Rabu, 12 Maret 2014

401. Surat untuk Anakku Lala : Orang-orang yang Tersakiti



Tulisan tanganmu masih rapi, nak. Bentuk-bentuk guratan huruf dari pena yang tertata indah. Ini yang selalu Ibu suka. Meski di sekeliling kita sudah penuh alat elektronik canggih untuk berkirim kabar, tapi lembaran kertas surat warna warni dan untaian tulisan tangan rasanya lebih merasuk ke hati kita, bukan? Maka tetaplah seperti ini, Lala. Kita nikmati komunikasi kuno ini.. sama seperti saat eyangmu menjelang akhir hayatnya masih menulis tangan surat indah untukmu. Seakan-akan tiap huruf menari-nari dan melompat berjarak pelan-pelan jauh.. sebagai pertanda ia akan meninggalkan kita jauuuuh sekali..

Lala anakku, apa kau bilang dalam suratmu? Sakit hati? Karena beberapa temanmu berkhianat? Karena si Pinah tukang jamu yang kamu bantu penjualannya kini juga nyatut uangmu? Karena Omi yang kau pelihara sejak kecil tahu-tahu bunting gara-gara kelewat percaya pada si tukang jual kasur di pinggir jalan itu? Karena teman di kantormu juga berkabar bohong kepada atasannya untuk menjatuhkan koleganya yang lain? Karena teman komunikasimu lewat nge blog menghina temannya yang lain dan menganggap dirinya paling hebat? Karena ada orang yang mengejek lawannya lewat tulisan tapi meminjam tangan orang lain? Karena dalam lingkunganmu juga ada orang-orang pengecut beraninya cuma ngedumel di belakang tapi sesungguhnya tak punya nyali menghadapi sendiri orang yang tak disukainya? Karena kau sendiri kesal jam tanganmu dari Kopenhagen yang kado dari ayah itu raib dipinjam teman tak kembali?

Lala, hidup ini memang penuh penyakit. Tak ada sehat sepanjang detik. Hidup kan sebuah malapetaka sesungguhnya, kalau kita melihat dari sisi malapetaka. Tapi Ibu selalu bilang, coba gantungkan tanganmu ke atas dekat telinga. Bayangkanlah seolah-olah ada Tuhan menangkap tanganmu, lalu kau diangkatnya, sebagaimana ayah dulu membuat tarian sembari menggendongmu saat balita dan kau terbahak-bahak geli karena perutmu ikut dikitik-kitiknya.

Banyak orang tersakiti dalam hidup, La. Lihatlah lawan politik yang kini berangkulan membentuk satu kubu, kemudian tanpa mengingat masa lalu bisa-bisanya kini cengengesan berfoto untuk konsumsi publik. Padahal sekian tahun lalu mereka gontok-gontokan. Itu adalah sakit hati yang dilupakan, diinjak, dan betul-betul terhapuskan. Kadang kita harus belajar dari mereka, La. Meski berat, tapi mungkin memang butuh latihan khusus untuk menyamainya.

Pertemanan memang butuh penyortiran, pada akhirnya. Meski, sebetulnya kita tak ingin pula membeda-bedakan segala hubungan. Namun seleksi alam tak dapat dihindari. Yang tak sekufu akhirnya minggir dengan sendirinya. Atau, yaaaa, kitalah yang minggir. Kau selau geleng-geleng kepala melihat pecundang di seputar ruang kerjamu yang hobi cari muka pada atasan, kalau perlu menginjak dan meluncurkan fitnah agar terjadi kemenangan dalam persaingan antar sesama kolega. Oya, kata-kata ini sudah Ibu katakan tadi sebelumnya ya? Biarlah Ibu ulang lagi, karena kejadian semacam inilah yang memang tampaknya paling sering dialami para pekerja kantoran.

Kapas yang bergumpal dekatkanlah ke dadamu, anakku. Anggaplah itu adalah jimat kekebalan. Kebal terhadap amarah, kebal terhadap rasa malu berkepanjangan. Bisa kau bayangkan betapa seorang wanita pandai dan terkenal dulu sudah diketahui sejuta umat bahwa ia akan menjadi seseorang di bumi ini, pada saat terakhir pembatalan terjadi begitu saja. Malu? Ya tentu saja. Tapi senyumannya kembali mengembang saat wanita itu sudah bisa menata emosinya kembali. Kita, lagi-lagi, mungkin harus lebih banyak belajar dari manusia semacam itu, La !

Tak semua keinginan kita yang terlukis di hati bisa diraba oleh mereka. Kamu protes soal tulisanmu yang disunat oleh atasanmu. Kamu mempertanyakannya namun sampai ke pinggir laut pun tanda tanya ini tak terungkap, tak terjawab, dan tak dianggap penting oleh mereka. Sakit hati? Ya wajarlah.Tapi jangan berlama-lama. Sayang dengan wajah cantikmu harus berkerut karena hal sepele itu. Ada teman pria yang mengaku dirinya jantan yang dulu menghina kewanitaanmu kemudian karena tuntutan kiri kanannya terpaksa ia minta maaf namun tetap dengan separo mengejek? Lewatkan! Tak perlu juga kau anggap lagi.

Lala, Ibu selalu kan bilang, jadikanlah kamu problem bagi orang lain, jangan orang lain menjadi problem bagi dirimu.. hahahahaaa….!! Maksud Ibu, biarlah orang berpikir-pikir tentang kita, asal kita tak buang waktu untuk memikirkan kejahatan mereka yang mengiris hati. Obatnya kan hanya satu, mengalahlah. Hindari saja. Cukup. Masih banyak barang bagus di toko sebelah……


Tidak ada komentar:

Posting Komentar