Pada
suatu hari, tiga orang bijaksana berjalan melintasi sebuah desa kecil. Desa itu
tampak miskin. Tampak dari sawah-sawah sekitarnya yang sudah tidak menghasilkan
apa-apa lagi. Ya, memang telah terjadi perang di negeri itu – dan sebagai
rakyat jelata – merekalah yang kena dampaknya. Macetnya distribusi pupuk,
bibit, dan kesulitan-kesulitan lain membuat sawah mereka tidak mampu
menghasilkan apa-apa lagi. Cuma beberapa puluh orang yang masih setia tinggal
di desa itu.
Sekonyong-konyong
beberapa orang mengerubuti tiga orang bijaksana itu. Dengan memijit-mijit
tangan dan punggung tiga orang itu, orang-orang desa memelas dan meminta
sedekah, roti, beras, atau apalah yang bisa dimakan.
Satu
dari tiga orang bijaksana itu lalu bertanya kepada penduduk desa itu, “Apakah
kalian tidak punya apa-apa, hingga kalian meminta-minta seperti ini ?”
“ Kami
tidak memiliki apapun untuk dimakan, hanya batu-batu berserakan itu yang kita
miliki.” Jawab salah satu penduduk desa.
“ Maukah
kalian kuajari untuk membuat sup dari batu-batu itu ?” Tanya orang bijaksana
sekali lagi.
Dengan
setengah tidak percaya, penduduk itu menjawab, “Mau..”
“Baiklah
ikutilah petunjukku.” Orang bijaksana itu menjelaskan, “Pertama-tama, ambil
tiga batu besar itu, lalu cucilah hingga bersih !” perintah orang bijaksana
sambil menunjuk tiga buah batu sebesar kepalan tangan. Orang-orang pun
mengikuti perintahnya.
Sesudah
batu itu dicuci dengan bersih hingga tanpa ada pasir sedikit pun di
permukaannya. Orang bijaksana itu lalu menyuruh penduduk untuk menyiapkan panci
yang paling besar dan menyuruh panci itu untuk diisi dengan air. Ketiga batu
bersih itupun lalu dimasukkan ke dalam panci – dan sesuai dengan petunjuk orang
bijaksana itu – batu-batu itupun mulai direbus.
“Ada
yang dari kalian tau bumbu masak ? Batu-batu itu tidak akan enak rasanya jika
dimasak tanpa bumbu.” Tanya orang bijaksana.
“Aku
tahu !” seru seorang ibu, kemudian ia mengambil sebagian persediaan bumbu
dapurnya, kemudian meraciknya, dan memasukkannya ke dalam panci besar itu.
“Adakah
dari kalian yang memiliki bahan-bahan sup yang lain ?” Tanya orang bijaksana
itu. “Sup ini akan lebih enak jika kalian menambahkan beberapa bahan lain,
jangan cuma batu saja.”
Beberapa
penduduk mulai mencari bahan-bahan makanan lain di sekitar desa. Beberapa waktu
kemudian dua orang datang dengan membawa tiga kantung kentang. “Kami
menemukannya di dekat kali, ternyata ada banyak sekali kentang liar tumbuh
disana.” Katanya. Kemudian orang itu mengupas, mencuci, dan memotong-motong
kentang-kentang itu dan memasukkannya ke dalam panci.
Kurang
dari satu menit, seorang ibu datang dengan membawa buncis dan sawi. “Aku masih
punya banyak dari kebun di belakang halaman rumahku.” Kata ibu itu, lalu ibu
itu meraciknya dan memasukkannya ke dalam panci.
Sesaat,
datang pula seorang bapak dengan tiga ekor kelinci di tangannya. “Aku berhasil
memburu tiga ekor kelinci, kalau ada waktu banyak, mungkin aku bisa membawa
lebih lagi, soalnya aku baru saja menemukan banyak sekali kawanan kelinci di
balik bukit itu.” Dengan bantuan beberapa orang, tiga kelinci itu pun
disembelih dan diolah kemudian dimasukkan ke dalam panci.
Merasa
telah melihat beberapa orang berhasil menyumbang sesuatu. Penduduk-penduduk
yang lain tidak mau kalah, mereka pun mulai mencari-cari sesuatu yang dapat
dimasukkan ke dalam panci sebagai pelengkap sup batu.
Kurang
dari satu jam, beberapa penduduk mulai membawa kol, buncis, jagung, dan
bermacam-macam sayuran lain. Tak hanya itu, anak-anak juga membawa
bermacam-macam buah dari hutan. Mereka berpikir akan enak sekali jika buah-buah
itu bisa dijadikan pencuci mulut sesudah sup disantap. Ada pula seorang bapak
yang membawa susu dari kambing piaraannya, dan ada pula yang membawa madu dari
lebah liar yang bersarang di beberapa pohon di desa itu.
Beberapa
jam kemudian sup batu itu telah matang. Panci yang sangat besar itu sekarang
telah penuh dengan berbagai sayuran dan siap disantap. Dengan suka cita,
penduduk itu makan bersama dengan lahapnya. Mereka sudah sangat kenyang, hingga
mereka lupa ‘memakan’ batu yang terletak di dasar panci.
Tiga
orang bijaksana itu hanya tersenyum melihat tingkah para penduduk itu. Dan
mereka pun sadar, sekarang waktunya mereka untuk meneruskan perjalanan. Mereka
mohon diri untuk meninggalkan desa itu. Sebelum beranjak pergi, seorang bapak
sekonyong-konyong memeluk dan menciumi ketiga orang itu sambil berkata, “Terima
kasih telah mengajari kami untuk membuat sup dari batu..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar