Ada
seorang Bapak sedang bercakap-cakap dengan dua orang anaknya yang beranjak
remaja tentang masalah keseharian mereka.
Pembicaraan
mereka kali ini ringan saja, tentang apa yang mereka kerjakan sehari-hari, tapi
mungkin baru bisa dibicarakan kali ini.
Dalam
obrolan yang biasa mereka lakukan sehari-hari itu, mendadak yang kecil protes
kepada Bapaknya, “Pak, kenapa sih kalau nyuruh aku itu kerjaannya kalau nggak
nyapu atau nyiram bunga? Kenapa ke Kakak Cuma disuruh bantu Ibu memasak saja?”
Si
Bapak tersenyum.
“Kamu
ingin masak juga?”
“Iya…
Gantian kakak yang nyapu dan nyiram bunga.”
Sang
adik yang dimaksud tidak banyak komentar. Dia hanya mendengarkan apa yang
sedang dibicarakan ini.
“Kamu
kan pernah masak juga, Dik… Masak sayur asem.”
Sang
adik terdiam sejenak. Mungkin pikirannya sedang mengingat peristiwa yang
dikatakan Bapaknya itu. Lalu ia tersenyum sendiri.
Ia
ingat, ketika mencoba membuat sayur asem bersama Ibunya tempo hari, ternyata
yang jadi malah sayur tak bernama, sebab rasanya macam-macam. Ada asam, manis,
asin dan hebatnya lagi, ia mencampurkan kentang di dalamnya.
Seperti
sayur sop. Tentu saja membuat seisi rumahnya punya komentar tersendiri.
Adik
pun mendadak ketawa-tawa sendiri lalu diikuti tawa Bapak dan kakaknya. Mereka
sama-sama mengingat peristiwa lampau itu.
“Lalu,
pas kakak harus merawat bunga-bunga di taman, selesai dari kebun, sekujur
tubuhnya malah digigitin nyamuk dan serangga lain. Kakak sempat dibawa ke rumah
sakit bukan?”
Kali
ini, Kakak yang tersenyum duluan. Mengingat peristiwa menggelikan sekaligus
menyedihkan juga.
“Nah,
jadi kalian sebenarnya sudah mendapat porsi masing-masing, berbahagialah untuk
itu. Kalian tidak perlu capai mengerjakan yang harusnya dikerjakan orang lain.”
Sering
kali dengan dalih ingin membantu, gemas karena tidak dikerjakan atau justru
memang dari diri kita sendiri yang tidak pernah puas, ternyata kita menghambat
orang lain untuk maju dengan apa yang dia punya dan bisa. Padahal dari kecil
pun; bahwa manusia diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Tinggal bagaimana kita mengolahnya pada proses selanjutnya, sehingga kita dapat
menjadikan hal itu menjadi sebuah pegangan berarti dalam hidup.
Tetapi,
saat perasaan-perasaan itu menguasai diri, beranikah kita membiarkan dan
mempersilahkan orang lain yang memang sudah “dijatahkan” atau “ahli”nya untuk
melakukan serta memberikan yang terbaik dari kebisaannya itu?
“Silahkan
Anda saja yang mengerjakan. Saya tidak mampu. Saya percaya Anda pasti bisa
mengerjakannya dengan baik.”
Gengsi
kadang menguasai untuk mengakui bahwa aku punya kekurangan dan ia dapat
menutupinya sehingga biarlah ia saja yang mengerjakannya dan dengan caranya
sendiri.
Andaikata
ibu jari ingin setinggi jari tengah, lalu bagaimana kita bisa lancar ber-SMS?
Misalnya jari telunjuk tidak mau menjalankan tugasnya sebagai jari penunjuk,
apakah dengan jari kelingking akan terlihat jika kita bertanya sesuatu?
Memang
ini masalah sulit, apalagi jika ternyata kita pun sebenarnya merasa mampu dan
ingin pula memberikan yang terbaik Ada perang batin yang mungkin terjadi
sebelum kita memutuskan apa.
Tetapi,
jika kita kembali pada kepercayaan bahwa manusia punya kelemahan dan kelebihan
masing-masing, mestinnya bisa saling menghargai.
Mungkin
baik jika kita mengambil alih pekerjaan itu, namun membantu saja seperlunya.
Selanjutnya biarlah yang memang seharusnya yang mengerjakan. Soal hasil, anggap
saja itu bagian dari proses.
Sebab
di mata Tuhan, tidak ada manusia yang tidak sempurna. Ia telah melengkapi
ciptaan satu itu dengan segala yang dibutuhkan bahkan dengan kondisi paling
buruk sekali pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar