Ingatkah
ketika masih kecil kamu jatuh dan terluka? Ingatkah apa yang dilakukan ibumu
untuk meringankan rasa sakit?
Ibuku,
selalu menggendongku, membawaku ke tempat tidurnya, mendudukkan diriku, lalu
mencium “aduh”-ku. Lalu ia duduk di tempat tidur di sampingku, meraih tanganku
dan berkata, “Kalau sakit, remas saja tangan Ibu. Nanti akan kukatakan Aku
sayang kamu.
Sering
aku meremas tangannya, dan setiap kali, tak pernah luput, aku mendengar
kata-kata, “Mary, Ibu sayang kamu.”
Kadang-kadang
aku pura-pura sakit hanya supaya aku memperoleh ritual itu darinya. Waktu aku
lebih besar, ritual itu berubah, tapi ia selalu menemukan cara untuk
meringankan rasa sakit dan meningkatkan rasa senang yang ku rasakan dalam
berbagai bagian hidupku.
Pada
hari-hari sulit di SMU, ia akan menawarkan sebatang cokelat almond Hershey
kesukaannya saat aku pulang. Semasa usiaku 20-an, Ibu sering menelepon untuk
menawarkan piknik makan siang spontan di taman untuk sekadar merayakan hari
cerah dan hangat.
Kartu
ucapan terima kasih yang ditulisnya sendiri tiba di kotak pos setiap kali ia
dan ayahku berkunjung ke rumahku, mengingatkanku betapa istimewanya aku
baginya.
Tapi
ritual yang paling berkesan adalah genggamannya pada tanganku saat aku masih
kecil dan berkata, “Kalau sakit, remaslah tangan Ibu dan akan kukatakan aku
sayang kamu.”
Suatu
pagi, saat aku berusia akhir 30-an, setelah orang tuaku berkunjung pada malam
sebelumnya, ayahku meneleponku di kantor. Ia selalu berwibawa dan jernih saat
memberi nasehat, tapi aku mendengar rasa bingung dan panik dalam suaranya.
“Mary,
ibumu sakit dan aku tak tahu harus berbuat apa. Cepatlah datang kemari.”
Perjalanan
mobil 10 menit ke rumah orang tuaku diiringi oleh rasa takut, bertanya-tanya
apa yang terjadi pada ibuku. Saat aku tiba, Ayah sedang mondar-mandir di dapur
sementara Ibu berbaring di tempat tidur. Matanya terpejam dan tangannya berada di
atas perut. Aku memanggilnya, mencoba menjaga agar suaraku setenang mungkin.
“Bu,
aku sudah datang.”
“Mary?”
“Iya,
Bu.”
“Mary,
kaukah itu?”
“Iya,
Bu, ini aku.”
Aku
tak siap untuk pertanyaan berikutnya, dan saat aku mendengarnya, aku membeku,
tak tahu harus berkata apa.
“Mary,
apakah Ibu akan mati?”
Air
mata menggenang dalam diriku saat aku memandang ibuku tercinta terbaring di
situ tak berdaya. Pikiranku melayang, sampai pertanyaan itu terlintas dalam
benakku: ‘Jika keadaannya terbalik, apa yang akan dikatakan Ibu padaku?’
Aku
berdiam sejenak yang terasa seperti jutaan tahun, menunggu kata-kata itu tiba
di bibirku.
“Bu,
aku tak tahu apakah Ibu akan mati, tapi kalau memang perlu, tak apa-apa. Aku
menyayangimu.”
Ia
berseru, “Mary, rasanya sakit sekali.”
Lagi-lagi,
aku bingung hendak berkata apa. Aku duduk di sampingnya di tempat tidur, meraih
tangannya dan mendengar diriku berkata, “Bu, kalau Ibu sakit, remaslah
tanganku, nanti akan kukatakan, aku sayang padamu.”
Ia
meremas tanganku.
“Bu,
aku sayang padamu.”
Banyak
remasan tangan dan kata “aku sayang padamu” yang terlontar antara aku dan ibuku
selama dua tahun berikutnya, sampai ia meninggal akibat kanker indung telur.
Kita
tak pernah tahu kapan ajal kita tiba, tapi aku tahu bahwa pada saat itu,
bersama siapa pun, aku akan menawarkan ritual kasih ibuku yang manis setiap
kali, “Kalau sakit, remaslah tanganku, dan akan kukatakan, aku sayang padamu.”
Salah
satu cara untuk mengungkapkan rasa kasih sayang pada orang yang anda cintai
adalah dengan memegang dan meremas tangannya dengan lembut. Tindakan itu
kadangkala mengandung makna dan arti yang teramat dalam yang hanya dapat
dipahami antara anda dan orang yang anda cintai………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar