Pada
suatu hari, ketika Jepang belum semakmur sekarang, datanglah seorang
peminta-minta ke sebuah toko kue yang mewah dan bergengsi untuk membeli manju
(kue Jepang yang terbuat dari kacang hijau dan berisi selai). Bukan main
terkejutnya si pelayan melihat pelanggan yang begitu jauh sederhana di tokonya
yang mewah dan bergengsi itu. Karena itu dengan terburu-buru ia membungkus
manju itu. Tapi belum lagi ia sempat menyerahkan manju itu kepada si pengemis,
muncullah si pemilik toko berseru, “Tunggu, biarkan saya yang menyerahkannya”.
Seraya berkata begitu, diserahkannya bungkusan itu kepada si pengemis.
Si
pengemis memberikan pembayarannya. Sembari menerima pembayaran dari tangan si
pengemis, ia membungkuk hormat dan berkata, “Terima kasih atas kunjungan anda”.
Setelah
si pengemis berlalu, si pelayan bertanya pada si pemilik toko, “Mengapa harus
anda sendiri yang menyerahkan kue itu? Anda sendiri belum pernah melakukan hal
itu pada pelanggan mana pun. Selama ini saya dan kasirlah yang melayani
pembeli”.
Si
pemilik toko itu berkata, “Saya mengerti mengapa kau heran. Semestinya kita
bergembira dan bersyukur atas kedatangan pelanggan istimewa tadi. Aku ingin
langsung menyatakan terima kasih. Bukankah yang selalu datang adalah pelanggan
biasa, namun kali ini lain.”
“Mengapa
lain,” tanya pelayan.
“Hampir
semua dari pelanggan kita adalah orang kaya. Bagi mereka, membeli kue di tempat
kita sudah merupakan hal biasa. Tapi orang tadi pasti sudah begitu merindukan
manju kita sehingga mungkin ia sudah berkorban demi mendapatkan manju itu. Saya
tahu, manju itu sangat panting baginya. Karena itu saya memutuskan ia layak
dilayani oleh pemilik toko sendiri. Itulah mengapa aku melayaninya”, demikian
penjelasan sang pemilik toko.
Setiap
pelanggan berhak mendapatkan penghargaan yang sama, nilai seorang pelanggan
bukanlah ditentukan oleh prestise pribadinya atau besarnya pesanan yang
dilakukan. Seorang usahawan sejati mendapatkan sukacita dan di sinilah ia harus
meletakkan nilainya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar