Suatu waktu, ada seorang mahaguru yang
ingin mengambil waktu dari kehidupannya sehari-hari sebagai akademisi. Akhirnya
dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pantai dan meminta seorang nelayan untuk
membawanya pergi melaut sampai ke horizon.
Seperempat perjalanan, mahaguru tersebut
bertanya, “Wahai nelayan, apakah Anda mengenal ilmu geografi?” Sang nelayan
menjawab, “ilmu geografi yang saya ketahui adalah kalau di laut sudah mulai
sering ombak pasang, maka musim hujan segera akan tiba.” “Nelayan bodoh!” kata
mahaguru tersebut. “Tahukah kamu bahwa dengan tidak menguasai ilmu geografi
kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu.”
Seperempat perjalanan berikutnya, mahaguru
tersebut bertanya pada nelayan apakah dia mempelajari ilmu biologi dan sains?
Sang nelayan menjawab bahwa ilmu biologi yang dia kenal hanyalah mengetahui
jenis ikan apa saja yang dapat dimakan. “Nelayan bodoh, dengan tidak menguasai
sains kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu.” Kemudian mahaguru tersebut
bercerita tentang Tuhan yang menciptakan umat manusia dengan struktur tubuh,
kapasitas otak yang sama, dan lain-lain.
Selanjutnya mahaguru tersebut bertanya
apakah nelayan tersebut mempelajari matematika? Sang nelayan menjawab bahwa
matematika yang dia ketahui hanyalah bagaimana cara menimbang hasil
tangkapannya, menghitung biaya yang sudah dikeluarkannya, dan menjual hasil
tangkapannya agar dapat menghasilkan keuntungan secukupnya. Lagi-lagi mahaguru
tersebut mengatakan betapa bodohnya sang nelayan dan dia sudah kehilangan lagi
seperempat kehidupannya.
Kemudian, di perjalanan setelah jauh dari
pantai dan mendekati horizon, mahaguru tersebut bertanya, “apa artinya awan
hitam yang menggantung di langit?” “Topan badai akan segera datang, dan akan
membuat lautan menjadi sangat berbahaya.” Jawab sang nelayan. “Apakah bapak
bisa berenang?” Tanya sang nelayan.
Ternyata sang mahaguru tersebut tidak bisa
berenang. Sang nelayan kemudian berkata, “Saya boleh saja kehilangan
tiga-perempat kehidupan saya dengan tidak mempelajari tiga subyek yang tadi
diutarakan oleh mahaguru, tetapi mahaguru akan kehilangan seluruh kehidupan
yang dimiliki.”
Kemudian nelayan tersebut meloncat dari
perahu dan berenang ke pantai sedangkan mahaguru tersebut tenggelam.
Demikian juga dalam kehidupan kita, baik
dalam pekerjaan ataupun pergaulan sehari-hari. Kadang-kadang kita meremehkan
teman, anak buah ataupun sesama rekan kerja. Kalimat “tahu apa kamu” atau “si
anu tidak tahu apa-apa” mungkin secara tidak sadar sering kita ungkapkan ketika
sedang membahas sebuah permasalahan. Padahal, ada kalanya orang lain lebih
mengetahui dan mempunyai kemampuan spesifik yang dapat mengatasi masalah yang
timbul.
Seorang operator color mixing di pabrik
tekstil atau cat mungkin lebih mengetahui hal-hal yang bersifat teknis daripada
atasannya. Intinya, orang yang menggeluti bidangnya sehari-hari bisa dibilang
memahami secara detail apa yang dia kerjakan dibandingkan orang ‘luar’ yang
hanya tahu ‘kulitnya’ saja.
Mengenai kondisi dan kompetisi yang terjadi
di pasar, pengetahuan seorang marketing manager mungkin akan kalah dibandingkan
dengan seorang salesperson atau orang yang bergerak langsung di lapangan.
Atau sebaliknya, kita sering menganggap
remeh orang baru. Kita menganggap orang baru tersebut tidak mengetahui secara
mendalam mengenai bisnis yang kita geluti. Padahal, orang baru tersebut mungkin
saja membawa ide-ide baru yang dapat memberikan terobosan untuk kemajuan perusahaan.
Sayangnya, kadang kita dibutakan oleh ego,
pengalaman, pangkat dan jabatan kita sehingga mungkin akan menganggap remeh
orang lain yang pengalaman, posisi atau pendidikannya di bawah kita. Kita
jarang bertanya pada bawahan kita. Atau pun kalau bertanya, hanya sekedar
basa-basi, pendapat dan masukannya sering dianggap sebagai angin lalu.
Padahal, kita tidak bisa bergantung pada
kemampuan diri kita sendiri, kita membutuhkan orang lain. Keberhasilan kita
tergantung pada keberhasilan orang lain. Begitu sebuah masalah muncul ke
permukaan, kita tidak bisa mengatasinya dengan hanya mengandalkan kemampuan
yang kita miliki. Kita harus menggabungkan kemampuan kita dengan orang lain.
Sehingga bila perahu kita tenggelam, kita masih akan ditolong oleh orang lain
yang kita hargai kemampuannya. Tidak seperti mahaguru yang akhirnya
ditinggalkan di perahu yang sedang dilanda topan badai dan dibiarkan mati
tenggelam karena tidak menghargai kemampuan nelayan yang membawanya. Yang jadi
pertanyaan kita sekarang, apakah kita masih suka bertingkah laku seperti sang
mahaguru? Bila ya, seberapa sering?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar