Ketika
Putri mendadak memutuskan cintanya, Genta berubah jadi pemurung. Dan ketika
gadis pujaannya itu menikah diam-diam di Surabaya, Genta betul-betul frustrasi.
Dia tak mau makan-minum sehingga akhirnya terkena tifus. Betapa ironis, ketika
mantan kekasihnya tengah menikmati bulan madu di Bali, dia justru terbaring di
rumah sakit. Lalu.. apakah yang dapat dilakukan seorang ayah untuk menghibur
anak lelakinya yang patah hati? Untuk membangkitkan kembali semangat juangnya
yang hampir mati? Genta adalah anak yang cemerlang. Sejak kecil dia selalu jadi
bintang kelas. Namun, anak itu pendiam dan perasa.
“ Kamu
betul-betul menuruni darah Ayah. Selalu serius, mendalam, dan penuh ketulusan
kalau mencintai perempuan. Sehingga, kalau putus cinta betul-betul terpuruk.
Padahal, seperti kata peribahasa, dunia ini tidak seluas daun kelor. Di dunia
ini begitu banyak wanita, Nak,” ujarku saat berbicara dari hati ke hati
sepulangnya ia dari rumah sakit.
“ Tapi
tidak ada yang secantik dan sebaik Putri, Yah. Dia yang dulunya tak pakai
kerudung, kini mulai belajar pakai kerudung. Tapi kenapa ketika keislamannya
semakin sempurna, kok dia tega meninggalkan saya dan menikah dengan manajer
perusahaan elektronik itu?”
“ Sudahlah,
Nak. Sesuatu yang lepas dari tangan kita memang selalu kelihatan indah. Begitu
pula kalau kita kehilangan perempuan yang kita cintai. Mata kita tertutup bahwa
di sekeliling kita masih banyak perempuan lain yang mungkin lebih baik dari
dia.”
“ Aku
baru sekali ini jatuh cinta, Yah. Selama SMU dan kuliah, waktuku lebih banyak
aku habiskan untuk belajar, dan organisasi ilmiah di kampus.”
“ Ayah
paham, Nak. Ayah mau buka rahasia. Sewaktu SMU dulu Ayah mengalami nasib yang
mirip kamu. Cinta tak kesampaian, padahal Ayah dan Rini, nama perempuan itu,
sama-sama saling mencintai. Bertahun-tahun Ayah nyaris frustrasi dan tak pernah
mampu menghilangkan bayang wajahnya. Sampai kemudian, lima tahun setelah itu,
Tuhan mempertemukan Ayah dengan ibumu. Dia wanita tercantik di Cianjur ketika
itu. Baru lulus SMU. Banyak sekali pemuda yang mengincar ibumu. Entahlah,
kenapa dia mau menikah dengan Ayah yang ketika itu masih berstatus mahasiswa
dan belum punya pekerjaan, kecuali menjadi penulis free lance di koran. Kami
menikah hanya dua minggu sejak pertama kali bertemu.” Genta termenung. Mungkin
ia merenungkan kalimat demi kalimat yang tadi aku ucapkan.
“ Nak,
laki-laki itu ibarat buah kelapa. Makin tua, makin bersantan. Biarpun jelek,
botak dan gendut, kalau punya kedudukan, berharta, dan terkenal, maka
gadis-gadis muda antri untuk mendapatkannya. Untuk sekadar jadi teman kencan
maupun istri sungguhan.”
“ Benarkah?”
“ Ya.
Dengan modal hanya sebagai wartawan senior dan novelis top saja, Ayahmu ini
seringkali digilai oleh perempuan-perempuan muda. Mereka berusaha mencuri perhatian
Ayah dengan berbagai cara. Kalau Ayah tidak kuat iman, Ayah mungkin sering
kencan dengan banyak perempuan. Kalau Ayah kurang sabar, Ayah mungkin beristri
dua, tiga, atau bahkan empat.”
“ Apa
yang membuat Ayah bertahan dengan Ibu?”
“ Dia
perempuan yang hebat. Kesabaran, ketulusan, kehangatan dan kasih sayangnya luar
biasa. Hal itu telah ditunjukkannya saat Ayah masih belum punya apa-apa, belum
diperhitungkan orang, bahkan dilirik sebelah mata pun tidak. Kami menikah dalam
keadaan miskin. Bahkan cincin kawin untuk ibumu baru Ayah belikan lima tahun
setelah pernikahan. Tahun-tahun pertama pernikahan, kami sering makan hanya
nasi dan garam saja. Namun tak pernah sekalipun Ayah mendengar ibumu mengeluh
atau menunjukkan air muka masam. Sebaliknya, Beliau selalu berusaha membesarkan
hati Ayah. Bahwa Ayah punya potensi. Bahwa Ayah suatu hari nanti akan jadi
orang hebat di bidang sastra maupun jurnalistik. Dua puluh delapan tahun
perkawinan dengan ibumu sungguh merupakan perjalanan hidup yang amat berarti
bagi Ayah. Itulah yang membuat Ayah tak pernah mau berpaling kepada perempuan
lain. Rasanya sungguh tak adil, setelah menjadi orang yang terkenal dan punya
uang, Ayah lalu mencari perempuan lain untuk membagi cinta ataupun sekadar
bersenang-senang.”
“ Ayah
beruntung mendapatkan perempuan sebaik ibu. Tapi aku? Satu-satunya perempuan
yang aku cintai kini telah pergi.”
“ Jangan
menyerah dulu, Nak. Cuti doktermu ‘kan masih tiga hari lagi. Bagaimana kalau
besok Ayah ajak kau jalan-jalan keliling Jakarta? Kita santai dan cari makan
yang enak. Siapa tahu kamu bisa melupakan Putri-mu dan mendapatkan pengganti
yang lebih baik.”Genta tidak langsung menjawab.
“ Ayolah,
Nak. Ayah yang akan jadi sopirmu. Kau tinggal duduk di jok depan. Oke?” Lama
baru Genta mengangguk.
“ Baiklah,
Ibu ikut?”
“ Tidak.
Ini urusan laki-laki, Nak,” sahutku seraya tertawa. Hari pertama aku mengajak
Genta berkeliling Mal Pondok Indah. Mal yang terletak di kawasan Pondok Indah,
Jakarta Selatan itu selalu ramai dikunjungi orang-orang berduit. Hanya dalam
hitungan jam kita bisa menyaksikan puluhan bahkan ratusan perempuan muda,
cantik dan seksi, keluar masuk mal. Umumnya mereka mengenakan pakaian yang
menonjolkan lekuk-lekuk fisiknya, seperti dada, udel, pantat, paha, ketiak dan
punggungnya.
Seusai
Maghrib aku mengajak Genta nonton film di Kartika Chandra 21 yang terletak
kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, tepatnya Jalan Gatot Subroto. Di sini banyak
sekali pasangan yang datang menonton. Umumnya perempuan-perempuannya mengenakan
gaun malam yang seksi dan terbuka.
Banyak
juga yang memakai rok mini ataupun celana blue jean ketat di bawah pinggang
sehingga sering kali memperlihatkan celana dalam pemakainya. Hari kedua aku
mengajak Genta pergi ke kantor sebuah bank syariah.
“ Ayah
mau setor tabungan dulu sekaligus mau buka rekening khusus zakat. Mau ikut
masuk?” Genta mulanya enggan.
“ Ayolah.”
Akhirnya ia mau juga ikut. Kami menemui salah seorang customer service officer.
Laili namanya.
“ Assalaamu’alaikum,
Pak Irwan. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya bening dan terkesan manja, namun
tidak dibuat-buat. Balutan jilbab coklat itu tak mampu menyembunyikan posturnya
yang semampai dan wajah selembut kabut.
“ Wa’alaikumsalaam,
Mbak Laili. Saya ingin membuka rekening khusus untuk zakat. Oh, ya, kenalkan
ini anak sulung saya. Genta. Genta, ini Mbak Laili.”
“ Assalaamu’alaikum,
Mas Genta.”
“ Wa’alaikumsalaam,
Mbak Laili.”
“ Genta
kerja di gedung ini juga, Mbak Laili. Lantai 12.”
“ Oh,
ya?” Laili agak terkejut.
“ Kalian
pasti enggak pernah bertemu ‘kan? Inilah penyakit zaman modern, orang-orang
berkantor di satu gedung tapi bisa bertahun-tahun tak pernah berjumpa,” kataku
sambil tertawa. Bibir tipis Laili mengukir segurat senyum.
“ Soalnya
Mas Genta enggak pernah buka tabungan di bank syariah. Duitnya disimpan di bank
konvensional semua ya?”
Laili
punya selera humor yang bagus. Kulihat Genta tersenyum kecil.
“ Insya
Allah saya akan buka rekening di bank syariah, Mbak.” Keluar dari bank syariah
itu, aku mengajak Genta menghadiri pameran buku Islam di Istora Senayan
Jakarta. Pameran yang menampilkan puluhan penerbit Islam itu setiap hari
dihadiri oleh puluhan ribu orang. Berbeda dengan pemandangan di Mal Pondok
Indah dan KC-21, di sini kebanyakan perempuan muda yang datang mengenakan
jilbab. Wajah mereka kelihatan bersih dan matanya lebih suka menunduk ketimbang
jelalatan mencari perhatian lelaki.
Seusai
menonton pameran buku, aku mengajak Genta mampir di Hotel Gran Melia, yang
terletak di Jl HR Rasuna Said. Kami memesan es lemon tea dan pisang goreng
keju.
“ Oke.
Mari kita bahas perjalanan dua hari kita. Kamu masih ingat perempuan-perempuan
muda di Mal Pondok Indah dan KC-21 kemarin?” Dia cuma mengangguk.
“ Wanita-wanita
seperti itu menyenangkan untuk dilihat dan dibawa ke pesta-pesta, tapi belum
tentu membuatmu bahagia. Sebaliknya perempuan-perempuan muda berjilbab yang
kita saksikan di pameran buku Islam dan bank syariah tadi, mereka lebih mungkin
membuatmu menjadi seorang lelaki yang dihargai dan meraih kebahagiaan sejati.
Ayah yakin, di antara mereka itu pasti ada perempuan impian.”
“ Seperti
apakah perempuan impian itu, Yah?” Aku menyeruput es lemon tea yang tinggal
separoh.
Kemudian
mencomot sepotong pisang goreng keju. Genta menunggu dengan tidak sabar.
“ Seperti
apa, Yah?”
“ Kalau
kamu bertemu dengan seorang perempuan yang berpadu pada dirinya kehangatan
seorang Siti Khadijah, serta kemanjaan dan kecerdasan seorang Siti Aisyah dua
di antara istri-istri Rasulullah itulah perempuan impian.”
“ Seandainya
aku menjumpai perempuan yang seperti itu, apa yang harus aku lakukan?”
“ Jangan
tunggu esok atau lusa. Telepon Ayah saat itu juga. Ayah akan segera
melamarkannya untukmu, dan kau harus menikah dengannya paling lambat seminggu
setelah itu. Jika kamu mendapatkan perempuan seperti itu dalam hidupmu, dunia
ini kecil dan nyaris tak berarti. Rasul pernah berkata, bahwa seorang perempuan
yang salehah lebih berharga dari dunia ini beserta isinya.”
Seminggu
kemudian. Aku tengah menulis sebuah ficer tentang pengoperasian bus way di
Jakarta ketika HP-ku berdering.
Dari
Genta:
“ Ayah,
aku sudah dapatkan calon istri. Seorang wanita salehah yang bisa membuatku
hidup bahagia.” Suaranya terdengar bersemangat.
“Oh,
ya, siapa namanya?”
“Nantilah
Ayah akan aku kenalkan.”
Berselang
lima menit kemudian, Yanti, staf humas bank syariah menelepon. “Assalaamu’alaikum,
Pak Irwan. Tadi Genta buka rekening di bank syariah. Dia mengobrol cukup lama
dengan salah seorang customer service officer kami. Bapak pasti tahu yang saya
maksudkan.”
Aku
menutup Nokia 9500 itu. Lalu memandang ke luar jendela kantor.
“Alhamdulillah.
Akhirnya kau temukan perempuan impianmu, Nak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar