Tulisan
tanganmu masih rapi, nak. Bentuk-bentuk guratan huruf dari pena yang tertata
indah. Ini yang selalu Ibu suka. Meski di sekeliling kita sudah penuh alat
elektronik canggih untuk berkirim kabar, tapi lembaran kertas surat warna warni
dan untaian tulisan tangan rasanya lebih merasuk ke hati kita, bukan? Maka
tetaplah seperti ini, Lala. Kita nikmati komunikasi kuno ini.. sama seperti
saat eyangmu menjelang akhir hayatnya masih menulis tangan surat indah untukmu.
Seakan-akan tiap huruf menari-nari dan melompat berjarak pelan-pelan jauh..
sebagai pertanda ia akan meninggalkan kita jauuuuh sekali..
Lala
anakku, apa kau bilang dalam suratmu? Sakit hati? Karena beberapa temanmu
berkhianat? Karena si Pinah tukang jamu yang kamu bantu penjualannya kini juga
nyatut uangmu? Karena Omi yang kau pelihara sejak kecil tahu-tahu bunting
gara-gara kelewat percaya pada si tukang jual kasur di pinggir jalan itu?
Karena teman di kantormu juga berkabar bohong kepada atasannya untuk
menjatuhkan koleganya yang lain? Karena teman komunikasimu lewat nge blog
menghina temannya yang lain dan menganggap dirinya paling hebat? Karena ada
orang yang mengejek lawannya lewat tulisan tapi meminjam tangan orang lain?
Karena dalam lingkunganmu juga ada orang-orang pengecut beraninya cuma ngedumel
di belakang tapi sesungguhnya tak punya nyali menghadapi sendiri orang yang tak
disukainya? Karena kau sendiri kesal jam tanganmu dari Kopenhagen yang kado
dari ayah itu raib dipinjam teman tak kembali?
Lala,
hidup ini memang penuh penyakit. Tak ada sehat sepanjang detik. Hidup kan
sebuah malapetaka sesungguhnya, kalau kita melihat dari sisi malapetaka. Tapi
Ibu selalu bilang, coba gantungkan tanganmu ke atas dekat telinga. Bayangkanlah
seolah-olah ada Tuhan menangkap tanganmu, lalu kau diangkatnya, sebagaimana
ayah dulu membuat tarian sembari menggendongmu saat balita dan kau
terbahak-bahak geli karena perutmu ikut dikitik-kitiknya.
Banyak
orang tersakiti dalam hidup, La. Lihatlah lawan politik yang kini berangkulan
membentuk satu kubu, kemudian tanpa mengingat masa lalu bisa-bisanya kini
cengengesan berfoto untuk konsumsi publik. Padahal sekian tahun lalu mereka
gontok-gontokan. Itu adalah sakit hati yang dilupakan, diinjak, dan betul-betul
terhapuskan. Kadang kita harus belajar dari mereka, La. Meski berat, tapi
mungkin memang butuh latihan khusus untuk menyamainya.
Pertemanan
memang butuh penyortiran, pada akhirnya. Meski, sebetulnya kita tak ingin pula
membeda-bedakan segala hubungan. Namun seleksi alam tak dapat dihindari. Yang
tak sekufu akhirnya minggir dengan sendirinya. Atau, yaaaa, kitalah yang
minggir. Kau selau geleng-geleng kepala melihat pecundang di seputar ruang
kerjamu yang hobi cari muka pada atasan, kalau perlu menginjak dan meluncurkan
fitnah agar terjadi kemenangan dalam persaingan antar sesama kolega. Oya,
kata-kata ini sudah Ibu katakan tadi sebelumnya ya? Biarlah Ibu ulang lagi,
karena kejadian semacam inilah yang memang tampaknya paling sering dialami para
pekerja kantoran.
Kapas
yang bergumpal dekatkanlah ke dadamu, anakku. Anggaplah itu adalah jimat
kekebalan. Kebal terhadap amarah, kebal terhadap rasa malu berkepanjangan. Bisa
kau bayangkan betapa seorang wanita pandai dan terkenal dulu sudah diketahui
sejuta umat bahwa ia akan menjadi seseorang di bumi ini, pada saat terakhir
pembatalan terjadi begitu saja. Malu? Ya tentu saja. Tapi senyumannya kembali
mengembang saat wanita itu sudah bisa menata emosinya kembali. Kita, lagi-lagi,
mungkin harus lebih banyak belajar dari manusia semacam itu, La !
Tak
semua keinginan kita yang terlukis di hati bisa diraba oleh mereka. Kamu protes
soal tulisanmu yang disunat oleh atasanmu. Kamu mempertanyakannya namun sampai
ke pinggir laut pun tanda tanya ini tak terungkap, tak terjawab, dan tak
dianggap penting oleh mereka. Sakit hati? Ya wajarlah.Tapi jangan berlama-lama.
Sayang dengan wajah cantikmu harus berkerut karena hal sepele itu. Ada teman
pria yang mengaku dirinya jantan yang dulu menghina kewanitaanmu kemudian
karena tuntutan kiri kanannya terpaksa ia minta maaf namun tetap dengan separo
mengejek? Lewatkan! Tak perlu juga kau anggap lagi.
Lala,
Ibu selalu kan bilang, jadikanlah kamu problem bagi orang lain, jangan orang
lain menjadi problem bagi dirimu.. hahahahaaa….!! Maksud Ibu, biarlah orang
berpikir-pikir tentang kita, asal kita tak buang waktu untuk memikirkan
kejahatan mereka yang mengiris hati. Obatnya kan hanya satu, mengalahlah.
Hindari saja. Cukup. Masih banyak barang bagus di toko sebelah……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar