Mei 1984
Ujian Akhir, 03.00 Pagi
Suara lantunan ayat-ayat suci membangunkanku dari lelap. Ibu! Begitu biasanya beliau membangunkan kami untuk shalat lail. Segera kutepuk Tini untuk menyusul Ibu. Mata adikku masih memerah menahan kantuk. Tapi kusemangati dia, “Ayo, katanya ingin berdoa, Tini ingin minta apa?” Malam begini dingin menyambut kami di kamar mandi. Air terasa seperti butiran es. Kuusap mataku dan mata Tini sambil tersenyum, sekejap kemudian kesegaran mengaliri seluruh tubuh. Lenyap sudah kantuk yang memberati mata. Ibu menyambut kami dengan senyum, tapi…. Matanya begitu sembab, pasti Ibu habis menangis. “Mana adik-adikmu yang lain, Nduk?” kami saling berpandangan, lalu menggeleng dan tersenyum malu. Habis, sulit sekali membangunkan Lastri dan Tinah, bisa ditendang aku nanti, maklum, mereka masih kecil. Usai tahajud, aku terus mengambil buku dan belajar. Ibu menemani sambil meneruskan tadarus Qur’an-nya. Ibu…. Bagaimana orang sealim Ibu bisa mendapatkan orang seperti Bapak. Ah, ngelantur aku ini, kalau tidak ada Bapak, berarti aku juga tidak ada.
Akhir Mei 1984
Akhirnya, selesai sudah ujian akhirku. Alhamdulillah leganya. Setidaknya aku mulai bisa memikirkan yang lain untuk membantu mengurangi beban Ibu. Yah, mau bagaimana lagi, Ibu memutuskan menjual sebagian tanah warisannya untuk menebus Bapak dari penjara. “Bagaimana pun dia bapakmu, Wuk, sejahat dan sebejat apa pun kelakuannya, darahnyalah yang mengalir di tubuhmu.” Aku juga tak tahu musti harus bagaimana. Rasanya kaget tiba-tiba ikut terlibat dalam permasalahan rumit ini. Tapi Ibu butuh teman bicara. Dan aku, anak sulungnyalah yang bisa melakukan itu. Ya, mesti cuman sebatas mendengarkan. Menanti Bapak pulang seperti menunggu datangnya makhluk asing dari planet lain. Ada rindu, ada benci, ada juga rasa asing yang tak bisa kumengerti. Entahlah, dari dulu kami memang tak bisa dekat. Bapak menginginkan anak laki-laki, sementara kelima anaknya perempuan. Barangkali itulah yang membuat sulit sekali diajak bermanja. Suatu sore, saat matahari senja merah saga memenuhi langit, Bapak benar-benar pulang. Sosoknya yang tinggi besar memenuhi pintu rumah. Dan Ibu menyambutnya seperti biasa, dengan mencium tangan Bapak, dan menyuruh kami melakukan hal yang sama. Tanpa beban, seolah tak terjadi apa pun yang pernah mengguncang keluarga kami. Kucari dendam di mata Ibu, tapi ya Rabbi, mata itu begitu ikhlas dan tabah. Sementara hatiku sudah mulai tertorehi luka.
Agustus 1984
Perekonomian keluarga kami benar-benar terpuruk. Aku tak bisa melanjutkan kuliah. Jangankan untuk mendaftar SMA, untuk makan sehari-hari pun mulai kesulitan. Bapak berpamitan untuk mencari kerja di Bogor. Memang di kota kecil seperti Kediri, mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah, apalagi untuk orang yang namanya sudah cacat seperti Bapak. Ibu mengambil alih perekonomian dengan membuka warung pecel di depan rumah. Pagi buta sampai siang, Ibu mengurus warung pecelnya. Sore hingga malam membuat krecek, makanan ringan dari irisan singkong kering yang digoreng dan dibumbuhi gula merah serta cabai. Aku membantu Ibu sekuatnya. Aku punya kewajiban moral untuk membantunya, kalau bukan aku, siapa lagi? Bangun pukul empat pagi kini tak terasa dingin lagi. Sepagi itu aku dan Ibu mulai ke pasar. Tiba di rumah, kami berbagi tugas. Aku mencuci baju, Tini membersihkan rumah. Setelah beres, kami membantu Ibu menyaingi sayuran. Ketika adik-adikku berangkat sekolah aku mulai menyiapkan potongan-potongan singkong untuk digoreng. Bila malam tiba, sambil mengajari mereka, aku dan Ibu membungkus krecek ke dalam plastik agar esok pagi bisa kuedarkan ke warung-warung dan pasar Kandat. Ya Allah, Pengatur nasib umat, aku sangat bangga pada Ibu. Di tengah himpitan ini beliau masih terus berkhusnudzan kepada-Mu, terus mengajari kami bersabar, dan terus membimbing kami dengan cintanya. Ya Allah, berikanlah segala kebaikan-Mu untuk Ibu dan kami sekeluarga. Dan berilah kesadaran untuk Bapak, ya Allah, bahwa kami adalah putri-putri yang juga mengharap cintanya. Amin.
Agustus 1986
Bapak datang. Datang! Setelah sekian lama tanpa kabar dan kiriman apa pun. Datang dengan sederet tuntutan dan lecehan pada Ibu. Tuntutan atas kehadiran anak laki-laki yang tak mampu dilahirkan Ibu. Dan satu pelecehan lagi yang membuat darahku berpacu ke ubun-ubun, beliau mengaku sudah menikah di Bogor dan mempunyai seorang anak laki-laki. Tuntutan untuk menjual sisa tanah, dengan alasan anak laki-laki lebih berhak memperoleh daripada kami. Semua dikatakan Bapak saat kami kesulitan untuk sekedar mengisi perut. Entah keberanian apa yang membuatku lancang kepada Bapak. Kupukul dan kucakar lelaki yang kusebut bapak itu sehingga sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Ibu yang tersimpuh di atas tubuhku dengan isak pelan, dan umpatan kasar Bapak, “Perempuan sialan, perempuan pincang! Seperti ini kau didik anakmu? Huh, dari dulu aku memang malu punya istri seperti kamu, dasar pincang!” Kali ini giliran Ibu yang mendapat tamparan Bapak. Sakit…. Sakit hatiku mendengar Ibu diumpat seperti itu.
Kaki Ibu memang tidak normal, terserang polio sedari kecil. Tapi bukan berarti ia tidak sempurna mendidik kami. Sungguh ia satu-satunya wanita yang membetot habis rasa cinta dan hormatku lebih dari apa pun. Satu lagi luka tertoreh. Kupandang Bapak dengan mata menyala. Biar….. biarlah Bu, Bapak mengambil tanah itu. Kita buktikan bahwa kita bisa hidup tanpa bantuannya bila itu yang Bapak mau. Aku berjanji, aku bertekad, akan kulakukan apa pun untuk Ibu dan adik-adikku.
Januari 1990
Rumah Makan Padang “Siang Malam”, Gringsing, Kendal
Aku membawa truk bermuatan kelapa memasuki pelataran rumah makan. Sisa setengah perjalanan lagi menuju Jakarta. Ahmad dan Pak Gono membuka mata. Dengan sopan aku menyilahkan mereka untuk beristirahat. Sementara aku harus berburu waktu mencari musholla, shalat Isya’. Celana hitam, jaket gombrang coklat, dan jilbab kaos hitam telah menyulapku menjadi sosok yang cukup dikenal di rumah makan ini. Pemiliknya Pak Haji Yassin juga kenal denganku. Karena itu aku memilih tempat ini sebagai tempat istrirahat bila nyopir ke arah barat. Selain lingkungannya apik, baik, juga ada musholla yang nyaman tempat aku istirahat sejenak. Sesekali bahkan Bu Haji menyuruhku istirahat di ruang belakang mereka. Sementara aku istirahat, Ahmad biasa mencuci kaca depan truk, mengisi air radiator, mengecek mesin, dan ban, serta tak lupa menyiapkan sebotol kecil kopi hangat di samping jok untuk persiapan nanti.
Truk ini milik Pak Jono, teman Bapak. Aku yang dipercaya mengelolanya dengan sistem sewa. Dulu, hampir tiap hari aku keluar masuk desa untuk menawarkan jasa transportasi ini. Kini tinggal memetik hasilnya. Para petani dan pedaganglah yang datang apabila membutuhkan truk sekaligus sopirnya. Aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang sopir. Tidak, tidak karena itu dunia laki-laki yang keras dan penuh bahaya. Tapi aku tak punya pilihan lain. Hanya pekerjaan ini yang bisa menghasilkan uang paling banyak. Sekali nyopir aku bisa mengantongi uang lima puluh ribu sampai seratus ribu. Bahkan bila musim panen, aku bisa memegang hingga satu juta rupiah sebulan. Alhamdulillah. Karena selain menyopir, aku juga memasok beberapa komoditi pasar seperti kelapa, pisang, semangka ke beberapa kota sekeliling Kediri. Tentu, dengan bagi hasil dengan Pak Jono.
Ibu terus berjualan pecel dan membuat krecek. Kini hanya dibantu Sundari karena Sutini dan Sulastri sudah kuliah di Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Sedang Partinah memilih ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bahagia rasanya melihat mereka terus sekolah, lebih bahagia karena mereka tak pernah mengecewakan lelehan keringatku. Mereka belajar keras, bahkan sangat keras untuk membahagiakan Ibu dan kakaknya yang sopir truk ini. Sekali waktu, Tini pernah marah padaku, ia minta diijinkan bekerja untuk ikut membantu ekonomi keluarga. Tapi adikku itu mengkeret begitu melihatku memandang tajam ke arahnya. Adikku…. Maafkan Mbak Tiwuk. Biar Mbak Tiwuk saja yang berkorban, satu saja! Kalian semua jadilah manusia yang berhasil. Dengan lulus UMPTN, dengan kuliah yang benar, dengan cepat lulus, itu sudah cukup membantu Mbak Tiwuk. Sudah membuat Mbak bahagia. Jangan pikirkan yang lain. Doa Mbak untuk kalian semua.
Juli 1993
Rumah Makan “Ayem Tentrem”, Pelabuhan Ketapang
Sudah larut malam ketika aku beristirahat, menunggu kapal yang akan berangkat ke Pulau Bali. Ini rute pertamaku. Agak gamang juga. Tapi Ahmad, kenekku meyakinkan bahwa ia pernah ke Denpasar sebelumnya, jadi aku tak perlu khawatir tersesat. Deretan truk terparkir dalam keremangan pelabuhan. Aku turun, mencari musholla dan tempat nyaman untuk menyantap rantang makanan bekal dari Ibu. Menjelang pukul dua, kudengar keributan di sekitar trukku. Ahmad berteriak-teriak, aku tertegun. Segerombolan preman tengah merubungnya. Tukang palak rupanya. Sementara Pak Sabar, pemilik kayu gelondongan yang kuangkut tergigil pucat pasi di sisi truk. Pemalakan tidak tanggung-tanggung karena kami orang baru, diharuskan membayar biaya keamanan sebesar seratus ribu. Sejenak mereka melongo begitu tahu sopirnya wanita. Tapi tak pernah kugunakan sebutan itu untuk bersikap lemah, terlebih ini menyangkut hak untuk mencari penghidupan halal, hak asasi setiap umat untuk meneruskan hidupnya.
Setelah gertakan untuk melapor polisi tak ditanggapi, terpaksa kuladeni tantangannya. Ahmad satu tingkat di bawahku di perguruan Perisai Diri. Jadi aku bisa mengandalkannya. Seratus ribu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi Sulastri membutuhkan biaya untuk praktikumnya. Perkelahian berjalan tak seimbang, dua lawan tujuh. Kami bertarung sengit, tiga orang berhasil kami buat jatuh, seorang yang bertindak sebagai pemimpinnya berbuat nekad, saat tendangan kaki kiriku kuarahkan ke si brewok, ia menohok dari samping. Cras… kaki berbalut sepatu kets-ku berlumuran darah. Perih, darah keluar dengan deras. Aku masih bisa menangkis dua, tiga serangan, setelah itu gelap. Saat sadar aku telah berada dalam salah satu bangsal di RSU Banyuwangi. Menurut dokter, setelah sembuh nanti kemungkinan aku akan mengalami sedikit pincang. Sejumlah memar juga menghiasi leher dan punggung. Rupanya saat aku sudah jatuh mereka masih menendangiku. Untunglah Pak Sabar datang tepat pada waktunya dengan dua orang polisi pelabuhan. Aku bersyukur karena Ahmad dan Pak Sabar tak terluka. Ah, peristiwa pahit. Tapi tak akan melemahkan semangatku untuk terus mencari nafkah, karena lima bulan lagi Sundari lulus SMA.
Februari 1995
Kutuntun Ibu ke dalam ruangan penuh spanduk dan karangan bunga. Subhanallah, matahari pagi pucuk-pucuk pinisium ikut tersenyum memandang kami. Hari ini Sutini disumpah menjadi seorang dokter. Map hitam berlogo almamater diserahkan kepada Ibu dan aku sambil menahan tangis. “Ini…. Untuk Ibu dan Mbak Tiwuk.”
Kupeluk adikku, kuusap keningnya.
“Seandainya setiap kakak di dunia ini seperti Mbak Tiwuk…..,” ujarnya dengan mata basah.
“Seandainya semua adik di dunia seperti kalian, tidak akan ragu seorang kakak melakukan apa pun,” kami berpelukan, kurengkuh bahu adikku, Tini yang bulan depan akan mengakhiri masa lajangnya, disunting oleh teman seangkatan, pemuda soleh yang bulan kemarin bersama keluarganya mengkhitbah Tini di rumah kecil kami. Jemputlah masa depanmu Adikku…. Mbak Tiwuk ikhlas kau langkahi.
Mei 1997
Rumah Makan “Baranangsiang”, Bogor
Menyebut kota ini menimbulkan luka lagi yang menganga, Bapak….. pelan kueja namanya. Nama laki-laki yang seharusnya menanggung beban di atas pundakku. Pernikahan Tini kemarin beliau hadir, juga saat Tinah diakadkan. Semanis apa pun wajah kupasangkan, tak bisa membangun jembatan kemesraan anak beranak di antara kami. Hati ini terlanjur sakit. Pada saat kupandang wajah Ibu, masih dengan tulus yang sama menyambut kepulangan Bapak. Alangkah luas telaga maafmu, Ibu. Sementara hanya setitik hormat yang masih kupunya. Menurut berita yang kudengar, usaha Bapak di Bogor maju pesat, dengan seorang istri dan dua anak laki-laki yang diidamkannya. Syukurlah jika Bapak bahagia. Semoga waktu akan mengurai kebekuan hati ini hingga terbentuk maaf yang tulus untuknya. Karena aku tak mau selamanya jadi anak durhaka. Bukankah Allah telah begitu adil dengan apa yang telah kami terima selama ini? Sungguh aku bersyukur…….
Mei 2000
Rumah berdinding setengah bata setengah bambu kami terasa bertambah tua, atap dapur bahkan nyaris dorong. Seperti juga kerut pada Ibu, juga wajahnya yang makin mengental. Jika ada kesempatan untuk bernafas, inilah saatnya. Keempat adikku sudah mentas semua. Tinggal Sundari, itu pun sudah hampir mandiri, karena selain menyelesaikan S2, ia juga mengajar di sebuah yayasan. Kini perhatianku beralih ke Ibu. Ibu yang membesarkan kami dengan kedua tangannya, dengan kakinya yang terseok, yang selalu membentengi kami melalui doa yang rutin dipanjatkan di setiap malam, melalui puasa Senin-Kamis, dengan keprihatinannya, juga dengan sabar dan cintanya.
“Wuk, bisa nggak ya niat Ibu kesampaian. Ibu ingin sekali melihat Baitullah.” Satu kata itulah yang menjadi perhatianku kini. Maka, ketika Tini, Tinah, dan Lastri menawarkan diri untuk merenovasi rumah, kalimat itu kuulang pada ketiga adikku. Dengan sisa tabungan dan sumbangan mereka, aku berharap bisa memenuhi permintaan Ibu.
Juli 2000
“Dunia begitu indah karena kami memiliki kakak seperti engkau. Terima kasih, Mbak….” Kueja kalimat itu berulang. Sebuah cincin permata berlian menyertai kertas itu. Ah, aku lupa, hari ini aku berulang tahun. Aku memang selalu lupa dan tak pernah memikirkannya. Setitik air membasahi pipi, sudah berapa lama aku tidak menangis? Kucium kertas itu. Adik-adikku, dunia pun sangat indah karena aku memiliki kalian, juga Ibu. Terima kasih ya Alah.
Februari 2001
Garuda Indonesia, Boeing 737, Jamaah Haji Kloter 12
Pada Allah semua tujuan hidup bermuara. Tak pernah kubenci dan kusesali hidupku. Karena aku telah memandang semuanya dengan syukur dan karenanya sepahit apa pun kenyataan akan tetap terasa indah. Inna ma’al ‘usri yusro, sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Allah akan memberi kemudahan itu pada setiap hambanya yang sabar. Sering aku tak percaya bisa melakukan semua ini, karena tugas itu nyaris usai. Allah Yang Maha Pemurah, telah memberiku kesempatan hidup lebih panjang dari yang divonis dokter. Gadis dengan cacat jantung bawaan seperti aku…… rasanya tak percaya. Allah, jika Engkau ijinkan, berilah hamba waktu lagi minimal untuk bisa berjumpa dengan Bapak, agar kebekuan ini mencair. Untuk sebuah kata maaf yang belum pernah bisa kukeluarkan, karena aku, Tiwuk Hartati, pernah mempunyai doa yang sangat jelek untuknya. Biarlah maaf itu tumbuh seperti sejuta telaga kasih milik Ibu.
Awan putih menyembul di balik kaca, bararak meniupkan simponi syahdu. Seolah aku sedang duduk di antaranya, membaca tanpa gerak bibir, bahasa yang santun dan dewasa, mengantarku dalam kedalaman rasa tiada tara. Ibu memejamkan mata di seat sebelah, tenang dan damai. Oh Ibu, akhirnya penantianmu usai sudah. Lihatlah Bu, lihat awan itu. Ia akan mengantar kita ke suatu tempat yang paling Ibu dambakan. Kuusap lembut jemari kisut dan kasar itu. Ibu…. Lelah guratan hidupmu, membayang pada raut wajah itu, tapi tak bisa mengurangi keagungan cinta milikmu. Kukecup lembut dan kubawa tangan itu ke atas dada. Di bandara tadi, harta-hartamu mengantar kepergian kita dengan haru: Dokter Sutini, Dokter Sulastri, Insinyur Partinah, dan calon guru kita Sundari, juga suami-suami mereka dan keponakanku yang lucu-lucu: Hanif, Asfa, dan Abdus. Tawamu jernih dan tulus ketika mencium mereka satu per satu, mutiara hidupmu. Wajah damaimu Ibu, adalah bentuk kepasrahan seorang hamba dalam menjalani garis hidup Sang Pencipta, tanpa keluh dan putus asa. Kepasrahan dalam ketegaran yang senantiasa yakin akan pertolongan Khaliknya. Kurasakan burung besi ini semakin meninggi, memecah udara, diiringi senyum hangat pramugari-pramugari anggun berbaju muslimah yang menawarkan makanan. Kuambilkan satu untukmu, Ibu….
Garuda pun membelah angkasa menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Semakin jauh meninggalkan Jakarta, meninggalkan Kediri. Dan satu harapan lagi, dengan izin-Mu akan terwujudkan. Allah Maha Besar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar