Sabtu, 29 Maret 2014

411. Barang Milikku yang Paling Berharga Adalah Kamu



Aku sangat menyukai ucapan mama : “Barang milikku yang paling berharga adalah kamu!” Ucapan yang sangat menyejukkan hati, dan sampai sekarang aku masih mengingatnya...

Papa dan mama menikah karena dijodohkan orang tua, demikianlah yang dialami para muda-mudi di zaman itu, tapi hal ini sudah umum, tapi di zaman sekarang peristiwa itu sudah jarang terjadi, kebanyakan adalah hasil pilihan sendiri. Tapi mama sangat mencintai papa, demikian juga dengan papa dan tampak selalu mesra, akur bagaikan pasangan cinta sejoli. Sangat sulit dibayangkan bahwa pernikahan mereka pernah diterjang badai! Badai itu nyaris memisahkan mereka. hanya karena emosi sesaat saja!

Papa dan mama bekerja di instansi yang sama, oleh karena itu setiap hari berangkat dan pulang bersama. Suatu hari mereka kerja lembur, hingga pukul 2.00 dinihari dan baru pulang ke rumah. 

Papa sangat letih dan lapar, sampai dirumah tidak ada makanan maupun minuman yang siap disaji. Papa yang lapar minta mama untuk menyiapkan makanan dan minuman. Beberapa hari belakangan ini emosi mama memang tidak stabil, ditambah lagi dengan adanya lembur, badan dan pikiran sungguh melelahkan, sehigga dengan kondisi yang labil itu, mama spontan menjawab dengan nada keras, Mau makan dan minum, memangnya tidak bisa masak sendiri? Apa tidak punya tangan dan kaki lagi, ya?

Karena papa juga terlalu capek, dan langsung menjawab dengan acuh tak acuh, “kamu ini isteriku, memasak adalah sudah menjadi kewajibanmu!”

Mama langsung merespon, “tengah malam begini mau masak apa? Sudah lewat waktunya makan, orang laki seharusnya lebih kuat dari pada perempuan!”

Mendengar itu, marahlah papa, beliau langsung berteriak dengan emosi, “kamu salah makan obat apa kemarin? Mau sengaja cari ribut,ya? Istri memasak untuk suami adalah wajar, kenapa harus tergantung pada waktu? Kamu tidak senang, ya? Kalau tidak senang, kamu pergi saja sekarang dari rumah ini!!!”

Mama tidak menyangka akan menerima reaksi yang begitu keras. Setelah terdiam sesaat, mama kemudian berkata sambil menitikkan air mata, “kamu ingin aku pergi…….. aku akan pergi sekarang!” Mama segera kembali ke kamar untuk mengemasi barang-barangnya.

Melihat mama masuk kamar dan berkemas-kemas, papa berkata kepada mama yang membelakanginya, “bagus! Pergi sana! Ambil semua barang-barangmu dan jangan kembali lagi!”

Beberapa saat kemudian suasana menjadi sunyi senyap, tak ada kata-kata kebencian lagi yang muncul, menit demi menit berlalu, tapi mama tetap tak kunjung keluar dari kamar. Merasakan keanehan itu, papa kemudian menyusul masuk kamar dan melihat mama sedang duduk di ranjang penuh dengan linangan air mata. Sambil menatap koper kulit besar yang masih tergeletak di atas ranjang. Melihat papa datang, dengan terisak-isak mama berkata, “duduklah di atas koper kulit itu, supaya aku boleh mengenang masa-masa perpisahan kita yang terakhir.”

Merasa aneh, maka dengan sendu papa akhirnya tidak tahan juga untuk tidak bertanya, ” “untuk apa?”

Sambil menangis dengan terputus-putus mama berkata, “emas dan perak aku tidak memilikinya,” tapi milikku yang paling berharga adalah kamu!” Kamu dan anak-anakku, aku tidak memiliki apapun...”

Meskipun kejadian itu telah lewat lama sekali, tapi aku masih mengingatnya terus sampai sekarang. Apalagi ketika mama mengucapkan kata-kata terakhir itu, papa merasa sangat tergoncang, sejak malam itu, papa telah diubah dan telah menjadi sangat hormat dan sayang kepada mama. Menggandeng tangan anak-anak, merangkul mama serta senantiasa saling berpelukan. Kelak aku juga bercita-cita ingin mendapatkan pasangan yang seperti papa.

Kehidupan apapun yang kita jalani ini, itu tidaklah penting; tapi yang terpenting adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi hidup ini, terutama disaat-saat badai itu muncul.”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar