Kebiasaan kita,
khususnya aku, akan timbul rasa suka atau simpati karena seseorang mempunyai
sisi baik. Sisi baik yang menyenangkan rasa, membuatku bisa bersyukur berjumpa
pada seseorang. Misalnya istriku saat ini.
Cinta tumbuh dan
berkembang karena melihat karakternya yang lembut dan bersahaja, dan gampang
menolong orang lain yang kesusahan. Akhirnya aku pun bertekat untuk
mempersuntingnya untuk jadi pendamping hidupku. Membayangkan sebuah rumah tangga
yang penuh saling perhatian dan tentu saja cinta yang menjadi pilar kekokohan
persatuan kami.
Itu lah
impianku. Tapi, impian tidak lah memang harus sama dengan kenyataan. Ternyata
banyak hal yang belum aku ketahui tentang istriku ini. Sisi baik yang membuatku
terpikat pada awalnya, ternyata bagaikan satu buah sisi mata uang receh.
Ternyata dia pun punya sisi yang lainnya, yang tak pernah aku bayangkan.
Satu dua hari
pernikahan kami, aku pun kembali pulang ke orang tuaku. Tak kuat dengan apa
yang belum dibukakannya kepadaku. Ternyata dia adalah janda kembang di
kampungnya. Aku tak tahu, karena tak ada sedikit pun informasi darinya atau pun
dari pihak lain.
Bukan aku
mempermasalahkan tentang statusnya yang janda, tapi yang sangat aku sayangkan
setelah ijab kabul dilakukan baru lah aku tahu, siapa sebenarnya istriku
tersebut. Pengantin baru seharusnya adalah masa indah yang patut di kenang,
ternyata aku harus bergulat dengan egoisme tentang harga diri seorang laki-laki
yang merasa di bohongi. Sakit, itulah yang aku rasakan.
Beruntung aku
mempunyai kedua orang tua yang berpandangan luas tentang hidup. Beliau
mengatakan bahwa ini adalah takdir yang harus aku jalani dalam hdiupku. Memang
ini cobaan ku, karena aku terlahir dengan sifat yang sangat penyabar. Ternyata
memang Allah memberikan ujian sesuai dengan tingkatan iman kita. Mereka tak
ingin aku menceraikan istriku dengan alasan apapun. Aku pun patuh pada nasehat
mereka. Setelah mulai membuka diri untuk berdamai dengan hati, maka aku pun
berusaha untuk belajar menerima istriku dengan status yang disembunyikannya
tersebut. Tapi ternyata itu adalah awal dari sifat yang lainnya, yang tak
pernah aku temui selama ini. Ternyata perangai terhadap kedua orang tuanya
berbanding terbalik dengan diriku. Aku yang tak pernah bersuara keras apalagi
membentak kedua orang tuaku, ternyata istriku malah sebaliknya. Aku pun
terhenyak kembali. Belum lagi lidahnya setajam silet, yang gampang sekali
mengeluarkan kata yang dapat melukai seseorang seumur hidupnya. Aku sangat terpukul.
Ternyata yang nampak di mataku sebuah kebaikan, ternyata di iringi dengan
banyak kemungkaran yang tak pernah terbayangkan.
Istri yang aku
kawini karena aku sangat mencintainya, ternyata adalah sebuah ujian untuk aku
jalani seumur hidupku hingga kini. Ujian yang tak mungkin aku lepas, karena aku
telah berjanji kepada kedua orang tuaku untuk tidak akan pernah menceraikannya
sampai ajal merengut nyawaku. Sebuah pertahanan yang sangat kuat harus aku
tanamkan, kemana aku harus bersandar bila aku tidak memulangkannya kepada
penentu “Takdir”ku, Ilahi Robbi.
Setelah beberapa
tahun perkawinan kami, hingga dikarunia dua anak yang lahirnya berdekatan, aku
dan istriku masih sering kali bertengkar sengit dan kadang membuat anak-anak
kami ketakutan. Aku yang tadinya bukanlah tipe pemarah dan gampang mengeluarkan
kata makian, ternyata beberapa tahun bersama istriku aku telah berubah menjadi
seseorang yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku bukanlah aku yang dulu, yang
selalu takut melukai lawan bicaraku. Ternyata istriku dengan tabiatnya yang
banyak di luar perkiraanku, mengubahku menjadi seorang pemarah dan pemaki.
Walau pun itu hanya aku lakukan padanya. Tapi sungguh aku sering menangis, di
kala istriku tidur. Dan munajat panjang ku di malam dingin, seringkali membuatku
terpekur. “Mengapa aku jadi begini?”.
Banyak do’a yang
telah keluar dari bibir ini. Banyak ustadz yang aku datangi untuk merubah
prilaku istriku, ternyata semuanya tidak ada kelihatan hasilnya. Istriku masih
dengan sifat bawaannya, padahal dia rajin shalat. Aku sangat kecewa dan hampir
putus asa.
Kemudian Allah
memberikan hidayah ke dalam hatiku. Rasa ku yang dulunya kelam, ternyata dapat
menangkap cahaya Ilahi. Cahaya yang membuatku dapat melihat apa yang
sesungguhnya ada di hadapanku kini. Padahal kedua orang tua ku dulunya sebelum
meninggal telah menyampaikannya, tapi ternyata setelah perkawinan kami
menginjak dua belas tahun aku dapat memahami semua kejadian ini.
Cintaku ada
karena melihat perangai baiknya, sebelum aku mempersuntingnya. Ternyata dalam
cinta yang kita genggam bukan hanya harus memiliki satu sisi. Sisi buruk apa
pun yang di miliki pasangan kita adalah sebuah anugerah bagi kita.
Kita harus mampu
menerima keburukan, sebagaimana kita menerima kebaikannya. Cinta kepada sesuatu
tidak harus banyak menuntut, tapi bagaimana sesuatu yang tidak menyenangkan
mata dan hati, dapat kita ambil untuk di pelajari kemudian untuk di petik
hikmahnya. Seperti bagaiaimana kuatnya kemauan Rasulullah Saw untuk
meng-Islamkan pamannya Abu Thalib, ternyata beliau tak mampu. Begitu pula aku
yang hanya manusia biasa.
Istriku hingga
kini adalah tempatku belajar untuk sabar dan berusaha memahami bagaimana sifat
dan karakternya saat ini. Dia tidak terlalu bersalah, karena aku menyadari itu
adalah hasil didikan dari lingkungannya, baik dari kedua orang tuanya maupun
dari keluarga besarnya.
Jadi di umur
yang tidak bisa dikatakan muda lagi dan kedua anak kami yang telah
menyelesaikan pendidikannya, membuatku lebih tenang dalam mengisi sisa-sisa
hidupku ini. Aku merasakan sebuah ketenangan dan penerimaan total atas semua
dua sisi sifat istriku yang aku cintai itu dengan sangat sadar.
Sadar bahwa
memang hidup di dunia ini, akan selalu ada cobaan. Kita tak bisa merasakan
sebuah nikmat bila kita selalu mempermasalahkan sesuatu yang kurang. Baik pada
pasangan hidup kita, anak-anak kita atau orang-orang yang selalu bersifat
kurang terpuji terhadap kita. Intinya adalah menyikapi semua hal dengan lapang
dada dan sadar semuanya adalah skenario Allah Swt.
Karena sebuah
kebaikan tentu lah hal yang menyenangkan yang tak perlu kita persoalkan. Bila
kita menyukai seseorang karena kebaikannya, maka bersiaplah untuk pula menerima
sifatnya yang tidak kita sangka, yang bila kita permasalahkan akan betul-betul
menjadi masalah.
Saat ini yang
aku kejar adalah sisa umurku yang tidak lama lagi, bila di sandingkan dengan
umurnya Rasulullah. Maka oleh itu lah aku sangat bersyukur, karena sesuatu yang
tadinya aku anggap sebuah beban ternyata adalah bentuk kasih sayang dari Allah
Swt. Dengan memberikan sebuah pembelajaran dan didikan bertahun-tahun yang
harus sangat payah harus ku emban, ternyata berbuah manis untuk ku petik di
masa tua ini. Jadi hidup ini memang sebuah perjalanan rohani yang harus selalu kita
gali hikmahnya, agar semua yang kita temui dalam perjalanan singkat di dunia
ini merupakan sebuah kesadaran. Sadar bahwa semuanya adalah kehendak-Nya.
Karena bagaimana pun banyak ilmu yang telah kita pelajari, atau banyak buku
yang telah kita baca, semuanya itu tidak akan berfaedah bila rasa ikhlas tidak
ada dalam jiwa kita.
Tiada daya dan
upaya melainkan semuanya datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala..
(Tulisan ini
merupakan kisah perjalanan hidup seorang lelaki yang mungkin dapat di petik
hikmahnya. Amin)
Sengata, 2
Nopember 2009
Halimah Taslima
Forum LIngkar
Pena ( FLP ) Cab. Sengata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar