Sabtu, 10 Mei 2014

428. Menyalakan Lilin Hati



Roy adalah seorang pedagang kulit bulu, umurnya telah melewati setengah baya, masalah bisnisnya tidak sesuai dengan harapan, berkali-kali ia mengalami kegagalan. Semangatnya amat sangat rendah, acap kali marah-marah tanpa sebab yang jelas, selalu mengeluh bahwa orang lain telah menipu dirinya.

Akhirnya pada suatu hari, ia berkata pada istrinya, “Kota ini membuat saya sangat kecewa, saya ingin meninggalkan kota ini, pindah ke tempat lain.”

Roy dan istrinya datang ke suatu kota, pindah ke tempat tinggal baru mereka. Di suatu malam akhir pekan, ketika Roy dan istrinya sedang menata kamar, mendadak listrik padam, seketika itu seluruh ruangan menjadi gelap gulita.

Roy sangat menyesal mengapa ketika datang ia tidak membawa lilin, karena itu ia hanya bisa duduk tak berdaya di lantai dan mengeluh. Saat itu, di luar pintu terdengar suara ketukan pintu yang agak ragu dan perlahan, memecah kesunyian malam.

“Siapa itu?” Di kota tersebut Roy tidak punya kenalan, ia juga tidak ingin diganggu orang di akhir pekan. Ia berdiri dengan terpaksa. Susah payah Roy meraba ke arah pintu, dan membuka pintu itu dengan tidak sabar.

Di depan pintu berdiri seorang gadis kecil, yang dengan nada ketakutan berkata pada Roy, “Tuan, saya adalah tetangga Anda. Tolong tanya apakah Anda memiliki lilin?”

Roy menjawab dengan nada dongkol, “Tidak ada.” lalu menutup pintu dengan keras. “Sungguh merepotkan!” keluh Roy pada istrinya. Roy berkata lagi, “Tetangga yang menyebalkan, kita baru pindah kemari sudah datang untuk pinjam barang, kalau begini terus akan bagaimana jadinya nanti!”

Ketika ia sedang menggerutu tak berkesudahan, di pintu terdengar lagi suara ketukan. Pintu dibukanya, si gadis kecil itu masih berdiri di sana, hanya saja kali ini di dalam tangannya membawa dua batang lilin, bercahaya merah, seperti wajah gadis kecil itu yang merah padam, sangat menyolok.

“Nenek bilang, kami telah kedatangan penghuni baru, mungkin tidak membawa lilin, lalu nenek menyuruh saya agar membawakan dua batang lilin ini untuk Anda.”

Seketika itu juga Roy tertegun, ia terperangah dengan kejadian di depan matanya ini. Dengan sangat tidak mudah ia tersadarkan kembali, “Terima kasih kepada engkau dan nenekmu, semoga Tuhan melindungi kalian.”

Seketika itu juga, tiba-tiba Roy menyadari banyak hal, ia sepertinya telah menyadari tentang akar permasalahan dari kegagalan dirinya, yaitu terletak pada kekasaran dan ketidak-acuhannya pada orang lain.

Di dalam kehidupan ini yang bisa menipu kita acap kali bukanlah orang lain, melainkan adalah sepasang mata kita yang telah dikelabui oleh dinginnya hati kita sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar