Salah satu hal yang sering membuat energi
kita terkuras adalah timbulnya rasa ketersinggungan diri. Munculnya perasaan
ini sering disebabkan oleh ketidaktahanan kita terhadap sikap orang lain.
Ketika tersinggung, minimal kita akan sibuk
membela diri dan selanjutnya akan memikirkan kejelekan orang lain. Hal yang
paling membahayakan dari ketersinggungan adalah habisnya waktu kita menjadi
buah roh.
Efek yang biasa ditimbulkan oleh rasa tersinggung
adalah kemarahan. Jika kita marah, kata-kata jadi tidak terkendali, stress
meningkat, dan lainnya. Karena itu, kegigihan kita untuk tidak tersinggung
menjadi suatu keharusan.
Apa yang menyebabkan orang tersinggung?
Ketersinggungan seseorang timbul karena menilai dirinya lebih dari kenyataan,
merasa pintar, berjasa, baik, tampan, dan merasa sukses.
Setiap kali kita menilai diri lebih dari
kenyataan bila ada yang menilai kita kurang sedikit saja akan langsung
tersinggung. Peluang tersinggung akan terbuka jika kita salah dalam menilai
diri sendiri. Karena itu, ada sesuatu yang harus kita perbaiki, yaitu
proporsional menilai diri.
Teknik pertama agar kita tidak mudah
tersinggung adalah tidak menilai lebih kepada diri kita. Misalnya, jangan
banyak mengingat-ingat bahwa saya telah berjasa, saya seorang guru, saya
seorang pemimpin, saya ini orang yang sudah berbuat. Semakin banyak kita
mengaku-ngaku tentang diri kita, akan membuat kita makin tersinggung.
Ada beberapa cara yang cukup efektif untuk
meredam ketersinggungan
Pertama, belajar melupakan.
Jika kita seorang sarjana maka lupakanlah
kesarjanaan kita. Jika kita seorang direktur lupakanlah jabatan itu. Jika kita
pemuka agama lupakan kepemukaagamaan kita. Jika kita seorang pimpinan
lupakanlah hal itu, dan seterusnya. Anggap semuanya ini berkat dari Allah agar
kita tidak tamak terhadap penghargaan. Kita harus melatih diri untuk merasa
sekadar hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa kecuali berkat ilmu yang
dipercikkan oleh Allah sedikit. Kita lebih banyak tidak tahu. Kita tidak
mempunyai harta sedikit pun kecuali sepercik titipan berkat dari Allah. Kita
tidak mempunyai jabatan ataupun kedudukan sedikit pun kecuali sepercik yang
Allah telah berikan dan dipertanggung jawabkan. Dengan sikap seperti ini hidup
kita akan lebih ringan. Semakin kita ingin dihargai, dipuji, dan dihormati,
akan kian sering kita sakit hati.
Kedua, kita harus melihat bahwa apa pun yang dilakukan orang kepada kita
akan bermanfaat jika kita dapat menyikapinya dengan tepat.
Kita tidak akan pernah rugi dengan perilaku
orang kepada kita, jika bisa menyikapinya dengan tepat. Kita akan merugi
apabila salah menyikapi kejadian dan sebenarnya kita tidak bisa memaksa orang
lain berbuat sesuai dengan keinginan kita. Yang bisa kita lakukan adalah
memaksa diri sendiri menyikapi orang lain dengan sikap terbaik kita. Apa pun
perkataan orang lain kepada kita, tentu itu terjadi dengan izin Allah. Anggap
saja ini episode atau ujian yang harus kita alami untuk menguji keimanan kita.
Ketiga, kita harus berempati.
Yaitu, mulai melihat sesuatu tidak dari
sisi kita. Perhatikan kisah seseorang yang tengah menuntun gajah dari depan dan
seorang lagi mengikutinya di belakang Gajah tersebut.
Yang di depan berkata, "Oh indah nian
pemandangan sepanjang hari". Kontan ia didorong dan dilempar dari belakang
karena dianggap menyindir. Sebab, sepanjang perjalanan, orang yang di belakang
hanya melihat pantat gajah.
Karena itu, kita harus belajar berempati.
Jika tidak ingin mudah tersinggung cari seribu satu alasan untuk bisa memaklumi
orang lain. Namun yang harus diingat, berbagai alasan yang kita buat
semata-mata untuk memaklumi, bukan untuk membenarkan kesalahan, sehingga kita
dapat mengendalikan diri.
Keempat, jadikan penghinaan orang lain kepada kita sebagai ladang
peningkatan kwalitas diri dan kesempatan untuk mempraktekkan buah-buah roh
Yaitu, dengan memaafkan orang yang menyakiti dan membalasnya dengan kebaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar