wanita terseksi.
Dina, seorang wanita karir pada salah satu perusahaan swasta
besar di Ibukota, termasuk wanita yang cerdas. Ditunjang pendidikan formalnya
yang merupakan alumni Pasca Sarjana Komunikasi Universitas ternama.
Loyalitas terhadap perusahaan tidak diragukan lagi, sehingga
menjadikan dirinya sebagai salah satu ’maskot’ pegawai diperusahaannya. Tak
heran bila karirnya bagai ’rising’ star. belum sepuluh tahun bekerja, dia sudah
menduduki jabatan penting, setingkat Department Head (Kepala Bagian). Dikenal
dekat dengan bawahan. Suppel dan mampu berkomunikasi dengan baik dengan jajaran
pimpinan. Tipikal Dina selalu menjadi bahan pembicaraan dikalangan pegawai,
gunjingan hingga tentu saja ’fitnah’ dari orang-orang yang tidak menyukainya.
Apalagi ketika terdengar kabar bahwa dia akan dipromosikan menjadi salah satu
deputy kepala divisi.
’ah…paling dengan keseksiannya’ kata mereka yang tidak suka.
—oooOooo—
”Ibu mau kemana….?” tanya Fitri, puteri bungsunya
”Ibu mau berangkat ke kantor nak…” jawab Dina, sambil
merapihkan pakaiannya
”Kok masih gelap bu….bareng ayah gak bu…?” tanya Fitri lagi
dengan bahasa anak yang agak cadel
”Ayah khan belum pulang nak. Masih di Bandung…” jawab dina,
tanpa memalingkan wajah dari cermin hiasnya
Jam masih menunjukkan pk. 04.25 pagi. Hari masih gelap.
Anak-anaknya masih terlelap, kecuali Fitri yang terbangun karena mendengar
suara peralatan riasnya.
”Aku tidak boleh terlambat…aku harus tiba sebelum Bos dan
Klienku datang..” pikir Dina dalam hati
”Bu, aku masih mau tidur….” kata Fitri
”Iyya nak….”
.Dina mencium kening anak puteri satu-satunya itu. Dengan
penuh kasih sayang dipeluknya erat sambil berkata pelan, ”Nanti sekolah sama si
Mbok ya….sarapan disekolah juga gak apa-apa kok…Ibu harus berangkat pagi-pagi…”
”Ah, Ibu…kemarin sudah pegi pagi…kemarinnya lagi pagi,
sekarang pagi lagi…” keluh Fitri, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya
”Fitri, Ibu bekerja juga untuk Fitri. Untuk sekolah Fitri
dan Adit…..untuk membelikan Fitri rumah-rumahan dan masak-masakan…” jawab Dina
pelan
”Tapi Ibu selalu pulang malam. Fitri gak pernah tidur bareng
Ibu. Makan sama si Mbok…sekolah juga sama si Mbok….” keluh Fitri lagi sambil
menggulingkan tubuhnya.
”Fitri, Ibu mau berangkat…..kamu berangkat sama si Mbok
ya…!” seru Dina dengan sedikit keras dan wajah agak memerah.
Dina segera keluar kamar. Dia memang tidur bersama anak
puterinya yang masih berusia tiga tahun. Ketika akan membuka pintu kamar, Dina
menyempatkan diri melihat raut wajahnya dicermin.
Terlihat jelas rona merah diwajahnya. Warna kulitnya yang
putih menambah kejelasan ’rona merahnya’. Dina menghela nafas panjang,
kemarahan sesaat telah merubah tutur bahasanya. Sudah merubah pula paras
ayunya…
”Huh…Fitri selalu membuat aku marah….Fitri sering
memperlambat jalanku ke kantor…” keluhnya sambil mengusap keringat didahinya.
”Ah sudah pk. 04.45…aku bisa terlambat …”
Dina mempercepat langkahnya. Sampai diteras rumah keraguan
muncul dihatinya….Dia belum sempat bicara dengan Adit, anak sulungnya…
”Ah dia khan sudah tujuh tahun. Sudah lebih besar. Dia pasti
ngerti lah…”
—oooOooo—
Presentasi mengenai pengembangan perusahaan, khususnya
bidang komunikasi, kemitraan dan pemasaran yang dipaparkan Dina memdapatkan
sambutan luar biasa dari Stake Holder (Pemegang Saham, Komisaris, Jajaran
Direksi dan Mitra Kerja). Sambutan itu ditandai dengan tepuk tangan meriah
sambil berdiri dan ucapan selamat yang seolah tak putus.
Senyum sumringah tersembul dari wajah Dina. Perasaan puas
memenuhi rongga hatinya. Dia menghela nafas panjang. Memejamkan mata
sesaat….”Akhirnya aku berhasil….”
Untung aku bisa mempersiapkan diri dengan baik. Untung juga
aku tiba lebih awal sehingga bisa mengkondisikan semuanya…….
”Dina selamat ya….tidak sia-sia kami menempatkan kamu
sebagai Dept Head Promosi & Kemitraan…..” kata seorang Direksi sambil
menjabat erat tangan Dina.
Jabatan tangan yang terasa ’lain’. Terasa ada getaran
’hangat’ yang menjalar melalui jari-jari terus hingga pangkal tangan, dan
meluncur deras dihati. Jantung berdegup kencang…entah perasaan apa itu. Yang
jelas perasaan itu membuatnya pikirannya ’kacau’, hatinya diliputi oleh suatu
misteri..entah misteri apa
”Dina, kerja kamu luar biasa…..masih muda, cantik, jenius….tak
salah jika Perusahaan memberimu posisi tsb…..” kata seorang Komisaris
Pujian komisaris menambah kencang degup jantungnya…seolah
darah berhenti mengalir. Seolah kaki sulit untuk digerakkan. Dengan menghirup
nafas pelan, Dina membalas pujian tsb
”Terima kasih Pak..terima kasih…semua berkat bantuan dan
bimbingan Bapak…”
”Berapa usiamu sekarang… adakah 40…?” tanya Komisaris itu
lagi
Dina tersipu malu…..rona merah kembali menghiasi wajahnya….
”Saya baru 34…. Pak…” jawab Dina sambil tertunduk malu
”Wow…Surprise…kita memiliki calon direksi termuda. Cantik,
jenius dan ber-visi…semoga kamu sukses ya….”
Dina terkesima. Tak percaya. Calon direksi….? ah, gak
mungkin… aku salah dengar….
—oooOooo—
Minggu, pk. 04.00 Dina terbangun.
Ohhhhh….lelah pikiran dan badannya membuatnya agak sedikit
malas untuk bangun. Namun undangan stake holder untuk sekedar minum kopi pagi
di Kafe Padang Golf mengharuskan dia untuk segera bergegas…..
”Ah….ngantuknya…..”
Dina kembali merahkan badannya….rasanya dia ingin meliburkan
diri bersama anak-anaknya….terutama Fitri yang kemarin membuatnya sedikit
marah….
Tapi…undangan Direksi dan Komisaris adalah sebuah
’Perintah’…laksana titah Raja yang harus dijalankan, meskipun hanya ajakan
sambil lalu…
”Ahhhh…..”
Dina mulai menyiapkan diri. Mandi pagi dan sedikit
bersolek….tampil agak cantik dan…hmmmm..seksi dikit rasanya tidak apa-apa. Toh
akan bersantai bersama orang-orang penting ’penguasa’ kantor….’apalagi
bila….bila ada yg tertarik padaku…’ pikirnya..
’ah pikiran ngelantur…..’ pikirnya lagi
”Ibuuuu….Tolong tiduri aku Bu….” seru Adit sambil berjalan
pelan dan membawa bantal guling yang sarung entah kemana
”Adiiit….?” tanyanya heran
”Adiit….” seru Dina kembali. Heran, tidak biasanya Adit
bangun pagi dan pindah ke kamarnya.
”Ibuuu…tolong tiduri aku bu…semalam aku gak bisa tidur…aku
kepikiran Ayah….aku ingin bermain bersama Ayah….”
”Adit. Hari ini Ibu masuk kantor….Ibu akan bertemu Bos di
kantor…” jawab Dina
”Ibuuu…tolong tiduri aku…aku ngantuk …pengen tidur bareng
Ibu…” pinta Adit, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Dina, Ibundanya…
Dina terdiam. Hatinya semakin membuncah….perasaan malas
memenuhi undangan Direksi kembali muncul….tapi motivasi untuk memperlihatkan
loyalitas demikian tinggi…dus, dia sudah berdandan seksi.
Diusap-usap perlahan kepala Adit. Rambutnya yang sedikit
ikal bergelombang mirip seperti rambutnya. Bentuk wajahnya yang agak oval dan
halus merujuk pada ayahnya…
”ahhh..aku jadi ingat Mas Darman. Wajah Adit mirip
ayahnya….semalam dia memberi kabar kalau Meeting di bandung diperpanjang karena
banyak Klien baru yang ikut datang….” bathin Dina dalam hati….seketika ia
merasa bersalah dengan suaminya.
”Adiiit, Ibu harus pergi sayang…..Ibu harus masuk kantor…..”
”Tapi buu…” Adit tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena
Dina mengangkat kakinya perlahan, sehingga kepala Adit berpindah ke bagian
pinggir tempat tidur.
Dina meneruskan riasannya dimuka cermin yang ada di sisi
kanan tempat tidurnya. Bibirnya diolesi lipstick tipis warna merah muda, sesuai
dengan pakaian yang dikenakannya. Pakaian terbaik yang dimilikinya, hadiah
Ulang Tahun dari Mas Darman suami tercinta.
”Mas Darman pasti akan silau bila melihat aku sekarang.
Pasti akan memujiku ’Cantiiik’..hehehe…sayang dandananku saat ini untuk orang
lain….”
”Huk..huk..huk..” suara batuk kecil beriak keluar dari mulut
Adit
”Adiit, kamu batuk. Jajan apa kamu kemarin” tanya Dina
sambil terus memainkan penghalus bedak dipipinya
”Huk..huk..huk..” suara itu kembali terdengar
“Mboookkk….tolong ambilkan air putih hangat. Adit batuk nih”
teriak Dina dari dalam kamarnya
Tepat pk. 05.00 Dina meluncur menuju Kafe Padang Golf.
Perjalanan akan memakan waktu 30 menit. Cukuplah. Karena pertemuan dan sarapan
kopi pagi baru akan dimulai pk. 06.00. Tapi biasanya banyak yang sudah datang
dengan perlengkapan stick golf, termasuk pemilihan ’caddy’ pendamping permainan
golfnya nanti.
—oooOooo—
Dina sangat menikmati suasana Kopi Paginya. Dia begitu cepat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tidak ada lagi perasaan canggung, malu
dan minder bercengkerama dengan jajaran Direksi, Komisaris dan Pimpinan Unit
Mitra Kerja. Apalagi dalam acara yang dikemas secara informal ini. Seolah ia
sudah menjadi bagian dari mereka. Jajaran elit perusahaan.
”Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan
rahmat-Mu…meski tak layak ku harap debu Cinta-MU” ringtone HP Dina berbunyi….
”Maaf Pak,,,,,,,” Dina tak sanggup meneruskan kata-katanya
untuk meminta ijin mengangkat Hpnya
”Silakan ..silakan….ini suasana santai kok” jawab salah seorang
Direksi
”Permisi Pak”
”Meski begitu ku akan bersimpuh… Penuhi jiwa ini dengan satu
rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu….” ringtone itu terus berbunyi…
Ditempat yang agak jauh dari kerumunan orang Dina mengangkat
Hpnya…
”Hallo….” sapanya
”Bu…kamu ada dimana sekarang….?” tanya suara disana dengan
lembut
”Sedang bersama Direksi dan komisaris di kantor.. Yahas…”
jawab Dina
Ohhh,…ternyata dari mas Darman, suaminya. Dina terbiasa
memanggilnya Ayah, menyesuaikan diri dengan panggilan anak-anaknya
”Loch emangnya masuk… ?” tanya Mas Darman lagi
”Iyya Yah…”
”kapan pulangnya…Adit sakit di rumah kata si Mbok…”
”nanti siang…..atau mungkin juga sore…”
”Yaa sudah…biar Ayah saja yang pulang segera”
—oooOooo—
Pk. 15.30 Dina kembali kerumahnya. Sarapan Kopi Pagi di kafe
Padang Golf ternyata diteruskan dengan acara ramah tamah dan meeting informal
dengan Mitra Kerja dan Klien. Beberapa Kontrak Kerja ’deal’ setengah kamar
dalam ramah tamah itu. Dina baru mengetahui kalau banyak ’deal’ ’deal’ kontrak
kerja yang putus di Kafe, Padang Golf serta jamuan makan. Mungkin karena lebih
santai dan informal….pikirnya, sehingga lebih mudah untuk bicara dari hati ke
hati
Tiba di ujung jalan pemukiman, Dina melihat banyak orang
berduyun menuju satu rumah dengan membawa nampan, rantang dan gelas-gelas
kecil.
”Ada apa ini…?” tanya Dina dalam hati
Ada bendera kuning terikat di atas tiang listrik tepi jalan…
”Ohh ada yang meninggal….”
Dina mempercepat langkahnya. Ia juga ingin melayat. Ia tak
ingin juga tertinggal dalam urusan sosial di lingkungannya….
Tak berapa lama Dina tersentak. Kakinya kaku tak bisa
digerakkan….dia melihat banyak orang berkerumun dipekarangan rumahnya.
Kebanyakan ibu-ibu dan wanita yang mengenakan pakaian berwarna gelap dan
berkerudung. Bapak-bapak ada di ruang tengah…
”ohh…apakah…apakah…..”
”Tidaaaakkkkkkkkk”
Dina mencoba untuk berlari. Namun kakinya semakin sulit
bergerak.
Air mata Dina deras mengalir ketiak ia melihat seorang bapak
berpeci hitam dan berpakaian muslim putih sedang melantunkan ayat-ayat Qur’an.
Dari suaranya tersendat terlihat jelas bahwa Bapak itu menahan tangis. Kadang
sesegukan sesekali menghambat laju bacaan Qur’annya..
”Mas Darman…..Ayahhhhhh” seru Dina setengah berteriak
“Ayah siapa yang meninggal Yah….?” tanya Dina kepada Bapak
yang sedang mengaji tadi
”Ayah..siapa yah….?” tanyanya lagi
Bapak tadi tidak menjawab. Telunjuk jarinya mengisyaratkan
bahwa Dina bisa membuka kain kafan yang belum tertutup
Dengan sedikit merangkak, Dina berjalan tersendat, dan
membuka kain kafan penutup wajah si mayit.
”Yaa Allah…Aadiiitttt” Dina langsung memeluk tubuh jenazah
itu
”Maafkan Ibu Nak….maafkan Ibu nak…….” teriak Dina keras,
membuat seisi rumah menoleh kepadanya. Bahkan beberapa orang yang berada di
luar juga berlari kearah rumah
”Adddiiiiittttt….Sini nak…Ibu akan tiduri kamu…Ibu akan
tidur bersamamu Nak…..”
”Addiiittttt bangun nak..Ibu sudah pulang…Ibu sudah pulang
nak….”
”Ibu ingin tidur bersama mu….”
Dina meraung keras seperti anak kecil yang kehilangan orang
tuanya….air matanya mengalir deras. Tak kuasa menahan sedih. Rasanya ingin
sekali ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu agar kembali bergerak….namun Mas
Darman segera merangkulnya. Memeluknya. Dan mencium keningnya…
”Bu….ini salah kita..salah Ayah….Ayah terlalu sering
meninggalkan keluarga..”
”Bukan Yah…ini salah Ibu…tadi pagi Adit minta ditemani
tidur, tapi Ibu tolak…”
”Ya sudahlah…ini salah kita semua. Adit terkena paru-paru
basah akut. Dan terlambat ditolong…..”
—oooOooo—
Anak, isteri, suami dan keluarga adalah perhiasan dunia.
Perhiasan yang paling indah adalah istri yang sholeh (Amar’atush-Sholihah),
suami yang adil (’imamun ’adilun) dan anak-anak yang mendoakan orang tuanya
(awaladdun sholihin yad’ulah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar