Musim
panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi muslimah, untuk tetap
mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya
menggadaikan akhlak. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan
leher kehangatan badan bisa dijaga. Jilbab bisa sebagai multi fungsi.
Dalam
sebuah perjalanan yang cukup panjang, Cairo-Alexandria; di sebuah mikrobus.
Ada
seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai
penutup aurat.
Karena
menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja
dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian' kalau bisa dibahasakan
sebagai keprihatinan sosial.
Seorang
bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan. " Maaf
Nona, apa Anda tidak takut terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa Anda dengan
berpakaian seminim ini ? ", " maksud bapak apa ? suka-suka saya,
begini ini kan hak saya, saya mau pakai baju atau mau telanjang itu semua hak
prerogatif saya ! ", " tapi kan Non kelihatannya kurang sopan dilihat
dan aturan agama pun melarang ".
Dengan
ketersinggungan yang sangat ia mengekspresikan kemarahannya. Karena merasa
privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang.
"Oke,
Oke kalau begitu , Jika memang bapak yang benar, ini ponsel saya, tolong lapor
ke Tuhan Anda dan Tolong pesankan saya, tempat di neraka, sekarang juga !!
Sebuah
respon yang sangat frontal. Dan sang bapak pun hanya beristighfar. Ia terus
menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Detik-detik berikutnya suasana pun hening.
Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpinya. Tak terkecuali
perempuan muda itu. Hingga sampailah perjalanan di penghujung tujuan. Di
terminal akhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk
turun.
Tapi
mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tertidur. Ia
berada di dekat pintu keluar. "Bangunkan saja!" begitu kira-kira
permintaan para penumpang. Tahukah apa yang terjadi. Perempuan muda tersebut
benar-benar tak bangun lagi. Ia menemui ajalnya. Dan seisi mikrobus tersebut
terus beristighfar, menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak
tua yang duduk disampingnya.
Sebuah
akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan
Sahabat
...
Kematian
itu PASTI datangnya...
Cukuplah
kematian sebagai pelajaran buat kita
Cukuplah
kematian sebagai nasehat buat kita
Kemanapun
kita pergi...
Kepada
siapapun kita berlindung...
Dengan
apapun kita menghindar...
Bila
sudah saatnya KEMATIAN datang...
Kita
tidak bisa pergi, berlindung atau menghindar...
"Perbanyaklah
mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu KEMATIAN!" (HR.
Tirmidzi)
Nilai-nilai
pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan
menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan
lakukan.
#
Kematian mengingatkan bahwa WAKTU SANGAT BERHARGA
Ketika
seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring
dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat
melainkan ajal kian mendekat, Allah swt dalam FirmanNya : "Telah dekat
kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam
kelalaian lagi berpaling (daripadanya)." (Al-Anbiya :1)
Ketika
jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba,
lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja.
Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan." Tapi sayang,
permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada
perundingan.
"Dan
berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang
azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri
tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi
seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul...." (Ibrahim :44)
#
Kematian mengingatkan bahwa KITA BUKAN SIAPA-SIAPA
Kalau
kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah
akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika
sutradara mengatakan ‘habis', usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran
yang sebenarnya. Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika
bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan
pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.
Sebagus-bagusnya
peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga
ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan
sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk
selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan
kepada sang sutradara untuk dimasukkan ke dalam laci-laci peran.
Teramat
naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang
yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia
yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan
berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
#
Kematian mengingatkan bahwa KITA TAK MEMILIKI APA-APA
Fikih
Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke
liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau
rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan.
Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak
membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.
Lalu,
masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan.
Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita
datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak
berharga.
Ternyata,
semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai,
kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu,
masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa.
Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran
yang pernah kita mainkan.
#
Kematian mengingatkan bahwa HIDUP ADALAH SEMENTARA
Kejayaan
dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa
ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada
dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan
saat ini.
Ketika
sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian
berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan
berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari
siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
#
Kematian mengingatkan bahwa HIDUP BEGITU BERHARGA
Seorang
hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup
teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani
yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga.
Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika
ladang harus dikembalikan.
Mungkin,
inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat
77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) dunia..." dengan menyebut, "Ad-Dun-ya mazra'atul akhirah."
(Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang
yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat
sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat.
Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar