Roy
adalah seorang pedagang kulit bulu, umurnya telah melewati setengah baya,
masalah bisnisnya tidak sesuai dengan harapan, berkali-kali ia mengalami
kegagalan. Semangatnya amat sangat rendah, acap kali marah-marah tanpa sebab
yang jelas, selalu mengeluh bahwa orang lain telah menipu dirinya.
Akhirnya
pada suatu hari, ia berkata pada istrinya, “Kota ini membuat saya sangat
kecewa, saya ingin meninggalkan kota ini, pindah ke tempat lain.”
Roy
dan istrinya datang ke suatu kota, pindah ke tempat tinggal baru mereka. Di
suatu malam akhir pekan, ketika Roy dan istrinya sedang menata kamar, mendadak
listrik padam, seketika itu seluruh ruangan menjadi gelap gulita.
Roy
sangat menyesal mengapa ketika datang ia tidak membawa lilin, karena itu ia
hanya bisa duduk tak berdaya di lantai dan mengeluh. Saat itu, di luar pintu
terdengar suara ketukan pintu yang agak ragu dan perlahan, memecah kesunyian
malam.
“Siapa
itu?” Di kota tersebut Roy tidak punya kenalan, ia juga tidak ingin diganggu
orang di akhir pekan. Ia berdiri dengan terpaksa. Susah payah Roy meraba ke
arah pintu, dan membuka pintu itu dengan tidak sabar.
Di
depan pintu berdiri seorang gadis kecil, yang dengan nada ketakutan berkata
pada Roy, “Tuan, saya adalah tetangga Anda. Tolong tanya apakah Anda memiliki
lilin?”
Roy
menjawab dengan nada dongkol, “Tidak ada.” lalu menutup pintu dengan keras.
“Sungguh merepotkan!” keluh Roy pada istrinya. Roy berkata lagi, “Tetangga yang
menyebalkan, kita baru pindah kemari sudah datang untuk pinjam barang, kalau
begini terus akan bagaimana jadinya nanti!”
Ketika
ia sedang menggerutu tak berkesudahan, di pintu terdengar lagi suara ketukan.
Pintu dibukanya, si gadis kecil itu masih berdiri di sana, hanya saja kali ini
di dalam tangannya membawa dua batang lilin, bercahaya merah, seperti wajah
gadis kecil itu yang merah padam, sangat menyolok.
“Nenek
bilang, kami telah kedatangan penghuni baru, mungkin tidak membawa lilin, lalu
nenek menyuruh saya agar membawakan dua batang lilin ini untuk Anda.”
Seketika
itu juga Roy tertegun, ia terperangah dengan kejadian di depan matanya ini.
Dengan sangat tidak mudah ia tersadarkan kembali, “Terima kasih kepada engkau
dan nenekmu, semoga Tuhan melindungi kalian.”
Seketika
itu juga, tiba-tiba Roy menyadari banyak hal, ia sepertinya telah menyadari
tentang akar permasalahan dari kegagalan dirinya, yaitu terletak pada kekasaran
dan ketidak-acuhannya pada orang lain.
Di dalam kehidupan ini yang bisa menipu kita acap kali
bukanlah orang lain, melainkan adalah sepasang mata kita yang telah dikelabui
oleh dinginnya hati kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar